Rabu, 19 Februari 2014

Ulasan (Sok Tahu) Maroon5 - Makes Me Wonder

Hello.

Di kesempatan ini, gue akan melakukan ulasan singkat pada salah satu lagu band sukses yang menurut gue lo mungkin selama ini bukan tinggal di Bumi kalau nggak kenal band ini. Maroon5! Tahu pasti, kan? Dan lagu beruntung yang akan gue jabarkan maknanya yaitu Makes Me Wonder. Meskipun mungkin pecinta lagu ini sama sekali merasa ini bukan keberuntungan.

Makes Me Wonder. Yup, bisa dilihat bahkan dari arti judul lagu ini, ‘membuatku bertanya-tanya’, kalau kalian menilik lebih dalam, apa sih yang membuat dia menerka, apa yang dia pertanyakan? Well, bisa dibilang lagu ini sama sekali nggak mengusung tema judulnya itu sendiri tentang ‘membuatku bertanya-tanya’. Iya, dia nggak bertanya-tanya! Baik, gue tahu bukan hanya gue di sini yang pertama mendengar judul lagu ini akan berekspektasi tentang si penyanyi yang menerka-nerka sesuatu. Gue paham rasanya jadi kalian, kok. Kalian kecewa, sedih, merasa tertipu. Iya, gue paham.

Setelah menyelami lirik lagu ini lebih dalam, gue menemukan sesuatu yang menarik yang memang selalu disajikan oleh Maroon5. Lagu-lagu yang dibawakan oleh Maroon5 dari aransemennya, selalu jauh dari kata mendayu-dayu, irama yang mellow, atau kombinasi vokal dan musik yang menyentuh. No offense, lagu-lagu milik Adele, misalnya. Tapi! Ah, gue selalu menanti-nanti kata tapi. Karena di balik ‘tapi’, selalu ada kejujuran dan kebenaran yang sebenar-benarnya. Ya, balik lagi, tapi, kecerdasan pencipta lagu-lagu yang dibawakan Maroon5, terlebih bagian pembuatan lirik, hebat dan harus gue dan kalian akui. Lagu-lagu seperti ini yang jadi favorit gue, semi-sad song, dengan lirik yang nggak to the point. Jadi, kita harus paham benar maksud tiap kata dalam lagu itu baru menemukan letak kemirisan lagu itu. In case, bukan berarti kalau lagu berlirik selain bahasa Indonesia, Inggris misalnya, kita harus tahu satu per satu arti katanya, tapi kita paham apa yang coba disampaikan lagu ini. Gitu.

Well, sebenarnya menurut gue makna Makes Me Wonder ini cukup sederhana. Kalian tahu? Inti dari lagu ini adalah tentang kepercayaan.

Kok bisa?

Please jangan tanya gue karena gue hanya mengulas dan bukan pencipta lagu ini.

Baiklah. Menurut gue, di lagu ini, bang Adam Levine mencoba menyampaikan kekecewaannya pada orang yang dia cinta. Bisa kalian baca liriknya, bang Levine dengan senang hati membuat orang yang dia cinta menangis, bahkan dia merasa lebih baik melakukan itu. Entahlah, gue nggak tahu bang Levine masih cinta atau nggak sama dia, karena dia belum cerita sama gue, yang pasti mungkin dulu doi bang Levine ini sudah menyakiti dia dan merusak kepercayaan yang dia berikan. Kalian, yang pernah merasakan, tahu pasti bagaimana rapuh dan sakitnya hati kalian ketika dikhianati, kan? Berarti gue anggap kalian tahu rasanya jadi bang Levine.

Kepercayaan. Nggak gampang memberikan kepercayaan lagi ke orang-orang yang merasa nggak butuh dan merusaknya tanpa pikir panjang. Ya, meski ada beberapa orang yang dengan cuma-cuma memberikan kepercayaan mereka lagi, padahal, jelas sekali apa yang telah terjadi pada ‘kepercayaan’ miliknya sebelumnya: dilupakan, dibuang, diluluhlantahkan. Ya, bukan gue melarang memberikan kepercayaan kalian lagi, menurut gue seharusnya kalian semakin paham apa yang harus kalian lakukan. Gue percaya kalian cukup cerdas membuat keputusan setelah merasakan semua itu, kan.

Well, begitulah, akhirnya bang Levine dalam lagu ini meminta apa yang sungguh-sungguh bisa dia percaya, kata-kata, kenyataan, juga perasaan. Akhirnya, memutuskan perpisahan lah yang terbaik. Dan sampai sekarang, gue belum tahu apakah bang Levine mampu move on dari orang ini atau nggak. Mari doakan yang terbaik.

