Rabu, 27 Maret 2013

Kisah Sia-Sia (Bagian I)

Bagaimana kau bisa menganggap ini kisah yang sia-sia?
          Bukankah ini manis, Sayang? Bibirmu memutih, matamu mulai sayu. Baju biru bergaris tipismu–juga seluruh tubuhmu–basah kuyup. Senyum itu bahkan masih tersimpul indah di sana, di garis mulut dan dua mata bulat memendar cahaya. Aku meragu, sampai jemarimu melekatkan jarak-jarak di antara jemariku. Sangat erat. Hangat.
          “Aku tak peduli berapa juta titik hujan lagi yang menghujamku, asalkan kamu kering,” katamu. Setengguk kalimat itu ikut menguap bersama genangan-genangan tetesan hujan yang menetes di tanah kering? Kau yang tahu.
---
“Kau membuat mata panda lagi,”
“Salahmu, bukan?”
“Kenapa aku?”
Bibirku mengerucut.
“Ini sepenuhnya salahmu. Kamu yang buat aku terus terjaga, aku tahu, karena mimpi bahkan kalah indah dengan duniaku; yang dipenuhi kamu,”
“Hey!”
Aku mengguncang-guncang lengannya. Ah, entah bagaimana sayap-sayap kasap mata membuat tubuhku seringan kapas untuk melayang-layang di udara.
Mendadak, aku teringat percakapan semalam. Suara lembut dari ujung sana terdengar tak biasa. Ada belati dalam tiap katanya yang mampu mengiris, aku tak tahu darimana kaudapat bicara semacam itu.
Aku mau bicara,”
“Ya?”
Apa yang terjadi denganmu seandainya aku pergi?
“Mati,”
Tawanya menggema. Aku diam. Sungguh, aku bahkan tak bisa membayangkan aku di sini sendirian tanpamu, dan tak dapat menemukan titik lucu dari jawabanku.
Kamu berlebihan. Dan… itu terdengar menyeramkan,”
Kautahu? Kamu satu-satunya yang menyeramkan sekarang.
Kamu pernah menyangka kalau aku tak pernah mencintaimu?
“Tunggu dulu. Aku benar-benar tidak mengerti apa yang coba kamu bicarakan,” kataku.
Jawab saja,”
Meski tak terlihat, aku tahu kamu tersenyum dari ujung sana. Entahlah, jantungku mulai berdetak-detak menyeramkan. Iya, ini firasat buruk.
“Tidak sedetik pun,”
Lalu, bagaimana seandainya selama ini kita hanya jalani kisah yang sia-sia?
“Ini benar-benar tidak lucu, Sayang,”
Dan aku memang sedang tak melucu,”
Apa dia sungguh serius dengan pertanyaannya? Kamu tak tahu betapa bulu-bulu romaku bergidik ketika kau tanya itu. Aku terdiam lama. Sangat lama.
Kamu masih di sana?
Suaranya memecah keheningan beberapa detik yang kuciptakan. Aku mengangguk, ah, ya, tentu saja itu tak terlihat olehnya.
Maaf. Sudahlah, lupakan saja yang tadi. Sana cepat tidur, kamu tak mau terlambat bangun kan. Selamat malam, mimpi indah, Sayang,
Telepon terputus sebelum aku sempat membalas. Tetapi, pertanyaanmu tadi masih berputar-putar di kepalaku. Menakutkan, lebih dari cerita-cerita seram yang sering kamu ceritakan di malam-malam jum’at. Apa yang menghantam kepalamu–atau hatimu–hari ini, Sayang?
“Ada apa?”
Suaranya mengejutkanku.
“Eh?” aku perlu menanyakannya tentang semalam, hanya saja aku tak tahu kemana perginya semua dayaku, “Tidak ada apa-apa,” kataku akhirnya.
“Baiklah. Oh iya, aku bawa roti isi, ayo makan sama-sama,”
“Darimana kamu tahu aku lapar?”
“Karena kamu selalu lapar,” katanya sambil tertawa.
Tangannya mengacak-acak lembut rambutku. Bibirku kembali mengerucut.
Ini hari-hari yang biasanya terjadi. Begitu manis. Ada begitu banyak perubahan besar di balik hal-hal yang biasa terjadi, aku sadar. Entahlah, aku tak bisa menemukan di mana letak perubahan itu. Aku tak tahu apakah permen manis ini akan tetap manis, atau habis termakan detik-detik yang berlalu. Yang pasti, permen manis ini sangat berarti. Kamu sangat berarti.
Lalu, bagaimana aku bisa menganggap ini kisah yang sia-sia?