Jumat, 14 September 2012

Galau Jurusan

Aku punya pilihan. Tetapi, mengapa aku memilih yang membuatku tersiksa?

            Dalam hal ini, soal jurusan. Ya. Aku memilih ipa, dan aku tersiksa.
            Otakku bekerja sangat keras. Menghafal rumus-rumus rumit. Bermain dengan logika. Menghitung sesuatu yang absurd. Coba bayangkan, adakah manfaat dari mengukur kecepatan mobil saat ia akan menabrak seorang anak kecil? Atau bahkan, menghitung berapa tebal dari sebuah gelembung? Apa hanya aku yang berpikiran ini adalah hal gila?
            Tak ada yang bisa dilakukan. Nasi sudah menjadi bubur. Aku pun sudah terlanjur tercebur. Ke lautan para ilmuwan bermula.
            Kadang aku iri pada mereka, yang ketika ditanya “mau lanjut jurusan apa?” akan menjawab “gue Kedokteran” “kalo gue sih, Kimia Murni” “Keperawatan atau Kebidanan kayaknya” “Tekhnik Sipil dong” “Pendidikan Matematika, atau Statistika, atau apapun tentang matematika” dan segudang jawaban lain, yang mengacu dan sejalur dengan jurusan kami; ipa.
            Tadinya, aku juga bercita-cita jadi dokter. Ya, seperti kebanyakan anak-anak saat ditanya apa cita-cita mereka. Tapi saat aku lihat kenyataan –otakku dan biaya kuliah– aku buang jauh cita-cita masa kecilku itu.
            Silahkan tanya padaku pertanyaan tadi. Aku akan menjawab, “Hubungan Internasional, kalau nggak ya Sastra Inggris.”
            Aku ingin sekali menetap di Inggris. Banyak orang ingin ke Paris, tapi aku lebih memilih Inggris. Entahlah, nuraniku yang memilih. Atas latar belakang itu, tercipta impian untukku menjadi Duta Besar di Inggris. Menjalin hubungan diplomasi negara yang aku cinta dengan negara yang aku kagumi. Ah, such a beauty dream on hard reality.
            Galau jurusan! Entahlah, mungkin keyakinanku masih bisa berubah. Seiring dengan kenyataan yang makin menampakkan diri. Biarlah aku terima julukan ‘pengkhianat ipa’ kalau demi tercapainya impian besarku.
            Aku minta do’a kalian ya. Semangat untuk anak kelas 12 di luar sana! Dan, yang bernasib ‘salah jurusan’ sepertiku, jangan patah arah ya. Semangat!

Rabu, 05 September 2012

Alam Berbahasa

Aku masih disini. Masih sama seperti hari-hari sebelum ini; aku berkawan dengan sunyi. Lagi, lukisan wajahmu memenuhi proyeksi dari indra penglihatku. Menyesaki ingatanku yang memang penuh. Sekian banyak hal yang sulit aku lupa, indah senyum milikmu salah satunya. Caramu bertutur kata, mengurai lelucon hingga kita terpingkal karena tawa. Membahana dan selalu sukses menjadi penghancur keheningan. Bahkan, ketika semua sebatas bayangan.

Namun, aku merasa sesuatu yang berbeda. Ada hal lain yang menerobos masuk saat aku berangan tentangmu. Memang, masih menyenangkan. Tapi, jantungku seakan diberi dorongan mendadak hingga mengalirkan darah lebih cepat. Cuaca pun memelukku lebih erat. Entahlah, ini membuat lapangan pikiranku makin luas.



Jika ada yang harus disalahkan saat rindu berkunjung, ialah jarak. Aku yang egois, atau memang sebenarnya kamu tak harus pergi jauh demi menuntut ilmu. Ya, jawabannya yang pertama. Karena, manusia tak berhak melarang mimpi manusia lain. Dan aku, tak berhak dan tak ingin membatasi mimpimu. Mengapa? Bukannya sudah jelas; aku mencintaimu, Sayang.

Kemarin kulihat awan membentuk wajahmu
Desah angin meniupkan namamu

Semalam bulan sabit melengkungkan senyummu
Tabur bintang serupa kilau auramu

Sungguh. Bolehkah untuk kali ini aku khawatir padamu melebihi biasanya? 6 bulan lebih ruang dan waktu memisahkan –sekedar kau tahu– ini tak mudah, Sayang. Terlebih saat otakku mulai menagih wajah tampanmu. Lalu, mengundang jutaan rindu. Dan seketika aku jadi pecandu. Pecandu senyummu, tawamu, jailmu, pelukmu. Pecandu kamu!