Jadi, gimana? Mengerti ulasan sok tahu gue tentang Makes Me Wonder – Maroon5 ini? Kalian nggak perlu serius-serius baca ini, nggak bakal keluar juga di ujian akhir kalian.

Kepercayaan mahal, guys. Itu yang harus kalian pahami serius-serius.




Salam.






Silakan cek video klipnya:



Rabu, 12 Februari 2014

Satu-satunya yang Terlupakan

Aku tak mampu bedakan mana yang awal dan akhir. Aku memutuskan yang paling menyentuh lukaku adalah ‘akhir’, namun, pun aku tak mampu mengelak ‘awal’ mengambil porsi sama dalam membuat luka. Sama perih, sama-sama akan sulit tuk diobati, memberikan cerita sendiri-sendiri dari sudut pandang tiap pelaku di dalamnya.

Aku diam di satu waktu. Tanpa kusadari, aku mendekat pada ujung-ujung duri, di sana, aku melihat keindahan yang memanggilku untuk terus mendekat, namun, aku hanya belum mengetahui ada luka yang juga menungguku. Satu sosok sempurna. Dengan segala yang dimilikinya. Aku hanya terkadang lupa, adakah yang pernah tahu apa yang ada dalam hati seseorang?

Aku menyikapi seadanya. Tentang waktu yang memberiku kesempatan lagi menjelajahi makna sesungguhnya dari cinta. Ah, aku sudah lama berhenti mengurusi hal ini, karena semakin lama aku tahu satu-satunya yang diberikan cinta, apalagi kian nanti ia pergi, adalah luka yang menemaniku sendiri. Satu-satunya ketakutan terbesarku adalah aku takut menerima kenyataan andai aku kembali dijadikan tempat persinggahan, tempat peristirahatan hati-hati yang kelelahan, lalu, apa? Pada akhirnya, aku kembali berdua dengan bayanganku sendiri. Selesai.

Siapa sangka aku terjerat sekarang? Dalam kisah lama seseorang yang butuh penyegaran pada hatinya yang sesak. Ia memunggungi pemanis hidupnya, mengaku tak mampu lagi untuk sedetik lagi mengulang bunyi tawanya, mengaku luka hatinya lebih parah dari siapa pun di dunia, ah, hanya orang bodoh yang percaya itu nyata. Dan aku, satu-satunya orang bodoh itu.

Bayangmu yang semu sempat memerhatikanku dan memberikan aku sedikit harapan kelabu. Aku sudah lama tenggelam dalam kelam, dalam sakitnya luka pemberian angin-angin yang hanya melewatiku sekejap, ah, mungkin takkan ada seorang pun yang mengerti. Kata-kataku yang terlalu sulit atau memang kisahku hanya aku yang mampu memahaminya sendiri. Mungkin Tuhan menyimpan satu untukku di kemudian hari. Yang pasti, kau telah memilikinya sekarang. Milikmu paling berharga dan paling indah yang tak mungkin semudah itu kaulepas. Meski, kadang hati kecilku, ah, bukan, mungkin lebih tepat egoku, menginginkan juga pelukmu.

Aku sangat paham saat-saat untuk mengalah. Iya, mengalah. Aku tak pernah mengartikan ‘mengalah’ adalah kekalahan telak, kurasa lebih tepatnya ialah membiarkan seseorang menang demi bahagianya yang nanti suatu saat akan datang hari di mana ia sadar siapa yang sebenarnya kalah. Hanya saja, hatimu tak mampu semudah itu mengalah, terlebih lagi, ketika satu-satunya kekuatanmu yang tersisa hanyalah luka. Entahlah, menyenangkan ketika semua berbahagia.

Meski membuatku satu-satunya yang terlupakan.





Inspired by: Voiceless and Soulastic – Bukan Dirimu

Selasa, 11 Februari 2014

Pada akhirnya, hal ini bukanlah masalah.

Sudahkah kau berterima kasih hari ini? Pada sesuatu yang menurutmu pantas ditinggalkan. Padahal, suaranya sering memecah sunyimu kala malam. Pada sesuatu yang kau anggap tak berharga. Padahal, lelahmu kadang sampai pada titik akhirnya demi menjaganya tetap di sampingmu. Pada sesuatu yang hampir kau sia-siakan. Padahal, simpul di bibirnya mampu menghangatkan hatimu tiap waktu.

