Jumat, 31 Agustus 2012



Kamis, 30 Agustus 2012

Ikutan Project Seru, Yuk!

Hello, everyone! For a while no posting! Me miss you, guys.
          Di posting-an ini, gue cuma mau sharing nih. Ada info yang harus kalian tahu. Ikutan project seru, yuk! The name is #30HariLagukuBercerita yang diadakan oleh @PosCinta
        Gue juga baru tahu tentang ini beberapa jam yang terlewat tadi. Menarik nih. InsyaAllah ikutan. Dibalik kesibukan pasti ada waktu lengang, ayo manfaatkan sebijak mungkin! Kalau kalian suka menulis, yuk ikutan :)
        Selanjutnya bisa dilihat disini -----> http://30harilagukubercerita.blogspot.com/p/ayo-ikut-ceritakan-lagumu.html
         Burn out your spirit!



With a lot of passion,



Neneng Rostiana

Jumat, 10 Agustus 2012

Dasar Dunia, Penuh dengan Drama

Aku hanya ingin menjadi diriku sendiri. Salahkah aku?
          Dunia ini panggung drama dari segala macam sandiwara. Berperan sebagai diri sendiri dengan kostum serta dialog seadanya seakan pilihan sulit. Banyak yang menuntut dan memilih kesempurnaan, seakan lupa bahwa tak ada satupun yang sempurna di dunia ini.
Helaan napas dalam kusamarkan. Padahal, ada hal yang menyakitkan dalam hembusannya. Entahlah, aku merasa sedikit sensitif belakangan ini.
Inilah aku. Bagaimana ya aku mendeskripsikan diriku sendiri? Yang pasti, aku suka dunia musik dan tulis menulis. Aku tak menyebut diriku pintar, tapi aku selalu punya perspektif sendiri tentang apapun. Termasuk bagaimana jalan pikiran seseorang, yang baru aku sadari ternyata isi pikiran seseorang kadang tak sama dengan milik kita.
Jangan jadi apa yang mereka inginkan hanya karena mereka akan menyukaimu. Jadilah dirimu sendiri, maka kamu akan tahu siapa yang menyukaimu karena kamu.
Sepertinya kalimat mutiara ini jarang sekali terealisasi ya di masa sekarang. Tak perlu memandang jauh hingga ke seberang lautan. Coba lihat dirimu. Sudahkah kamu menjadi kutipan tersebut? Naif bila memungkirinya. Aku pun tak menampikkan hal ini. Kadang aku pun masih merasa masih menjadi apa yang orang inginkan, bukan apa yang aku inginkan.
Aku masih bersikap seperti apa yang mereka ingin aku bersikap.
Aku masih menunjukkan seperti apa yang mereka ingin lihat.
Aku masih bersuara seperti apa yang mereka ingin dengar.
---
Hingga kini aku masih tidak menyangka, bagaimana susunan dua-tiga kata dapat merobek hati dan menghancurkan tembok percaya diri. Siapa yang mengenalku? Mereka pasti tahu aku suka lelucon dan susah untuk serius. Tapi, dalam beberapa hal, mengapa aku begitu sensitif? Aku baru tersadar ternyata ada bagian dari diriku yang tak suka dijadikan bahan lawakan. Hanya aku atau semua juga memiliki bagian ‘rawan’ pada hatinya yang bila tersentuh akan hancur?
Tak ada... ah, jangan. Belum ada –ini lebih baik– yang bisa dibanggakan dariku. Pandai dalam mata pelajaran? Satu-satunya yang kubisa hanya English dan itu pun belum sempurna. Indahnya rupaku? Aku tak punya paras yang cantik, rambut yang bersinar, tubuh yang indah, dan aku tak menarik. Satu yang aku syukuri, aku masih bisa tersenyum atas kekuranganku. Setidaknya senyumku pernah mengalihkan dunia seseorang.
Everyone perfect in their own way. Kenyataannya, semua orang merasa dirinya sempurna dibandingkan dengan yang lain. Mungkin itu yang menyebabkan mereka bisa dengan mudah mencaci dan meremehkan seseorang. Mereka berucap tanpa pikir panjang, dan akhirnya terbentuk luka pada hati lawan bicaranya.
Adakah orang pernah merenungkan kalimat yang mereka lontarkan menyakiti atau tidak? Lagi-lagi, jalan pikiran seseorang tak selalu seperti yang aku pikirkan.