Semesta mencoba mengajakku berbincang. Angin berbisik. Langit meneduh. Alam punya bahasa sendiri, aku yakin. Entahlah, aku rasa yang ia katakan adalah tentangmu. Begitulah, karena bagian diriku juga berpikir seperti itu. Menjalin kasih antarbenua tak pernah aku bayangkan sebelumnya. Aku disini, kamu disana. Kamu juga selalu disini, tapi hanya ketika aku ada dalam dunia mimpi semata.

Ada makna di balik semua pertanda
Firasat ini rasa rindukah atau kah tanda bahaya

Apa yang sedang kamu lakukan disana? Pesan darimu tak ada sejak dua hari kemarin. Ini membuat perasaanku genting, kau tahu? Aku harap kamu baik. Hampir sulit aku menemukan perbedaan rasa yang tengah singgah. Ini rindu, atau akan ada sesuatu yang buruk menimpamu?

Perempuan punya rasa yang lebih peka dari laki-laki. Ah, klise! Dan aku harap ini tak benar. Setidaknya untuk kali ini. Kamu harusnya mengerti, betapa aku gundah gulana saat ini.

Sekarang aku mengerti hati mereka. Mereka yang menyebut ini Long Distance Relationship. Long; sulit untuk aku menggapaimu. Distance; mencipta rindu yang jadi pembunuh nomer satu hari-hariku. Relationship; meski demikian, hatiku tetap milikmu, dan aku harap kamu juga begitu. Tadinya kukira cuma mitos. Ternyata fakta!

Tanpa sadar air mataku jatuh sendiri. Inginkah kamu tahu yang ada di pikiranku saat ini, Sayang? Tak muluk, aku menginginkan kehadiranmu disini. Perasaanku berprasangka hal yang tidak aku, kamu, KITA inginkan akan terjadi. Cepatlah kembali. Agar spasi antar jari-jemari kita dapat saling mengisi. Lagi.

Cepat pulang,
Cepat kembali jangan pergi lagi
Firasatku ingin kau tuk
Cepat pulang,
Cepat kembali jangan pergi lagi....

Inspired by: Marcell - Firasat

Senin, 03 September 2012

Perpisahan

          Siapa yang suka perpisahan? Aku yakin hampir tak ada; atau bahkan tak ada. Peti mati yang telah aku kubur dalam, isinya berhamburan. Berputar dalam satu kesatuan. Memecah pandanganku. Kemana lagi selain pada masa lampau?

 Kalimat yang memekakkan telinga saling berloncatan. Bahkan piring dan gelas kaca ikut berterbangan. Cacian, tuduhan, bahkan hujatan. Entah apa yang tersirat dalam otak mereka.
Aku menutup telingaku. Tak mengizinkan satu kata pun melintas. Mata juga kupejamkan. Menahan air yang hendak meluncur.
“Kau mementingkan dirimu sendiri. Egois!!!”
“Terus saja bilang begitu. Sadar, kaulah yang egois!!!”
Kutekan makin kencang telingaku.
“Aku egois? Lalu kau apa? Urusi saja jalangmu itu!!! Wanita penggoda penghancur!”
Plak...
Tamparan keras sepertinya baru saja mendarat. Aku menunduk makin dalam dan mengunci mataku kuat. Walau tak terlalu kuat menahan aliran air bening yang turun seketika.
“Jaga ucapanmu!!! Aku muak denganmu!”
Bantingan keras berasal dari pintu terdengar. Nampaknya ada yang angkat kaki dari situ. Sedetik kemudian, senandung tangis yang memenuhi ruangan. Tangis yang terkandung unsur lelah, juga luka dan kecewa. Aku ikut menangis –dalam diam.
Hidangan mengunggah selera tersedia dihadapanku. Tapi aku sama sekali malas bahkan untuk menyentuhnya. Aku bahkan berharap tak disini.
“Apa yang kau lakukan dengan foto di saku baju kerjaku?”
“Fotomu bersama jalang itu?!”
Gebrakan meja mengagetkan.
“Sudah berapa kali aku bilang?! Jaga ucapanmu!!!”
Ah! Bukankah ini saatnya makan? Ada apa dengan mereka ini. Siapa lagi? Tentu saja kedua orang tuaku.
Apa mereka tak pernah menganggap keberadaanku? Mungkin aku disangka boneka tak bernyawa. Tidak melihat, mendengar, dan merasa. Ini rumah, atau penjara? Sepertinya penjara pun tampak lebih nyaman.
“Aku sudah tidak tahan lagi. Kalau itu maumu, baik aku akan bersama dia!”
“Silahkan! Aku mau cerai!”
Kalimat itu takkan pernah terbuang dari ingatanku walau untuk seumur hidup. Kumpulan kosakata terburuk sepanjang yang pernah terdengar olehku. Dan, awal dari kelamnya masa remaja yang mestinya indah.
Mereka yang diapit oleh keluarga yang damai dan suasana rumah nyaman; izinkan aku iri pada mereka. Andai aku punya kesempatan untuk memilih posisi hidup yang aku inginkan.
Tak pernah terbayang orang tuaku akan berpisah. Aku hampir maklum dengan ‘kicauan’ mereka setiap hari, juga terbiasa. Bahkan lebih baik. Selanjutnya, aku akan memilih –atau dipilih– tinggal bersama Bunda, atau ikut Ayah. Bukan pilihan mudah, sangat bukan pilihan mudah.
Aku merasa diabaikan, dicampakkan, bukan pilihan, dan tak diinginkan. Pernah terbesit dalam otakku, mengapa Ayah tak memilihku dan pergi dari rumah? Tapi kalau aku ikut, Bunda sama siapa? Kemudian aku melakukan yang aku bisa; menangis.

