Senin, 02 Juni 2014

Sekali Lagi untuk Terakhir Kali

“Hei,”

“Oh? Hai,”

Kemudian aku pergi tanpa meninggalkan sepatah kata lagi.

Ia masih sama. Wajahnya, suaranya, senyumnya, bahkan siratan lelahnya masih terukir seperti dulu, hanya saja rambutnya sedikit dipangkas dan caranya berpakaian terlihat lebih rapi. Sulit dipercaya, tapi aku masih saja ingat tentangnya hingga hal-hal kecil. Aneh. Tentu saja. Bukankah aku telah memutuskan untuk menyimpan kisah-kisah lama dan menata lembar baru? Ya, memang, hanya saja melupakan semua itu tak semudah berkata baik-baik saja walau hatimu di dalam pecah berantakan.

Aku cuma melenggang dari sana. Tak tahu kaumelakukan apa. Tak peduli keadaanmu bagaimana. Dan sama sekali tak kumengerti, itu masih melintaskan sedikit perih. Bumi seakan menambah gravitasinya yang membuat tiap langkahku menjadi begitu berat. Angin terus-terusan menampar wajahku yang mau tak mau memerintahku untuk menoleh ke belakang; menolehmu. Namun, aku hanya berjalan lebih cepat dan memasang simpul di bibirku sebisanya.

Seseorang dapat pergi dari hidupmu, secepat kilat, seperti angin yang berhembus, semudah hujan yang turun dari langit, tapi tidak dengan kenangannya. Ia tetap tinggal bersamamu. Ia menemanimu di mana pun, memelukmu tanpa kautahu, dan membawa kembali luka di dalamnya. Ia ada di tempat kau pergi, ada di tiap melodi yang kaudengar, ada di drama yang kausaksikan, bahkan ada di langit-langit kamarmu dan terputar sendiri. Menyedihkan, bukan? Aku tahu kamu menerka cara melupakannya. Dan, aku tahu jawabannya: kamu takkan pernah bisa melupakannya dan yang perlu kaulakukan hanyalah membuat kenangan baru.

Iya, semua itu kembali berputar-putar di kepalaku. Kurasa, ini pernah terjadi sebelumnya. Namun, kala itu bukan aku yang berjalan menjauh; melainkan kamu.

Aku menoleh ke belakang, sekali, dan kemudian aku janji akan pergi. Aku menghela napas. Apa yang kuharapkan, kamu memerhatikan langkahku? Aku tertawa, miris, menertawakan nasib sendiri. Ketika aku justru ingin melihat senyum terakhirnya, ah, tentu, pada siapa lagi selain pada wanitanya yang baru ia memberikannya.

Dan (sekali lagi) aku pergi, berjanji tak berhenti dan tak menoleh.

---
“Hei,”

“Oh? Hai,”

Apa aku baru mengalami fatamorgana? Siang ini memang amat panas dan terik. Aku baru saja menghabiskan jus jeruk keduaku ketika mataku menangkap sosoknya.

Ia berlalu begitu saja meninggalkan senyum yang bahkan terlihat lebih manis dibanding dulu. Wajahnya tak lagi dibingkai kesedihan, ia… sangat cantik. Rambutnya dibiarkan panjang terurai, ya, masih berantakan seperti dulu. Ah, seperti aku peduli saja tentang hal seperti itu, karena bahkan aku tetap mengenang renyah tawanya, sampai detik ini. Bisakah aku menyangkal, kalau aku tak merindunya?

Andai ia mampu menerawang jauh ke dalam pikiranku; aku, yang terlalu bodoh dan tak mampu mengatakan isi hatiku sendiri. Aku yang terlalu bodoh melewatkanmu, membiarkanmu berjejak pergi, tanpa tahu jawaban semua tanyamu saat itu. Andai kamu tak naif, jika bukan akulah yang membutuhkan maaf; tapi kamu. Ah, maaf, aku membuatmu seperti peminta-minta. Aku tahu kamu terus mengucap maaf kala itu, hanya untuk aku tetap di sisimu, menjagamu, benar kan?

Sungguh, aku tak bisa, meski pun aku sangat mau. Kamu pun tak mengetahui di tempat aku berada aku mati-matian menelan rasaku. Aku lebih banyak gagal, namun, mengingat semua demi kebaikanmu, aku tak pernah menyerah, kau tahu? Mungkin klasik, kauharusnya melihat dirimu, kaupantas untuk seseorang yang lebih baik, jauh lebih baik daripada aku. Apalah aku, seorang yang hanya mampu menghunus luka tajam tepat di ulumu. Ah, bahkan aku sempat membuatmu menyembunyikan simpul manis di bibirmu.

Salahkah bila aku sadar akan diriku sendiri? Kurasa, tidak. Dan aku tahu kamu mungkin nanti akan mengerti.

Mendengar suaramu lagi. Melihat senyum itu lagi. Aku dapat bernapas lega, kukira kamu mungkin telah menemui seseorang yang mampu membuatmu merasa hidup bukanlah hal yang sia-sia. Maaf, bila aku tak menghentikanmu untuk pergi, aku (kembali) melewatkanmu. Dan, kautahu, apa yang kuharapkan, kamu berbalik atau menoleh untuk menatapku? Aku cuma tersenyum sinis.

Lagipula, aku tak mungkin melakukan kesalahan yang sama pada orang lain. Aku punya lembaran baru untuk hidupku sekarang, bukan lagi kertas-kertas usang yang hanya bisa kuratapi.


Kemudian, aku menatapnya dan mengukir senyum. Tanpa ia tahu, juga tanpa kautahu, aku diam-diam kembali mengenangmu.