Aku bukan seorang fashionista. Wajar bila aku tak seperti mereka yang modis. Yang menurutku bagus, akan kukenakan. Yang menurutku nyaman, akan kugunakan. Tak peduli bagaimana bentuknya, asal simple dan nyaman tak jadi masalah. Ini bagian dari cara menjadi diriku sendiri.
Ya, sama seperti yang ada di otakku. Semua tak sependapat denganku. ‘Penampilan itu segalanya’, bahkan beberapa punya pemikiran ini. Aneh dan kuno. Seperti terbiasa aku diberi komentar yang semacam ini. Baru aku sadari, aku punya sisi sensitif yang menurutku tidak etis bila dijadikan bahan candaan; fashion.
---
Aku tidak cantik dan menawan. Bisa kita lihat kan di jaman sekarang ini, fisik seperti segalanya. Tanpa mereka sadar, wajah rupawan tak menjadi jaminan hatinya pun rupawan.
Aku benci menerima kenyataan bahwa sebagian orang mengaku ‘cinta’ pada mereka yang punya tampang. Maksudku, lihat saja orang-orang tampan/cantik banyak dicintai pengaggumnya. Dan, terkadang itu membuat mereka besar kepala dan lupa daratan.
Iri? Sedikit. Ingin menjadi mereka? Kadang. Percaya diri berkurang? Ya.
Tapi itu tak membuatku mengurungkan niatku untuk menjadi diri sendiri. Konsisten dan menjaga komitmenku untuk tetap menjadi diriku yang sederhana.
Mereka harusnya sadar, ketulusan yang dibutuhkan dalam cinta. Bukan cantik yang membuat cinta, tapi cinta yang membuat cantik.
Bicara cinta, tak jauh dengan urusan jodoh. Semua manusia sudah punya pasangan hidupnya masing-masing. Hanya tinggal menemukan dan ditemukan. Butuh proses kan?
Banyak orang yang sudah bertemu jodohnya, ada juga yang masih dalam pencarian, dan sisanya sudah lelah mencari dan hanya akan menunggu sebab mereka tak khawatir tidak ‘kebagian’ jodoh. Dan aku manusia yang terakhir itu.
Pikirkan dulu masa depan, lalu sukses, maka tanpa dicari pasti mereka yang merupakan jodohmu akan menemuimu. Hidup terus berjalan. Tentu tidak ada yang mau hidupnya jalan di tempat kan?
Mengapa masih banyak orang yang –katanya– tampan/cantik meremehkan orang? Hanya karena kalian sekarang punya pasangan, dan aku tidak, bukan berarti aku boleh diremehkan. Mereka yang seperti itu hanya tak tahu jalan yang telah aku lewati. Beratnya melawan dan membuang sebuah rasa yang tak bisa ditampikkan. Lagipula, Tuhan sudah mengatur pasangan setiap manusia.
Mereka yang belum pernah merasakan sakitnya luka hati, tak paham bagaimana memperlakukan orang yang selalu ditemani luka hati. Dalam hal percintaan, mereka yang belum punya pasangan sensitif dengan kata ‘tidak laku’.
Harusnya kalimat kasar itu dilembutkan dan menggantinya dengan ‘belum bertemu orang yang tepat’. Apa salahnya dengan ‘belum bertemu orang yang tepat’? Apa menunggu cinta dan kasih sayang yang tulus tanpa kepura-puraan adalah hal yang abnormal? Mereka yang menjawab iya hanya belum pernah tahu rasanya luka.
Sampai kemudian aku menyadari point lain yang merupakan sisi sensitif yang merapuhkan hatiku; love and mate, cinta dan jodoh.
---
Dasar dunia, penuh dengan drama. Mengaku sempurna di atas keterbatasan orang lain. Mencaci atas dasar ‘aku lebih baik darimu’.
Lagi-lagi hembusan napasku terasa berat. Menyakitkan membayangkan kerasnya sepak terjang dunia di luar sana. Tapi itu takkan merobohkan benteng komitmenku untuk menjadi diri sendiri, meski pilar rasa percaya diriku mulai terkikis.
I should throw away this mask. Perlahan namun pasti, topeng dari drama ini akan kulepas. Setidaknya, senyumku lebih cantik tanpa topeng.

