Kamis, 28 Februari 2013



SNMPTN 2013


Bismillah.
Dengan sepenuh restu Papa dan Mama. Semoga lulus dan diterima. Amin! :’)
Doakan ya, semuanya. Tergantung doa kalian juga.
You guys are amazing! :’)

Rabu, 27 Februari 2013

It's About Passion


Buat apa jungkir balik belajar eksak kalau ujung-ujungnya ambil sastra, dari kelas sosial juga bisa.
          Pernah, sering justru, dengar pernyataan-pernyataan macam itu. Rasanya? Ah, jangan ditanya, kalau tahu rasa digores-gores nadinya. Di luar tampak cengar-cengir layak anak pendidikan usia dini polos baru bubaran, mungkin kan kalau dalamnya retak-retak?
          Anak-anak rumus diagung-agungkan. Derajatnya lebih tinggi, otaknya lebih cerdas, begitu katanya. Begitu? Ah, sudut pandang orang-orang masih dibutakan kabut-kabut kasat mata yang kadang jadi awal perpecahan; omongan dan pola pikir turunan. Anehnya, kobaran provokasi datang dari pihak-pihak yang mestinya kalangan mediasi. Mau menyanggah, segan, namanya orang yang dihormati.
          Stratifikasi sosial, bukan? Entahlah.
          Jangan jauh-jauh, kadang yang dekat juga suka menyulut perdebatan. Akhirnya, aku yang mengalah, daripada berdarah-darah. Sebenarnya, apa sih titik inti masalahnya? Sama-sama belajar, sama-sama cari ilmu, cuma dikemas dengan materi dasar yang beda. Terus? Yang penting sama-sama bermanfaat.
          Mari tanya sama yang baru ganti seragam jadi putih abu-abu. Mau mendalami eksak atau sosial? Kadang, yang amat benci tabel periodik pun akan jawab eksak. Ah, bunuh diri. Persis sepertiku, hampir mati meleleh ditinju larutan-larutan asam basa. Kenapa? Kalau dulu sih jawabnya, dari eksak nanti mau ambil kuliah jurusan apapun fleksibel dan gampang. Angkat kerah senyum-senyum bangga kalau ditanya.
          Namun, kenyataannya banyak yang menyesal, minta putar ulang waktu; aku misalnya.
          “Salah isi angket? Kenapa nggak masuk kelas sosial dari awal,”
          Ah! Andai mereka tahu banyak dari kelas sains tersiksa habis-habisan dipaksa menghafal segudang rumus yang memakan seluruh relung memori. Silahkan, boleh terbahak-bahak. Kalau tahu sekejam ini eksak membunuhku perlahan, sayangnya, aku terbuai pola pikirku sendiri waktu itu. Jujur, hubunganku dengan hal yang berbau hitung-hitungan memang sedikit kurang harmonis.
          Karena itu, jangan heran tak sedikit orang yang sepertiku. Muak sendiri memuja ilmu-ilmu pasti. Di ujung-ujung kelulusan sekolah, banyak yang berniat berkhianat. Lintas jurusan, misalnya.
          Yup. I know exactly what they think. Merampas hak kalian, begitu?
          This is not about science or social, this is about passion and a way to dreams. Terserah. Aku hanya menyinggung sedikit mereka yang menganggap aku–mungkin juga yang lain–mengambil yang harusnya bagian anak sosial. Dan ini, juga teruntuk siapa-siapa yang terlalu mengkotak-kotakkan kelas sains dan sosial. We are same, Ma’am.
          Lagipula, tak pernah ada ilmu yang sia-sia, bukan?

Minggu, 24 Februari 2013

Setiap Tempat Punya Cerita [Neneng Rostiana]

MENANTI SENJA

Kebun Raya Cibodas: 27/12/2012 (Taken by Ananda Marvian)


Kuhirup dalam-dalam udara segar asli alam di pegunungan. Air masih merintik di bawah langit Kota Hujan tempatku berpijak saat ini. Aku memejam menikmati tarian angin yang membelai-belai lembut wajahku. Ah, sejuk.
          Gemericik aliran air yang terhubung dengan air terjun Ciismun di atas gunung menggema indah di telinga. Pepohonan, juga cemara dan pinus, saling menjulang adu tinggi. Embun menetes manis dari kelopak merah jambu bunga kamboja. Aku tak henti berdecak takjub mengagumi mahakarya Sang Pencipta.
          Tiba-tiba. “Selamat ulang tahuuuun,” lalu aku menoleh.
          Para sahabatku, membawa masing-masing dua kue mangkuk dengan lilin-lilin kecil. Aku mendekap mulutku sendiri dan tertawa tanpa suara. Aku menghambur ke pelukan mereka.
          “Tunggu! Buat permintaan,”
          Aku hendak meniup lilin, dan berhenti untuk membuat permohonan yang kurapal dalam hati.
               Selama tujuh belas tahun aku menetap dan bernapas di dunia. Apa yang aku harapkan? Kau tahu, sederhana. Semacam rasa yang mengekang senyum dan tawamu: bahagia.
          Mataku berhenti mencari-cari. Aku tahu, sosoknya tak mungkin ada dalam kerumunan para sahabatku itu. Aku menghela napas panjang. Tanpa ketahuan, aku diam-diam menggumam kecewa.
          “Maaf, kita udah berusaha mengajak dia, tapi...”
          “Loh, apa sih? Cukup kalian,”
          Aku tertawa dan kami berangkulan. Iya, cukup kalian. Namun, bila ditambah satu orang lagi, pasti lebih sempurna. Sekarang menyenangkan. Hanya sedikit getir. Hampa. Tak punya rasa.
          Rindu bak candu; mampu menyiksa hari-hariku saat aku tak lagi dapat menatap sinar lembut dari matanya, memandang garis yang menyimpul manis di bibirnya. Sunyi bahkan lebih kejam; mengakumulasi keping-keping rindu sampai tak berhingga. Ah, haruskah bagian dari mencintai sesulit ini.
          Aku memandang air mancur yang ada di tepat tengah-tengah danau. Dulu, ada janji yang tersirat dari seseorang di masa lalu, “aku dan kamu harus ke sini,” begitu katanya. Mungkin, itu hanya angin lalu yang bahkan terlupakan sama sekali.
          Di mana tempat impianmu, menyelam dengan ikan-ikan di Raja Ampat? Melihat magic hour di seberang Menara Eiffel? Memandang langit Kutub Utara yang penuh aurora?
          Tempat impianku sederhana; duduk di rerumputan tepi danau Kebun Raya Cibodas. Menikmati hembusan udara sejuk, melihat air yang menyembur indah di tengah danau. Dengannya, pangeran negeri mimpiku, sambil menanti senja.