Akan ada saat, kamu menghargai pengabaian seseorang, di mana kaumampu mencari ketenangan dan menjernihkan otakmu yang sedang tak karuan. Aku tahu, jangan tanya, aku sangat tahu. Kamu takkan menemukan bahkan sedikit hal baik di dalam mendidihnya emosimu.

Kukira aku cukup terbiasa. Ah, naif, entahlah, aku masih sama rapuh seperti kursi kayu tua yang dimakan rayap.


Salam,



Penikmat kesendirian

Sabtu, 08 Februari 2014

Ini hanya satu-dua kata yang tak perlu kau renungkan. Maksudku, ya, kata-kata yang dibuat untuk diabaikan. Jemariku sendiri tak tahu akan ke mana, atau, mungkin akan jadi kalimat-kalimat pilu yang butuh kaupeluk. Bisa jadi, gemuruh sendu dari sang perekanya, di bawah gerimis tipis beraroma sedap tanah basah. Entahlah, setelah hari-hari, minggu-minggu, bulan-bulan, mungkin tak terkatakan lagi kapan terakhir aku jatuh dalam ribaan seseorang yang melarikan diri. Dari apa? Mungkin mencari tempat bernaung yang lebih teduh. Mungkin.

Sisa-sisa harapan itu tak lagi kugenggam. Aku juga telah mengubur seluruh lukaku. Lalu, apalagi? Spasi tiap jemariku masih kubiarkan tak terisi. Aku biarkan waktuku terbunuh untuk meredam apa-yang-harus-kulupakan ketika ia memaksa hadir dalam otakku. Aku menangisi bulan purnama ketika kurasa ia muncul terlalu cepat. Berbicara tentang itu, apa sinar dua bola matamu masih seterang purnama?

Salam.



Hidupmu lebih penting daripada tiap kata dalam paragraf ini. Maaf, tapi aku tak berniat kembali masuk dalam hidupmu.

Senin, 03 Februari 2014

Bayaran Mahal untuk Khayalan

Apa kamu pernah takut pada kenyataan?

Baik, biar aku bicarakan sekarang. Aku benci mengakui ini, tapi, ya, aku lelah serta-merta mengabaikan semua hal ini dalam otakku. Berlari-larian mengitari kepalaku, membuatku muak dan kesakitan sendiri. Jadi, apa kamu pernah merancang hidupmu, semacam rencana yang telah kaususun rapi dalam pikiranmu?

Aku? Hampir selalu.

Selama berkhayal masih gratis, lakukanlah sepuasmu. Namun, kamu perlu tahu, bahwa itu tak pernah benar-benar gratis. Harus aku sebut apa ini, pajak atau apa? Yang pasti, ketika semua khayalanmu itu tak pernah menjadi nyata: luka menyambutmu.

“Hei. Maaf, aku sedikit lama,” kataku sambil mencuri-curi sedikit udara.

Ia tersenyum. “Tak perlu minta maaf,” jawabnya.

Ia menggamit tanganku. Kami berjalan. Aku tak peduli lagi dengan kakiku yang tadi terhempas batu saat berlari. Aku membiarkan jantungku dan iramanya yang tak teratur, bahkan aku tak peduli semerah apa wajahku sekarang.

“Apa kamu sudah lama menunggu tadi? Aku sungguh minta maaf,”

Ia menoleh ke arahku, mengangguk, dan memberikanku senyum itu lagi.

Kami telah berjalan selama dua puluh lima menit–aku baru saja menilik jam tanganku; ah iya, ia masih menggamit tanganku. Rasanya seperti baru sedetik yang lalu, ya, apa aku lupa jika waktu berjalan lebih cepat ketika aku melakukan hal yang kusuka? Dan ini adalah hal yang aku suka. Selalu.

“Kita sampai,” katanya.

“Aku tahu. Kukira kautelah melupakannya,”

“Melupakan apa? Tempat seindah ini?! Kau bercanda,” jawabnya dengan mata yang berbinar.

Aku tersenyum. Tempat ini atau kenangan yang ada di dalamnya, batinku.

“Keduanya,…” ia menatap ke dalam bola mataku.

Aku terkejut. “Keduanya…? Maksudmu?”

“Aku tak pernah melupakan keduanya. Tentu kamu tahu maksudku, kan?”

Apa ia lupa pikirannya sudah lama tak pernah sejalan dengan pikiranku?

Astaga!