I watched you die, I heard you cry
Every night in your sleep
I was so young, you should have known better than to lean on me
You never thought of anyone else
You just saw your pain

Setiap malam bisikan tangis Bunda memenuhi kamarnya. Aku masih terlalu kecil untuk memahami perih dan pahitnya perpisahan. Kubiarkan telingaku mendengar, tanpa berusaha menghibur atau sekedar bertanya. Rasanya, percuma.
Hidupku, berubah, sejak saat itu. Aku tak pernah dibasuh kehangatan keluarga lagi. Bahkan lupa rasa kasih dan sayang. Bentuk perhatian sederhana dari kedua orang tua pun, lenyap sama sekali. Ah, merananya hidupku.
---
I will not make the same mistakes that you did
I will not let myself cause my heart so much misery

Déjà vu. Aku terperangah. Kata tak lagi terlontar. Aku membisu didekap hal fana. Entahlah, sepertinya aku kenal saat ini. Tak asing lagi bagi jiwa rapuhku.
Terlihat anak perempuan manis di sudut pintu saat aku menoleh. Matanya nampak basah, hidungnya memerah, dan napasnya terseguk. Guling kecil yang dibawanya tampak terjerat erat dalam pelukan. Lagi-lagi, bukan bagian yang tersisih dari ingatanku.
Di depanku, teriakan tak lagi terdengar. Hanya gerak dagu juga tatapan yang berapi. Mengapa di saat seperti ini, terpancar jelas pada dua bola mata itu cinta yang begitu dalam?

And now I cry, in the middle of the night
Over the same damn thing

Nyawaku seperti baru kembali. Dari perjalanan waktu. Akhirnya, aku sudah sadar keadaan.
         Tiap doaku, aku berharap waktu berlalu. Hingga aku temukan lagi secercah kebahagiaan, yang pernah hilang. Cukup kesengsaraan untuk selama ini, aku hanya ingin pergi. Menemukan lembaran baru.
          Perjuangan Bunda, membuatku menjadi wanita yang tegar dan kuat. Sampai aku merasakan berada di posisinya. Sekarang aku sangat mengerti perasaannya, terutama bagian terpedih. Entahlah, kini alasanku menitihkan air mata, sama seperti Bunda. Mengapa ada pertengkaran di tengah pengakuan saling cinta?
          Ia masih terus memaki, memuntahkan kata tak enak bagi hati. Tapi aku, cuma mengulas senyum tulus. Biarlah ia puas, hingga tak perlu lagi memendam. Beberapa saat berlalu, mulutnya berhenti menguntai kata. Tergurat air muka heran di wajahnya. Tatapannya pun tak sepanas tadi.
          “Aku mencintaimu. Maafkan aku ya.”
          Kupeluk erat tubuhnya. Ia tersentak, lalu detik selanjutnya membalas pelukanku. Aku bisa merasakan ia tengah tersenyum.
          Gadis manis itu menghampiri kami. Aku juga menenggelamkan kesayanganku yang berharga itu dalam pelukan hangat.
          “Maafkan Mama, sayang.”
          Aku berbisik di telinga mungil, dan terasa mulai memanas kedua pipiku.
          Betapa bodohnya aku. Menyia-nyiakan tawaran kebahagiaan yang selama ini aku cari. Bertumpu pada masa suram, membutakan hal indah di depan mata. Bahagia itu tak murah ya. Aku harus merasakan hatiku dicambuk dulu baru bisa mendapatkannya.
          Terimakasih, Bunda. Perihnya perpisahanmu mengajariku banyak arti kehidupan; bagaimana cara menjadi tegar dan bertahan. Aku takkan melupakan pelajaran berharga ini. Hanya karena aku pernah sakit hingga tak bisa bangkit, aku bukan seorang egois yang tega membiarkan orang yang kucinta merasa juga.
Keluarga itu, segalanya.

