Kamis, 20 Desember 2012

Duapuluh Terakhir

Semuanya masih menyenangkan. Begitu hangat, saat basuhan peduli dan perhatianmu masih pekat. Meski semua usai, namun tak pernah benar selesai. Ketika semua tak hanya kamu yang disalahkan, melainkan aku yang lebih pantas. Iya, aku yang bersalah.

Karena aku menenggelamkan diriku ke dalam kubangan luka, dengan jatuh cinta padamu. Menari-nari di atas duri bersama kebohongan yang kauberi; menyenangkan, tapi melukai. Tapi, kautahu yang paling sering menjerat paru-paruku hingga kehabisan udara? Yang sering menjamah perih luka dan buat hatiku menjerit-jerit dalam diam? Adalah, dengan membiarkan kamu pergi.

Seorang macam aku, yang tak kenal lelah menerka, bahkan pada hal yang melampaui batas nyata, begitu rapuh akan kenyataan yang terkadang kejam. Aku terlalu memerhatikan hal menyakitkan apa yang akan terjadi, tanpa tahu aku punya kesempatan biarkan hal indah menyapa. Bersama kenaifan yang terlarut dengan egoku hingga aku meragukan sendiri apa yang aku benarkan; aku tidak mau memulai. Kamu benar, aku amat takut dengan kenyataan. Lagi-lagi kamu benar, bagaimana aku bisa tahu jawaban atas tanyaku, tanpa aku pernah bertanya. Apa aku tampak bodoh sekarang?

Hari ini, satu tahun lalu. Duapuluh terakhir, satu tahun lalu. Masih disimpan rapi memoriku. Aku mau ucapkan lagi terimakasih untuk hari itu, boleh?

Minggu, 09 Desember 2012

Bahagiaku, Kamu

Aku terbangun di tengah malam yang dingin. Masih disekap mimpi yang menggebu-gebu bercampur dengan rindu yang bertahan bersama egoku. Semua terasa berjalan cepat, bahkan aku belum siap.
          Aku menatap layar handphone-ku. Ada 4 pesan masuk.
Selamat tidur, Sayang.
Aku memandangnya datar. Tanpa reaksi.
Mimpi indah ya, Kesayanganku.
Aku cuma mengukir senyum tipis.
Jangan lupa, siapkan alat dan bahan untuk percobaan besok. Jangan tertinggal.
Aku tertawa tanpa suara. Tapi, baiklah, aku jadi ingat besok akan melaksanakan praktikum tentang kandungan-kandungan dalam makanan. Ah, aku muak beradu dengan teori yang hampir pecahkan kepalaku itu.
Keningku berkerut. Pesan terakhir yang belum kubuka tak berasal dari daftar kontakku. Mataku membulat. Nomor ini? Aku hafal benar nomor ini. Bukankah ini nomor orang itu? Sosok yang membayang saat-saat santap pagiku. Sosok yang merasuk di setiap mimpi malamku. Sosok yang begitu ingin kusentuh dan kudekap, kembali.
Semburat senyumnya seketika melayang di langit-langit kamarku. Begitu tenang, cahaya dari matanya menusuk jauh ke palung hatiku yang mulai membeku. Apa ini mimpi?
Kamu, apa pernah tahu? Perlahan perasaanku layu dan hampir mati. Bagaimana bisa aku yang dapatkan banyak cinta, lupa rasanya cinta. Iya, hanya kamu. Kamu ikut mengalir di nadiku dan mendominasi tiap ruang memoriku. Aku hidup. Tapi rasaku mati; karenamu.
Aku memukul pipiku. Ini, sungguh bukan mimpi? Aku menekan pesan itu untuk kubuka, perlahan. Dengan gejolak rasa yang sukar kujelaskan, bahagia mungkin?
Apa kabar? Maaf ya mengganggu malam-malam.
Sederhana. Seperti aku yang terlalu memujamu dengan sederhana. Dari kejauhan, diam-diam, tanpa ketahuan. Entahlah mereka menyebut ini apa. Bagiku, ini bahagia. Bahagiaku, kamu.