nb: Iya, ini tentangmu, seseorang di masa lalu. Aku amat ingin hadirmu waktu itu. Rasaku masih sama, masih seperti yang dulu aku katakan malam-malam saat kamu mau pulang. Wish you were read it.

Selasa, 19 Februari 2013

Jawaban

Aku memeluk rapat-rapat tubuhku sendiri. Angin yang makin menyayat kulit disertai dengan titik-titik air menetes di lengan baju panjangku. Aku menengadahkan tangan: langit masih menangis.
          “Kapan pulang?” tanyaku.
          Dia hanya tersenyum.
          Aku mengerdikan bahu, lalu kembali ke duniaku.
          Dé javu. Rasanya, aku pernah mengalami hal ini. Memang pernah. Hanya saja, dulu waktu mengemasnya secara sempurna dengan rasa berbeda; menyenangkan.
          Aku meringis pahit dalam hati. Ada perasaan yang selama ini tertidur, dan sekarang ingin melonjak keluar. Tentang tanya yang mungkin punya makna tapi tak pernah punya jawaban. Sederhana. Tentang aku yang terlalu naif melukai diriku sendiri, dengan bertahan bersama cinta yang telah kadaluarsa dan memikul rindu sendirian.
          “Aku mau pulang,”
          Kini mataku hampir berlinang. Bukan lagi karena aku kedinginan, tapi hujan seakan membasahi lagi kepingan luka-luka lama yang belum mengering seutuhnya. Bahkan perihnya masih terasa sama.
          “Iya. Sabar ya, belum reda,”
          “Hujan kayak gini pasti lama,”
          Bibirnya kembali hanya menyimpul senyum. Ah, aku benci garis yang melengkung manis itu. Entahlah, punya daya magis yang mampu melumpuhkan bara amarahku yang telah sampai di ujung lidah. Akhirnya aku cuma menarik napas pasrah.
          “Dingin?”
          Aku mengangguk lemah.
          Dia melepas jaket coklat yang membalut hangat tubuhnya, kemudian melingkarkannya ke tubuhku. Lengannya terdiam merengkuh aku yang menggigil. Aku memejamkan mata menikmati hangatnya yang merasuk telak bahkan sampai ke sekujur tulang.
          Pipiku menghangat. Dua aliran air bening mengalir dari kedua mataku tanpa aba-aba. Aku menyandarkan kepalaku di bahunya.
          Dia menoleh. “Kenapa?”
          Dia lantas menyentuh lembut pipiku dan menyeka butir-butir air mata yang terus mengalir.
          Kenapa? Iya, kenapa. Terlalu banyak ‘kenapa’ yang ingin aku tahu untaian jawabannya. Kenapa ada aku dan kamu yang berpisah ketika cinta masih meletup-letup indah?
          “Kenapa…” kataku.
          “Ya?”
          “Kenapa aku yang ditinggal?”
          Dia terdiam lama. Aku masih menatapnya lurus-lurus.
          Dia menarik napas panjang. Helaan napasnya terdengar berat. “Semua ini, mudah buatmu?”
          Aku menggeleng.
          “Mungkin menurutmu aku jahat. Menurutku, waktu yang jahat,”
          Aku menunduk dalam-dalam. Matanya menyiratkan luka, aku tak mampu menatapnya lagi. Jadi, bukan hanya aku yang terluka?
          Waktuku dan waktumu. Waktu kita memang tak pernah melekat cocok. Apa kisah aku dan kamu tak diciptakan dengan akhir yang manis? Atau waktu dan takdir menyimpannya untuk kejutan istimewa di masa nanti?
          “Jadi, siapa yang kamu pilih; aku? Dia?”
          Nyatanya kamu terang-terang memilihnya. Menyisakan bayanganmu untuk tinggal bersamaku. Sepi perlahan mendekat dan ikut hadir dalam hariku yang mulai kelam menghitam. Kesepian? Tidak. Aku kehilangan.
          Dia menutup mulutnya rapat-rapat. Diam seribu bahasa. Bahkan suara titik air yang menetes terdengar lebih jelas. Rengkuhannya tambah erat, tapi bibirnya makin mengatup kuat.
          Tak adakah jawaban untuk pertanyaan ini?
          Ah, sudahlah. Rinduku memuncak dan ini jawaban yang sepadan. Langit, mari aku temani tangismu.