Because of you
I never stray too far from the sidewalk
Because of you
I learned to play on the safe side
So I don't get hurt
Because of you
I find it hard to trust
Not only me, but everyone around me
Because of you
I tried my hardest just to forget everything
Because of you
I don't know how to let anyone else in
Because of you
I'm ashamed of my life because it's empty
Because of you
I am afraid

Inspired by: Kelly Clarkson - Because of You

Sabtu, 01 September 2012

Kepergianmu


          Angin malam menampar lembut. Kerlipan entah bintang atau satelit di langit kelam, menambah voltase mataku untuk tetap terjaga. Deru kendaraan bermotor sesekali tertangkap telinga. Hawa dingin menusuk sampai ke kerangka tubuh. Tapi, bukan aku yang menggigil. Melainkan hatiku.
          Aku masih terduduk di kursi balkon kamarku. Menikmati tiap belaian sang angin sambil satu-dua kali memejamkan mata. Kulirik jam yang berada dalam kamar. Sudah jam 11 malam?  Berarti kurang lebih 2 jam sudah aku disini. Termenung dalam rangkulan sepi. Terbunuh oleh memori. Tenggelam bersama kenangan.
          Air bening membanjiri pipiku yang mulai terasa memanas. Dadaku sesak terhimpit hal yang masih sulit aku terima hingga detik ini. Kembali, ‘kenapa’ lengkap dengan tanda tanya besar menggelintar dalam benak.
          Kenapa kamu berlalu, kenapa kamu pergi, kenapa kamu tinggalkan aku sendiri? Ketika aku jatuh begitu dalam di lautan kasih dan cintamu. Larut atas limpahan sayangmu. Terlena dengan tawaran kejutan romantis serta guyuran perhatianmu. Aku merasa buliran air dari kantung mata semakin tumpah ruah.
          Dasar bodoh, kamu begitu bodoh! Harusnya dulu kau tak perlu lakukan hal itu. Yang harusnya menjadi sebuah kejutan manis, malah menjadi guncangan bengis berbumbu amat pahit. Mengoyak hatiku tanpa ampun sejak pertama kabarnya sampai di daun telinga.
---
Nanti malam kamu ada di rumah?
“Sepertinya. Ada apa?”
Tunggu aku jam 5 ya.”
“Oke. Ada apa sih, tumben?”
Tunggu aja. Jangan lupa siapkan makanan yang banyak ya! Bye, Vinna.
Sambungan diputus dari seberang sana, menyisakan rasa penasaran untukku. Aku lihat jam yang melingkar di tangan kananku; jam 1 siang. Apa yang akan dilakukan Odi sore ini? Tumben dia menelpon dan bilang akan ke rumah. Tanpa sadar aku senyum-senyum sendiri. Hal kecil ini membuatku melayang sampai hilang akal.
Sebenarnya, kau dan Odi itu apa? Ah. Kalimat tanya itu terus berseliweran di otakku. Harus kuakui kebenarannya juga. Aku, dan Odi, itu apa?
Aku tak terlalu pandai urusan hati dan apapun berbau cinta. Bahkan milikku sendiri. Dan sekarang, rasa bingung menyerbu dan membabibuta menyerangku. Yang jelas, ada getaran menyenangkan saat bercengkrama dengannya. Ada rasa hangat saat kutatap kedua bola matanya. Hatiku menagih sosoknya saat jarak membentang dan memisahkan. Aku menyayanginya, mungkin?
Aku dan dia. Banyak waktu yang telah dihabiskan bersama. Memecah hening dengan renyahnya tawa. Mengusir sepi, membagi suka dan duka, sambil menebar senyum manis tak henti. Atau sekedar bersanding tanpa sepatah kata.
Dia; Segudang kejutan. Punya romantis. Penuh ide untuk mengisi hariku dengan gelak tawa. Tak pernah habis rasa perhatian. Dan sangat sempurna untuk seorang yang dikatakan menyayangiku.
Lengkung senyum itu selalu membuatku terhantui rindu. Tampaknya memang benar, aku menyayanginya. Lalu, apa Odi juga menyayangiku? Rasanya janggal bila tidak. Namun apa boleh buat, sampai detik ini tak pernah terucap dari bibirnya kalau dia punya rasa yang sama denganku. Entahlah, aku hanya takut dia diambil orang. Ya sudahlah! Toh dia juga bukan milikku? Bukan kekasihku? Tapi,... Ah! Terlalu banyak tapi.
Aku berdesah. Dengan semua kekisruhan pikiran serta kejelasan perasaan. Kemudian kutinggalkan dunia nyata, lalu berjalan perlahan ke dunia mimpi. Aku terlelap, didekap gelisah juga sekeping bahagia yang berbaur jadi satu.
---
“Hey, jadi nggak?”
Dengan cepat kutekan tombol send. Aku menunggu beberapa saat.
“Odi, lagi dimana? Katanya tadi sore mau ke rumah.”
Lagi, kutekan tombol send. Pesan kedua terkirim. Dan tak kunjung ada balasan.
