Rabu, 31 Oktober 2012

Hallo, November!

Hallo, November! Aku menantikan kedatanganmu. Ah, benarkah begitu?
Tapi pasti, bulan ini dinantikan oleh sahabat-sahabat kesayanganku. Bulan penuh cinta, kebahagiaan, pendewasaan, saat hari spesial mereka tepat jatuh pada bulan ini. Aku ikut senaaaang untuk kalian.

6 bulan penuh. Aku memenuhi otakku. Menerka jawaban atas pertanyaan singkat, yang mestinya dengan mudah kutemukan. Ketika sebuah barang tak lagi dapat ditemukan fungsinya hingga menjadi tak berarti dan dibutuhkan, apalagi selain membuangnya? Bukankah ini mudah? Tapi ini tak pernah mudah, saat semua berkenaan denganmu.

Aku menemukan banyak kebahagiaan saat itu. Bulan yang sama, satu tahun lalu. Ketika aku tak lagi ragu untuk jatuh terlalu dalam, hingga aku tenggelam pada anganku yang bermain-main di otak. Membuai lembut dengan segala mimpi-mimpi dan keindahannya. Mungkin, kamu benar, aku yang memang salah artikan. Namun, kamu tak pernah tunjukkan jalan mana yang harus kutempuh. Kamu membiarkan aku terus dalam kesalahan; yang menyenangkan. Bahkan dugaanku tak pernah sampai, kalau aku sekaligus harus menuai luka yang hasilkan perih.

Aku terlalu larut dalam cinta yang berlumur dusta darimu. Hingga aku lupa, kamu punya duniamu sendiri. Kamu punya mimpi sendiri, yang ingin kamu gapai. Dan itu, sama sekali bukan aku. Egoku yang menyeretmu dalam kesalahanku sendiri yang menentang kenyataan. Maaf.

Tapi nyatanya, sosokmu masih tercetak jelas dalam ingatanku. Berikan lagi proyeksi kala kamu genggam tanganku. Aku masih ingat tatapan berbeda darimu waktu aku bercerita, tentang apapun. Entah, ada saatnya aku seperti mati rasa sama sekali, lupa bahkan tak ingat lagi guratan luka karenamu. Namun ada saatnya juga, semua timbul menyeruak telak bersama rindu yang turut menghantam logikaku; kalau aku masih punya rasa yang sama seperti dulu.

Aku lelah menerka. Menyakitkan, bayangkan kamu yang telah membuang segala ingatan tentangku sampai ke akar. Mereka bilang aku bodoh. Tentu saja, mereka hanya tak tahu rasanya jadi aku. Mereka tak pernah rasakan bagaimana menyayangimu, kan?

Aku tahu, kala itu kamu sedang tidak baik-baik saja. Entahlah, hatiku ikut terasa sesak melihat goresan wajah sedihmu. Aku bisa apa? Aku hanya bisa menatapmu diam-diam dari kejauhan, sambil terus memelukmu -dalam doa. Ketika ini lebih menyakitkan daripada aku yang terus melihat dan mendengar gema tawamu dengan dia yang punya paras sempurna, aku siap. Dibanding wajah lelahmu yang hampir menguapkan luka. Tapi aku tahu pasti, betapa besar rasa yang kamu miliki untuknya.

Tanpa persiapan. Aku tahu bulan ini akan berat, ketika semua benar-benar tak lagi sama; kamu tak lagi mengingat tentangku. Ya Tuhan, aku tahu aku akan kuat. Segala macam perih dari luka-luka yang kuabaikan telah menempa hatiku jadi kokoh. Aku masih percaya keajaiban. Keajaiban macam apa? Entahlah, apapun. Agar aku tak lagi meratap bodoh seperti ini.

Rabu, 24 Oktober 2012

Dengan Mengingatmu







Kenangan jadi begitu mematikan
Ketika aku, ingin lupakan
Carut marut, dan segala luka
Yang entah kau goreskan sengaja

Aku coba berontak pada sang waktu
Aku terus meronta
Hingga sampai ke titik terlelahku
Bertahan dari seretan si masa lalu
Menuju ruang dan waktu
Dimana masih ada kita

Asa, yang aku titipkan padamu
Tanpa belas kasih, kauhempas jauh-jauh
Dengan tega, kaulempar dalam telaga dusta
Inikah wujud asli bahagia yang kamu beri?