Rabu, 01 Agustus 2012

Apa Kau Membenciku?

“Apa kau membenciku?”
Pertanyaan macam apa ini? Tiga kata, tapi cukup untuk menembus dadaku ke sisi lain. Ya, apa aku membencinya? Biar aku pikirkan dan cari baik-baik.
---
          Semudah mengatakan cinta, semudah itu pula untuk mengatakan benci. Cinta tak berarti apapun, bila hanya terlontar melalui kata-kata dan janji tanpa tindakan untuk membuktikan. Apa itu berlaku untuk benci? Ya, setidaknya begitu menurutku.
          Punya alat untuk mengukur suatu kadar benci seseorang? Boleh aku pinjam? Karena hati dan pikiranku mulai tak sejalan. Bahkan, definisi benci melebur menjadi satu kesatuan dengan cinta di dalam otakku.
          Tindakan dan perlakuanmu padaku, serta kata-kata yang kau tuju untukku, semakin lama semakin membuatku muak. Haruskah sesakit itu? Goresan baru bernama luka mulai kau buat dalam hatiku. Sadarkah kamu?
          Pintu lain di hatiku dengan lemari penuh berkas-berkas kenangan tersimpan rapi. Tak pernah tersentuh sampai akhirnya pertanyaanmu memutar kunci yang masih terpasang di gagang pintunya, perlahan menguak kembali seluruh kenangan.
          Siapa itu? Itu... aku dan kamu? Dua orang yang terlihat sangat bahagia itu? Dengan tawa dan air muka canda yang amat kental, juga aura warna-warni di sekelilingnya. Benarkah? Ternyata benar. Aku lupa. Bukankah aku sedang menjelajah di ruang kenangan yang tadi pintunya baru saja terbuka? Tak heran ada sesuatu seperti yang tadi kulihat.
          Andai aku punya rekaman, atau minimal reka ulang semua kejadian manis yang lalu. Sudahlah, lagipula aku tahu itu tak ada artinya lagi.
          Oh iya. Dimana ya aku meletakkannya? Ini? Ternyata bukan. Ini tumpukan kepingan yang nanti akan aku buang. Wow, semakin banyak. Aku akan segera menyingkirkan ini dari hatiku. Kalau dibiarkan, mungkin gedung tertinggi ibu kota kalah besar dan tinggi dengan ini. Ini apa ya? Labelnya menyebutkan, ini... ‘rindu’.
          Aku mulai muak, rasa jenuh pun mulai melandaku. Kusimpan dimana lembaran catatan kelakuan burukmu, kumpulan kata-kata tajam darimu, serta cetak tatapan sarat rasa ingin agar aku enyah saja. Mengapa tak aku temukan? Dimana aku menaruh seluruh kebencianku padamu? Tak mungkin tak ada, pasti aku letakkan di suatu tempat di sudut hatiku ini.
          Aku benci mengakui ini, terlalu banyak lembar ‘sayang’. Muak! Ya, aku muak! Aku butuh rasa benci, setidaknya untukmu. Pertanyaanmu,... pertanyaanmu telak membuatku tak berdaya!
          Lalu, apa aku membencimu? Mengapa pertanyaan sederhana seperti ini tak dapat kutemukan jawabannya? Padahal, tak perlu menggunakan rumus persamaan bidang miring dan logaritma serta fungsi turunan untuk menjawabnya.
          Aku membencimu, aku membencimu, aku membencimu...
          Aku teriakkan kencang dan semakin kencang dalam hatiku. Aku harap otakku sejalan untuk kali ini, setidaknya dalam urusan tentangmu.
---
          “Hallo?”
          Ia menghadapkan wajahnya dan melambai-lambaikan tangannya tepat di depan mukaku. Apa aku baru saja melamun? Sepertinya.
          “Iya?” Jawabku singkat.
          “Jadi, apa kau membenciku?”
          Deg! Lagi-lagi perasaan ini, yang tadi membawaku jauh ke tempat yang entah apa itu.
          “...”
          “Kamu ini kenapa sih? Jadi, bagaimana? Kau membenciku?”
          Dasar! Menurutmu ini pertanyaan yang pantas dijawab ya? Setidaknya aku tak punya pemikiran yang sama denganmu. Bisa-bisanya aku begitu sulit untuk membenci orang sepertimu.
          “Hm... Ya! Aku membencimu. Bisa dibilang, sangat!”
          Woa, lantang sekali. Ternyata pembohong pemula sepertiku bisa berkata yang lain dari hatiku dengan lancar. Seperti tak pernah ada pertimbangan sebelumnya.
          “Lalu bagaimana denganmu? Apa kau membenciku?”
          “Haruskah aku jawab? Bukankah kamu sudah tahu jawabannya?”
          Aku mengerutkan keningku. Kalau aku tahu jawabannya, aku tak akan bertanya. Menyebalkan!
          “Aku serius.” Kataku, datar.
          “Apa wajahku tak tersirat tampang serius kali ini?” Dia menunjuk wajahnya sendiri.
          Perlahan, dalam hitungan detik, wajahnya sudah mendekat ke telingaku. Kemudian, berbisik.
          “Aku tak berbohong kali ini. Aku... membencimu!”
          Detik selanjutnya, kecupan singkat mendarat di pipi kananku. Hah? Dia... menciumku?!
          Dia berbalik dan mulai berjalan menjauh. Tapi, aku merasakan ada senyum sinis menghiasi bibirnya.
          Aku masih terdiam membeku. Mulutku diam tak berkata, tapi aku tahu ada perdebatan hebat yang sedang terjadi dalam hati dan otakku kala ini. Masih berusaha mencerna kejadian tadi, terutama kalimat singkatnya tadi.
          Dia membenciku? Lalu, apa arti... ah, aku malas mengucapkannya. Jadi, dia membenciku atau tidak? Dasar manusia super duper payah! Menyebalkan! Yang lebih menyebalkan lagi, mengapa aku tak bisa untuk membencinya? Kalau bisa, maka selesailah sudah masalahku.