Sabar telah kucurahkan maksimal. Kali ini, aku telepon sederet nomor itu. Kembali aku harus menunggu. Dan, tak diangkat! Akhirnya aku lempar handphone –dan diriku– ke tempat tidur. Kau menyebalkan Odi!
Pukul 8 malam, telah lewat 3 jam dari waktu yang dijanjikan Odi. Kemana sih dia? Entahlah, dibalik perasan kesalku, tercipta khawatir juga. Selama ini dia belum pernah membatalkan janji. Jika memang harus, Odi pasti minta izin resmi dariku.
Aku menenggelamkan diriku dalam selimut tebal. Memaki hatiku yang kalang kabut atas ketidakhadiran Odi sore ini. Juga menyesali tindakannya yang ingkar janji. Detik itu juga, semuanya tercurah jadi tangis. Tangis pertamaku karenanya.
---
“Odi! Kemana saja kamu?!”
Odi hanya tersenyum.
“Kamu tak tahu aku menunggumu?! Menyebalkan!”
Odi hanya tersenyum lagi. Kemudian dia berjalan mendekat ke arahku, “Maaf ya.”
“Maaf bila aku membuatmu menunggu. Maaf bila aku membuatmu kesal. Maafkan semua kesalahanku ya, Vinna. Aku cuma mau bilang,...”
 Odi memelukku erat, “,... aku mencintaimu. Aku sangat mencintaimu.”
“Jaga dirimu baik-baik, Vinna.”
“Odi? Odi...?! Odi kamu mau kemana?”
Suara langkah Odi terdengar jelas. Dia berjalan jauh, jauh, dan semakin jauh dariku. Lalu semuanya gelap. Aku kebingungan mencari setitik cahaya. Oksigen nampaknya menipis, paru-paruku terasa sakit. Tidak ada kehangatan, dinginnya merobek permukaan kulit. Dan Odi tak jua menolongku.
Nafasku terengah. Aku bangkit dan mengatur ritmenya. Ternyata tadi itu mimpi. Syukurlah. Mimpi itu meninggalkan rasa sesak dalam dadaku.
Terdengar ketukan di pintu kamarku, “Vinna, bangun. Sarapan, sayang.”
Untunglah ini hari minggu, aku bisa sedikit santai. Setelah Mama berucap itu, aku segera beranjak ke kamar mandi. Sekalian membasuh hati dan pikiranku supaya tenang.
“Kamu mimpi apa sih?” Tanya Mama begitu aku duduk di kursi meja makan.
“Kenapa, Ma?”
“Pokoknya kamu sampe teriak-teriak ‘mau kemana?’ terus.” Mama tertawa.
Aku hanya mencibir Mama yang terus meledekku. Kuambil sepiring nasi goreng yang telah Mama siapkan, dan melahapnya tanpa sisa.
Handphone yang kutaruh di meja makan berdering. Nomor siapa ini? Tak dikenal. Langsung aku tekan tombol answer.
“Hallo?”
Benar ini Vinna?
Perasaanku saja, atau memang orang yang berada disana terdengar parau?
“Iya. Maaf, ini siapa?”
Saya Ibunya Odi, nak Vinna.
“Oh. Iya, tante. Ada apa?”
Odi,...
Kali ini terdengar jelas dari suaranya, orang yang menelponku –Ibu Odi– menangis! Beliau tengah mengatur dinamika napasnya mungkin. Tapi, apa alasannya menangis?
Aku ikut terdiam. Hingga beberapa detik terlewat, baru mulai ia melanjutkan kalimatnya.
“..., Odi sudah pergi untuk selamanya.”
“Maksudnya?” Aku belum bisa mencerna perkataannya barusan.
Odi sudah nggak ada, Vinna. Odi meninggal dunia.
Handphone terlepas dari genggamanku dan terjun bebas ke lantai. Tulangku lenyap dari tubuh. Aku terdorong oleh pukulan telak pada seluruh ragaku sampai ke tembok. Dan, tergelongsor lemah tak berdaya.
Ini main-main kan? Atau aku salah dengar? Tidak mungkin! Ini tidak mungkin!
Tulang rusukku mungkin menciut, dadaku terasa sangat sesak. Meteor besar mendarat tepat di hatiku. Tangisku pecah. Menggema bersama berton-ton rasa tak percaya. Aku abaikan berondongan tanya dari Mama. Aku tak tahu apa yang kutatap, semua mengabur.
Rasanya baru kemarin kamu akan bertatap muka denganku. Mengapa begitu mengagetkan? Kamu telah tiada, benarkah itu? Inikah kejutan yang kemarin kamu siapkan? Semua terus berotasi di otakku seraya banjir air dari mataku semakin deras.
Inikah arti mimpinya? Kamu pergi untuk selamanya?
---
Terimakasih untuk selama ini, untuk segalanya.
Terimakasih untuk canda tawamu.
Terimakasih untuk senyum manismu.
Kamu membuat hidupku berbeda,
Lebih mempunyai warna,
Lebih memiliki arti,
Dan lebih banyak kebahagiaan.
Jaga dengan baik boneka pemberianku ini ya.
Anggap saja ini aku,
Jangan sampai dia hilang,
Jangan sampai dia rusak,
Anggap saja ini hati dan perasaanku.
Aku sangat mencintaimu, Vinna.
Maaf membuatmu menunggu aku mengatakan itu.
Karena aku, juga menunggu saat rasa yang kamu miliki sebesar milikku.