Kunikmati tiap rasa yang kau bagi
Walau detik berikutnya
Menjelma pisau belati
Yang menyayat lapisan ruang hati

Saat aku sadar, telah jatuh terlalu dalam
Aku tak ingin bangkit
Aku terlanjur amat menikmati
Cinta dan luka yang kamu ramu jadi satu
Menyegarkan sedikit hati yang penuh bekas jahitan
Yang lama tak tersentuh

Sorot hangat kedua matamu penuh misteri
Namun jiwa rapuhku selalu rindu
Mungkinkah aku salah artikan?
Sinarnya cerah, dan pancarkan ketulusan
Melukiskan betapa kamu inginkan aku
Dalam pelukanmu

Lengkung senyum di bibirmu
Ajarkan aku arti keindahan
Memapahku kembali ke secercah harapan
Yang dulu hilang

Terhempas cinta yang salah arah
Dalam mencari jalan pulang
Meninggalkan perih tanpa darah

Semua sangat sempurna
Kala aku masih ada dalam hatimu
Yang hampir tak punya celah
Saat kita saling genggam
Aku gamit tanganmu sangat erat
Hingga jemari kita tak lagi berjarak

Aku membiarkan sepi yang coba membunuh
Dalam diam, lidahku masih berusaha
Untuk ucapkan, kalau aku mau kamu disini
Aku benci kehilangan

Perlahan, kenangan ini melukaiku
Pecahan kenangan yang berserakan ini
Harus aku buang, atau simpan?
Tapi, aku mulai mencintai
Caraku guratkan lukaku sendiri
Yaitu, dengan mengingatmu

Kamis, 18 Oktober 2012

Hanya Angan

Renyah tawamu membunuh satu persatu wujud sunyi.
Lembut alunan suaramu hangatkan penjuru ruang hati; yang nyaris mati.
Jemarimu sentuh lembut pipiku, lantas katakan yang dulu sering kauucap.
Lalu aku merona -masih sama seperti dulu.
Kita pandang semua yang berlalu-lalang. Tanpa acuh.
Tertawakan pandangan iba yang sarat kejenuhan atas rasa iri.
Tapi tidak ke satu pandang itu; dia yang berparas menarik dan punya segala.
Entah detik mampu menghitung, seketika aku dalam rangkulanmu.
Meramu kembali materi berbahan dasar cinta, berbumbu asa.
Inikah yang aku mau? Sosokmu?
Aku tatap matamu. Kamu tatap mataku. Dan kita lengkungkan senyum.
Akhirnya, kucicipi lagi rasa bahagia.
Ah! Tunggu dulu. Semua luntur, perlahan menghitam.
Sampai saraf terjerat dan buatku tersadar.
Kalau ini, hanya angan.

Rabu, 10 Oktober 2012

Bersama Ombak

Dia tak lagi punya daya. Kakinya lemas, dan tubuhnya ditopang lutut yang mencium lembutnya pasir putih. Itupun tak berlangsung lama, kini dia sudah berada dalam pangkuan pantai. 
          Siang tak terlalu terik. Awan menghalangi pancaran sinar sang matahari. Dia menunduk, bukan karena menghindari sisa panas yang lewat melalui celah awan. Tapi, ingin memberi pasir putih tetes demi tetes air wujud perasaannya. Yang paling dalam.
Kata jadi tidak penting sekarang. Pertahanannya telah runtuh. Hingga mata tak sanggup lagi menolak kiriman air bening dari hati dan perasaan. Saat kau mengira bisa kuat dan bertahan, mungkin itu saat terlemahmu.
“Aku kagum padamu, kamu bisa begitu tegar. Terlihat tanpa beban. Sama sekali!”
Dia hanya tersenyum tiap kali orang lontarkan kalimat yang punya inti sama seperti itu. Dia bisa apa? Menghancurkan kekaguman orang-orang dengan menunjukkan luka terselubung dalam dirinya?
Air matanya tumpah makin deras. Tangisnya makin menjadi teredam deburan ombak yang mengulum bibir pantai. Dia mencari sanggahan dengan menggenggam kuat pasir –yang kemudian keluar dari celah genggaman.
Ya Tuhan, aku mulai benci berpura-pura...
Jadi, apa masalahnya? Mereka yang terus menghujat. Memberi caci dan maki. Dia tak henti bertanya pada hati. Sebenarnya, kapan mereka lelah?
Andai mereka mau melihat lebih dekat. Ah! ‘Teman’ kah alasan mereka? Bodoh!
“Hidupmu penuh obsesi!”
“Kapan kamu akan membeli kaca? Agar kamu cepat sadar, kamu itu biasa!”
“Cih! Bagaimana bisa orang sepertimu menyaingi kami!”
Pipinya tambah memanas. Karena rasanya, air mata meluncur lebih deras. Kalimat itu terus menggerayangi pikirannya. Memenuhi otak hingga merobohkan logika. Padahal, kemarin berlalu begitu saja.
Bukankah membenci itu melelahkan? Lalu, kapan mereka berhenti melakukannya?
Dia pintar memainkan peran. Bahkan, drama kehidupan. Senyumnya tak pernah disembunyikan. Justru senyum yang menyembunyikan; seluruh luka dan dukanya.
Namun saat ini dia tak lagi bisa seimbang. Penyumbat telinganya telah terhempas, kalah oleh kumpulan kata yang menyakitkan. Menyayat dan mengoyak benteng teguh dibalik senyum.
Ya Tuhan, apa salahku...
Kau takkan pernah menyangka, sungguh kerapuhan hati seseorang berada tepat dibalik cerianya. Dia meringkuk, ditiup hembusan angin laut. Berteman dengan sakit yang selama ini lekat pada hatinya, yang perlahan keluar bersama tangis.
Selama ini, dia sendirian. Dia bahkan tak sadar, tokoh antagonis berada di sekitarnya. Seakan tak cukup kehadiran mereka para pencaci. Malah, ini telak menghantamnya; ketika alunan indah adalah nada menuju kematian. Definisi teman seketika mengabur. Menghilang!
Pelan, dia mengangkat kepalanya. Memandang ombak bergulung yang berkejaran.
Ya Tuhan, aku mohon, tunjukkan alasanMu membiarkanku terjebak dalam keadaan ini. Sebelum aku tak bisa lagi menahan diri untuk menyusul ke atas sana, bersama ombak...

