Senin, 28 April 2014

Yang Nanti Dijawab Takdir

Kurasa ini tak seperti yang kemarin telah kubayangkan. Kebetulan malam ini bulan membulat sempurna. Angin terasa lebih mampu membekukan serat-serat nadi di sini. Tapi, ah, lihatlah ke langit, bintang bertabur lebih banyak dan terang dari tempat ini. Aku juga dapat melihat lampu-lampu kecil di kejauhan, sepertinya rumah-rumah warga dan sedikit lagi ke utara ialah pusat kota mereka.

Aku memandangmu dari tempatku di paling sudut, bahkan dari jarak itu kau tak mampu sembunyikan lelahmu, setidaknya bagiku.

Di sini terlalu sepi. Meski di luar jangkrik dan binatang malam lain memadukan suara mereka, serta derasnya air dari sungai tak jauh di belakang pun mengikuti tempo, aku masih merasa di sini terlalu sepi. Bukan di sini, tapi tepat di sini; hatiku. Tak terhitung berapa kali hatiku teriak-teriak memanggilmu yang walau aku tahu takkan terjawab, masih begitu. Selalu begitu.

Aku kehabisan kata-kata. Aku bergidik, jantungku meletup membuat dadaku sakit. Aku hampir tak mampu menahan air mataku sendiri. Andai ketika itu aku mampu lebih dari bertanya aku ingin sekali menyeka sisa-sisa air perih di matamu yang memerah, aku ingin menyentuh pipimu yang dingin dan mengusapnya agar hangat. Berbisik lembut. Semua akan baik-baik saja. Namun aku diam memikirkan lukamu dan menikmati kesakitanku sendiri; aku hanya terpaku karena bukan aku yang melakukan semua itu.

Pernahkah aku begitu berani? Kurasa tidak. Kali ini aku boleh memaki diriku sendiri. Kali ini aku boleh menyalahkan waktu yang pernah kusia-siakan. Aku menjadi sama sekali tak berarti. Hadirku jadi samar. Entah ada, tak ada, atau setidaknya mungkin pernah ada. Ketika di dekatmu, aku tak rasakan bahkan setitik sepi, raguku melenggang pergi, dan aku ingin terus seperti itu. Ah, semua tak pernah sama, kan? Lagi-lagi itu hanya akan jadi kenangan, bukan?


Aku bukannya menyerah, hanya saja, mungkin aku memang perlu sedikit pasrah. Semua pasti akan terjawab nanti, semua tanyaku, raguku, hingga aku tak perlu lagi menerka-nerka. Apa yang tak mungkin, bila takdir ingin berjalan begitu.



Source: http://www.suntimes.com/photos/galleries/index.html?story=17264245

Jumat, 11 April 2014

Kapan Kamu Tiba

Tercatat mulai kemarin, kamu takkan kembali; tanpa sepatah kata, untuk tambahan.

Bukankah aneh, rasanya aku tak tahu kapan kamu tiba. Biasa-biasa saja, bahkan angin berhembus seadanya. Ulu tak berubah; masih sama rapuh. Aku masih belum menyadari ada seseorang yang mengetuk pintuku, bagaimana aku akan membukanya?

Dan aku, tetap tak tahu kapan kamu tiba.

Baru saja aku akan memulai menjelajah alam mimpi, ketika aku hanya bisa membaringkan peluh dan segelintir luka yang masih tersisa, tersirat kembali sosokmu yang bahkan bayanganmu sulit kubayangkan, dan, sebenarnya kapan kamu tiba. Ini bukan tentang hati, apalagi rasa, ya, mungkin sedikit, tapi aku hanya perlu jawaban atas ketidakjelasan senyumku yang mengembang sendiri beberapa waktu lalu. Tidak, aku tidak gila. Aku masih menyukai senja, itu indikasinya.

Tanpa isyarat, kamu mendarat begitu saja. Entahlah, andai pun aku mengaku semua menyenangkan dan mampu memecah sunyiku, tak ada yang dapat kaulakukan. Dan andai pun aku gunakan segala kata paling mudah takkan mampu kaupahami apa yang sudah kutinggalkan sejak lama. Ah, sejak ketibaanmu mungkin pertama kali yang tersirat dalam otakmu aku cuma gadis yang terlalu lama sendiri. Mungkin kaubenar, kadang aku merasa sendirian, hanya saja aku jamin kamu tak mampu bayangkan luka yang kutanggung sendirian itu sampai nadi dan hatiku kini melumpuh.

Kukira kamu akan tinggal lebih lama. Kukira kamu akan memahami semuanya. Akhirnya aku tahu kausama, hanya menetap dan singgah sementara lalu pergi. Menyisakan pertanyaan.


Kapan sebenarnya kamu tiba?

Source: http://djwap.wapsite.me/files/Alone_Grl.jpg

Jumat, 04 April 2014

Bukan Sekarang, Mungkin Nanti

Mungkin aku yang berlebihan.

Entah, relungku mendadak sakit, napasku jadi tak teratur, dan aku rasanya ingin menutup telingaku rapat-rapat. Padahal, hanya kalimat. Mengapa bisa melumpuhkan begitu hebat?

Sudah lama aku tak bersua. Dan kali ini, aku ingin melantangkan luka-luka di balik simpul tegas di bibirku sampai berceceran. Hanya, aku tak pernah mampu. Tangis terasa begitu perih. Memendam pun tak mengubah pikiran jadi jernih. Ah, aku bisa apa, selain mengadu pada Sang Pencipta, merapal namamu dalam tiap doa, memintamu sedikit saja lirik aku di sudut paling kesepian di gulatan harimu yang lelah.

Katakan saja aku (pernah) mengganggu harimu. Katakan saja kau tak sudi bahkan untuk menyentuhku. Katakan, begitu. Jika, dan hanya jika, bagian terkecil dari memorimu memang mengalir tentangku, aku, kamu, bisa apa? Pernah, waktu dimandikan langit senja, aku merasa benar-benar jatuh dalam hatimu. Dalam jarak sedekat itu, berjalan bersisian, aku hanya mampu melihat jemarimu yang berjarak. Ah, kau tak tahu rasanya menahan tanganku yang ingin sekali menggenggamnya, merasakan telapakmu yang terlihat dingin. Tolong, katakan, pikiranmu tak sama sepertiku.

Sia-siakah ini? Segini pilunya hanya dengan mendengar. Bukan itu, karena aku tahu selamanya mungkin aku cuma bisa diam, dan meringis sendiri yang kau rangkul itu karibku pada akhirnya.

Apa bayanganku sungguh lenyap dalam malammu? Suaraku tak terdengar lagi di siangmu? Atau aku, bukan lagi menjadi musim dalam duniamu. Ah, memang aku sempat begitu. Entah, hanya saja gravitasimu tak lagi menuruti teori-teori duniaku, aku benci ketika logika menguap ketika aku di puncak membutuhkannya. Beritahu saja, bukan aku, tapi ulu dan nadi yang mengelilingi tubuhmu itu; pernah ada aku, kan?

Hanya saja, agak sulit kautemukanku untuk saat ini bahkan dari jarak sedekat itu karena aku bisa jadi seseorang yang akau kautemui enam tahun lagi, mungkin. Apa ada yang tak mungkin? Sekalipun, kita, misalnya.


Source: http://krfcss.com/images/marriage.jpg