-Odi-
Nb: hari ini resmi tanggal jadian kita ya :p

Aliran air bening dari bendungan mata tak bisa lagi kutahan. Bahkan sampai sesegukan. Aku memeluk rapat tanpa celah panda bermata hitam ini. Kembali, sepucuk surat terakhirmu terhujani perasaanku. Bergabung dengan gumpalan jutaan rindu dan cinta yang tak tersampaikan.
Miris aku membayangkannya. Harusnya kamu masih disini. Harusnya hal tragis itu tak menimpamu, karena aku.
Darah yang berceceran di jalan kala itu, aku tak membutuhkannya. Aku tak mengharapkannya! Satu buket mawar dan sekotak coklat yang habis tergilas. Ingin kuteriakkan, aku tak butuh semua itu sama sekali kalau tahu berujung begini. Cukup kamu disini.

Waktu terasa semakin berlalu, tinggalkan cerita tentang kita.

Secara misterius DVD player menyala, dan mengalunkan sebuah lagu yang tak asing di indra pendengarku; Peterpan – Semua tentang kita.
Aku sering dengar, tapi tak pernah sedalam ini maknanya. Lalu, mengapa lagunya terputar sendiri?

Akan tiada lagi kini tawamu, tuk hapuskan semua sepi di hati.

Melodinya mengalun indah, liriknya masuk langsung ke aliran darah. Aku terpejam, memutar balik hari bahagiaku bersama Odi. Entahlah, aku mungkin gila. Aku merasa Odi ada disini. Tapi dalam alam yang berbeda.

Ada cerita tentang aku dan dia, dan kita bersama saat dulu kala
Ada cerita tentang masa yang indah, saat kita berduka saat kita tertawa
Teringat di saat kita tertawa bersama,
Ceritakan semua tentang kita...

Inspired by: Peterpan - Semua Tentang Kita