Minggu, 07 Oktober 2012

Dia yang Ingin Kupeluk

Suaranya bergema, mengekor pada hal yang nyata.
Bayang semu tawa dan senyumnya, terpampang di belakang mata.
Sepi merangkulku hangat.
Hening mendekapku erat.
Mengadang jutaan sesak yang menghantam telak.
Ingin rasanya kuteriakkan, mengusir segala rasa.
Peduli pada orang yang menebar benih cinta ke banyak penjuru.
Kau bisa apa?
Mengapa sang waktu tak jua menabrakkan poros jelas akan sakit yang tak maya.
Atau, otakku kehilangan kemampuan untuk mencerna?
Semua mengabur; antara duka dan bahagia.
Kutatap punggung dihadapanku.
Yang hangatnya terlalu membekas di ingatan.
Bahkan untuk berbalik –dan menatapku–, dia tak lagi mampu.
Karena takut terseret lagi dalam helaan rasaku?
Mungkin, karena memang tak ada lagi namaku dalam kamusnya.
Aku biarkan kenangan menipu kembali.
Membuatku meratap dan tertimpa beratnya sesal.
Berujung sama, helaan akut dari napasku.
Dia, yang selalu ingin kupeluk. Lagi.
Buatku mencintai mimpi.
Cuma di sana aku dapat memeluknya. Sangat erat.

Selasa, 02 Oktober 2012

Sepotong Rindu untuk Masa Lalu

Detik berganti lebih cepat dari biasa. Atau, perasaanku saja?
Aku muak bermain-main dengan perasaan.
Ketika cinta menyusup entah darimana, dan singgah sesukanya.
Mengaburkan logika. Cacatkan fakta.
Ternyata, ini bukan lagi soal guratan luka -yang bahkan belum sembuh sempurna.
Ini tentang sepotong rindu, untuk masa lalu.
Aku pandang langit yang terbentang. Kita berada dalam satu payungan, kan?
Kenangan tak pernah benar bisa diabaikan.
Aku rasakan betapa secuil kenangan, mampu beri guncangan besar.
Saat ia menarikku kembali pada satu masa.
Dimana alasan dibalik tawamu adalah aku.
Dimana rahasia garis senyummu adalah aku.
Dimana pelengkap spasi jemarimu adalah aku.
Terjerat dalam pelukan masa lalu.
Sorot matamu masih sama. Masih sukar dibaca.
Entah apa masih juga terpecik dusta.
Karena kita saling pandang, namun tak lagi saling tatap.
Untuk kali ini, maukah kamu pasang telinga?
Jangan sumbat dengan benci, juga gengsi.
Kamu pantas khawatir, tapi tenangkan dirimu.
Aku sangat sadar diri.
Aku hanya ingin menyuarakan, membiarkan hati ambil andil.
Cukup sederhana. Aku, rindu kamu.
Tertawalah. Tak jadi masalah.
Memang itu yang kurindukan; gejolak tawamu karena aku.