Kamis, 19 Juli 2012

Aku Menyakiti Diriku Sendiri

Ternyata, selama ini aku melukai diriku sendiri... Maksudnya?
*
Rabu malam kemarin aku pergi ke dokter gigi. Gigi ketigaku dari depan terkikis, dan aku takut jika aku biarkan semakin lama akan semakin berlubang. Dan yang paling parah, aku takut jika gigiku patah.
Singkat cerita, aku tiba di kursi pasien dan dokter baik hati yang hari ini praktek menyuruhku untuk menceritakan masalahku. Entah setiap dokter seperti ini atau tidak, aku merasa dokter ini sangat ramah dan baik hati. Seusai aku menceritakan masalahku, aku pun diminta untuk duduk di kursi pemeriksaan. Kalian pasti tahu kan kursi yang harus terdapat di ruang dokter gigi? Kursi yang bisa dinaik-turunkan dan terdapat lampu serta alat-alat yang menunjang pekerjaan sang dokter.
Dokter memeriksa gigiku. Katanya, gigiku mempunyai warna yang bagus. Maksudnya, tidak terdapat pewarnaan apapun pada gigiku. Kalian mengerti? Aku tidak. Yang kutangkap dari perkataannya, warna gigiku bagus. Selebihnya aku tak terlalu paham.
Kemudian ia mengutak-atik perkakasnya untuk “mengoperasi” gigiku yang terkikis.
“Ini ditambal atau diapakan, dok?” Tanyaku.
“Iya. Tapi tadi waktu diketuk-ketuk terasa nyeri, ya?”
“Iya, dok. Tapi nggak terlalu sih.”
“Kalau begitu harus kontrol seminggu atau dua minggu sekali. Soalnya, ada kemungkinan giginya sudah patah.”
Aku kira dengan sedikit tambalan kecil untuk menutupi kikisnya semua akan berakhir. Ternyata tak sesederhana itu. Lebih kurang 1 jam aku duduk di kursi pemeriksaan itu, akhirnya selesai. Aku kembali duduk di kursi pasien.
“Jadi, itu kenapa ya bisa terkikis gitu, dok?”
“Itu terkikis karena kamu sendiri. Pertama, kamu salah cara saat sikat gigi. Terlalu kencang kamu menyikatnya. Lihat, biar saya tunjukkan cara yang benar.”
Dokter mengambil sebuah contoh mulut lengkap dengan gigi yang tersusun rapi.
“Pasti kamu menyikatnya seperti ini ya?”
Ia menyikatkan sikat kecil pada susunan gigi-gigi itu dengah arah horizontal sambil ditekan dan sedikit brutal.
“Iya hehehe.” Jawabku lengkap dengan cengiran.
“Harusnya seperti ini...” Ia menunjukkan cara menyikat gigi yang benar, dan dengan cara yang lembut pastinya.
Dokter menyingkirkan sejenak mulut besar itu lalu kembali menjelaskan.
“Kesalahan kamu yang kedua, ada pada pemilihan sikat gigi. Besok diganti ya sikat giginya dengan bulu yang agak lembut. Agak lembut ya, bukan lembut.” Ia menekankan intonasi pada kata agak dan lembut.
Aku hanya tersenyum dan mengangguk.
“Jadi, ini semua gara-gara salah cara sikat gigi, dok?”
“Iya, diubah ya caranya. Kalau nggak, ya nanti semua giginya seperti tadi. Karena ini penyebabnya kamu sendiri, dengan kata lain bukan karena bakteri, harus kontrol seminggu atau dua minggu sekali ya. Jika ada pembengkakan langsung kesini lagi ya. Itu kemungkinan giginya sudah patah. Kalau memang seperti itu, nanti penanganannya berbeda. Harus di ahli saraf.” Jelasnya.
Ahli saraf? Mendengar kata saraf saja aku sudah ngilu. Entahlah, aku punya perspektif tersendiri tentang saraf. Dan itu cukup membuatku ngeri.
Jadi, gigiku terkikis karena aku sendiri? Jadi, selama ini akau melukai diriku sendiri? Menurutku cukup sederhana kesalahanku ini, tapi efeknya sangat fatal.
“Ini resepnya. Nanti obat ini diminum saat sudah terjadi pembengkakan atau terasa sakit. Kalau tidak terasa sakit tidak perlu diminum. Ingat ya, seminggu lagi kontrol kesini.” Jelas dokter ramah ini.
“Iya, dok. Terimakasih ya.” Kataku tersenyum sembari menyalaminya.
“Sama-sama, sayang.”
Meski sebagian wajahnya tertutup masker, aku bisa merasakan ia tengah tersenyum.
*
When simple thing turned into complicated thing...
Sesampainya di rumah aku berpikir tentang hal ini. Sesuatu yang harusnya sederhana seperti ini, mengapa menjadi begitu rumit? Ya, aku tahu ini semua memang salahku sendiri. Aku tak menyangka kesalahan kecilku akan beralih menjadi sukar seperti ini.
Sejenak aku berpikir, apa ini juga terjadi pada hatiku? Maksudku, sama halnya seperti gigiku yang terkikis, ternyata hanya dengan ditambal saja tak cukup bila ia telah patah. Spesialis berbeda yang dapat menanganinya apabila memang kenyataannya telah patah.
Serpihan-serpihan hatiku yang hilang... apa ia sungguh tak bisa “ditambal” layaknya gigiku yang terkikis? Mungkin karena memang hatiku telah “patah” terlalu parah. Jikalau memang demikian, apa hatiku memang membutuhkan “spesialis berbeda” agar kembali seperti semula?
Mungkin benar, kalau aku selama ini selalu menyatukan pecahan hatiku yang hilang dengan kepingan “yang lama”. Hatiku sudah terlalu melekat dengan “spesialis lamaku”.
Tetapi, apa yang dokter gigiku katakan ada benarnya juga; kalau memang seperti itu, nanti penanganannya berbeda.
Cara sederhanaku menyembuhkan hatiku sepertinya memang salah. Nampaknya, ia memang memerlukan penanganan yang berbeda. Lalu, haruskah aku mencari “spesialis berbeda” itu? Aku rasa iya. Dan, aku takkan mencarinya. Aku hanya akan menunggunya.

2 komentar:

Irda Handayani mengatakan...

Hhhmmmm.... begitu ya **sambil garuk2 kepala
Saya sendiri pada awalnya memang menyikat gigi dengan cara yang hampir mirip dengan kamu, tapi karena melihat berita ttg penyuluhan cara emnyikat gigi yg benar maka saya ganti caranya dan mengikuti cara yg benar tersebut :)
Btw, ceritanya bagus, ada hikmah yg pas di dalamnya, apalagi ketika bagian endingnya ada semacam keterkaitan dengan masalah hati dan perasaan :)
Tetap semangat menulis ya dan salam kenal dari RBI :D

Neneng Rostiana mengatakan...

Wah untung saja tidak diteruskan ya caranya :D
Iya terimakasih ya salam kenal juga dariku :) Salam penulis! :)

Posting Komentar