Rabu, 10 April 2013

Aku Bidadarinya

Mimpi manis itu masih memanipulasi
Namun bukan ilusi
“Kau tahu siapa yang paling berarti untukku?”
Aku mengerutkan dahi dan kembali bertanya, “siapa?”
“Coba lihat ke sana,” dia menunjuk ke utara
Aku menoleh, dan cermin besar muncul entah dari mana
Kupandang aku yang di sana
Terlihat menyedihkan, dengan rambut kusut tak karuan
Debu-debu menempel di sekujur badan
Coreng moreng mukaku bekas luka
Kekuatanku memudar, lalu mengalihkan pandang
Gadis itu penuh gemuruh kesedihan
Gadis itu, sungguh aku?
“Dia menyeramkan,” kataku
Aku menunduk dalam-dalam
Dia mengangkat mukaku, “tapi dia orangnya.”
Dia tersenyum tipis
Aku memandang nanar matanya
Kerlip cahaya memendar
Mendadak ada aku di sana
Kulitnya putih bersih, rambutnya digerai sambil dimainkan angin
Tiap langkahnya berubah bunga warna-warni
Gadis itu memutar, tetapi aku tak menemukan sayap di punggungnya
Senyumnya selembut awan
Gadis itu berseri-seri hingga tampak sempurna
Gadis itu, sungguh aku?
“Percuma dunia memandangmu seburuk-buruknya, kamu selalu jadi bidadariku,”
Begitu katanya
Aku, bidadarinya…

Available on Soundcloud:


Senin, 01 April 2013

Hatiku Belum Mati


Aku tak berani menyalahkan cinta yang datang salah waktu. Begitu tak tahu diri, ia datang tanpa permisi. Menjajah tiap-tiap aliran darah hingga berdesir makin cepat. Aku bersyukur, setidaknya aku tahu ternyata rasaku belum mati. Aku masih bisa merasakan debaran menyenangkan dalam jantungku. Aku tahu, duniaku tak lagi sepenuhnya dipenuhi masa lalu. Ketika aku cuma meringis miris sendirian menatap dua insan yang sempat mengoyak-oyak hatiku itu. Merasa hatiku mati fungsi untuk menjamu–yang katanya–cinta. Ternyata belum, aku tahu saat daun terakhir di penghujung tahun jatuh, tatapan sosok di ujung sana diam-diam menuju ke arahku. Yang kusadari hampir empat windu kemudian; dia memesonaku.
          Bulatan warna merah di kalenderku terlihat tak lagi berjarak jauh dari hari ini. Sekuatku mengerjap, tak ada yang berubah sama sekali. Entah definisi apa yang tepat, bagiku, hari di mana tak lagi mungkin aku menatapmu dari balik pilar-pilar gedung sekolah akan tiba. Memandang dari kejauhan wajahmu yang kadang terlihat sendu, membayangkan betapa aku akan sangat rindu saat itu (hampir) menyita air mataku. Tunggu dulu, bagaimana mungkin aku menangisi yang bukan milikku?
          Ada saatnya air mata mengatakan yang sebenarnya; petunjuk betapa berartinya seseorang bagimu. Semurni tumbuhnya rasa perlahan-lahan tanpa kautahu. Tadinya, aku kira ini perasaan kecil yang singgah sementara. Bukan lagi tentang pesonamu yang keterlaluan, aku hanya sangat ingin duduk temanimu saat kau sendirian di sana waktu itu, mendengar lagu yang sama dengan yang kaudengar. Berlama-lama menatapmu, mendengar merdumu, menyimak apa yang ingin kaukatakan tentang harimu. Aku hanya ingin.
          Mereka cantik luar biasa. Jangan sandingkan dengan aku yang lusuh. Saat itu, saat aku melihatmu jalan berdampingan dengannya, aku tahu hatiku mendadak memanas. Ada tangis yang ingin memaksa keluar. Tapi aku diam. Apa aku layak mencemburuimu yang nyatanya tak kumiliki? Lalu, perih apa ini kalau bukan… cemburu? Betapa aku jauh berbeda dengan gadis-gadis yang dulu kaucintai. Mereka terlihat sempurna dari sisi manapun. Memikatmu dengan begitu mudah dari kesan pertama.
          Senyumku mengembang sendiri kala aku mengingat bagaimana tatapan matamu dan mataku terkunci satu detik. Aku terus berlalu, tanpa berani menoleh lagi. Atau untuk tersenyum tipis. Aku tak pernah benar-benar menyadari ini bukan lagi kadar mengagumi. Aku jatuh cinta. Iya, aku jatuh cinta. Setidaknya sekarang aku bisa kauandalkan dibanding gadis-gadis itu; aku mencintaimu di saat mereka tak lagi melakukannya. Teman setiaku bernama luka, menerus mengajariku arti kehilangan dan kesepian. Haruskah aku ucapkan terimakasih atas pesonamu yang membiarkanku mencoba manisnya rasa ini lagi?
          Aku tahu, hal ini akan jadi sia-sia. Aku takkan pernah mampu  menautkan jemariku di jemarimu, memberimu senyuman termanis yang aku bisa, bahkan mengucapkan selamat tinggal sebelum sapaan selamat pagi sederhana. Jatuh cinta hal manis, tapi tidak kalau bukan di waktu yang tepat. Sebentar lagi aku mau menggapai mimpi-mimpiku, dan bukan di kota ini. Semoga kamu tidak keberatan kalau aku menjadikanmu sebagian dari mimpiku. Yang tak pernah tergapai. Entahlah, aku bisa rasakan mencintaimu takkan pernah membuang waktuku. Karena kamu membuat kesan manis di detik-detik terakhir masa sekolahku, dengan membiarkan aku merasakan–yang kuyakin–cinta lagi.
          Selamat hati, kamu dikunjungi cinta lagi. Selamat berjibaku dengan waktu yang akan mengembangkannya sampai besar.


-teruntuk kamu yang bahkan tak mampu kusentuh bayangannya, aku akan sangat merindukanmu-