Irama jantungku yang sudah normal sekarang kembali berantakan. Bahkan, kurasa akan meledak. Pipiku terasa panas, mungkin merah merona seperti tomat busuk. Untunglah, siang ini tak terlalu cerah karena awan mendung bertandang di bawah matahari sepanjang pagi. Angin yang menyapu wajahku juga sedikit menenangkanku, karena ia baru saja mengecup keningku.

Ia baru saja mengecup keningku!

“Kukira kamu yakin apa maksudku,” katanya. Ia tak menatapku lagi. Dan aku masih mematung.

Lima menit berlalu. Ia masih tak menatapku. Dan aku masih mematung. Kemudian, aku menghembuskan napas dalam-dalam di detik berikutnya.

“Aku masih bersamamu?” tiba-tiba ia buka suara.

“Ya, tentu. Kau masih di sini sekarang, tepat di sampingku,” kataku.

Dia tertawa terbahak. “Kau masih sama,” ia menatap dalam-dalam mataku. “Apa aku harus selalu menjelaskan apa pun padamu seperti ini agar kaupaham? Jadi, ya, aku ulangi, apa aku masih bersamamu, bukan di sini, tapi di dalam sini,” ia menunjuk jantungnya.

Aku terkejut. Sangat.

“Mungkin selama ini aku yang salah. Maaf,” dia menatap tanah pijakannya. “Kamu…,”

“Ada apa, aku kenapa?”

Dia menatapku. Tatapannya bermakna, aku tahu tiap kata yang ia katakan berawal dari hatinya yang paling dalam.

“Kamu tak pernah pergi dari pikiranku.”

Katanya.

-----

Aku melirik jam tanganku untuk membunuh sedikit waktu. Sudah 15 menit. Berarti, sudah 15 menit juga aku terbawa khayalanku.

“Maaf, apa aku lama?”

Kau membuatku menunggu 15 menit, batinku. Ia duduk di sampingku, aku tak melihat ia berkeringat dan napas terengah, kurasa ia sama sekali tak terburu-buru dan ia sama sekali tak merasa bersalah. Mungkin ini adalah kesalahan terbesarnya. Ya, menemuiku.

“Tidak. Aku baru datang,” kataku. “Jadi, apa yang ingin kau katakan? Oh iya, aku ingin ke sana.”

“Ke mana?” Dia mengernyit.

Jadi, kau sudah melupakannya…, diam-diam napasku tersedak. Diikuti ledakan kecil dalam jantungku.

“Ah, lupakan,” aku menggeleng. “Lalu?”

Di bawah pohon-pohon teduh, terik siang jadi tak berarti. Aku dan dia duduk di bangku taman ini–nampaknya beberapa hari lalu baru dicat. Angin tak terlalu kencang namun berhembus sejuk sesekali. Aku menikmati. Menebus rindu berpuluh-puluh hari yang kemarin kulalui. Setelah beberapa minggu kepingan yang hilang ini kutemukan, aku tak tahu lagi kapan terakhir kali aku merasa benar-benar hidup. Dan detik berikutnya, kata-kata yang belum jua terlontar dari lidahnya amat kutunggu bersama kicauan burung-burung gereja yang datang dan pergi.

Kurasa ini akan hebat.

Dia melirik jam tangannya. “Aku tak bisa lama, maaf,”

Tidak, bisakah kamu lebih lama, kumohon, batinku.

“Ya, baiklah, apa yang ingin kaukatakan? Katakan saja,” kataku.

Dia menghembuskan napas dalam-dalam. Kali ini aku yakin ia takkan mengatakan hal yang tak mengguncang seluruh tubuhku.

“Kamu tahu, ya kukira kamu tahu. Belakangan ini aku sering terlihat senyum sendirian, itu tak masalah bahkan bila orang lain menganggapku gila,” ia tersenyum lebar.

“Ya kurasa orang lain pasti menganggapmu gila. Apa alasannya kamu begitu?” tanyaku.

“Astaga, kamu belum berubah sama sekali,” kali ini ia tertawa keras.

“Apa yang lucu?” aku menatapnya bingung. “Aku tahu kamu takkan menjelaskannya. Baik, lanjutkan apa yang tadi ingin kaukatakan,”

Dia menelan sisa-sisa tawanya. “Kamu masih menyenangkan. Seperti dulu. Tapi, maafkan aku,…”

Aku hanya menatapanya.

“Kamu harus mengerti, apa pun dapat berubah kan? Apa pun. Kumohon jangan samakan tiap keadaan. Entahlah, aku juga mencari cara untuk mengatakan ini padamu, aku hanya selalu gagal dengan aku takut semua ini menyakitimu. Lagi. Tapi, aku…”

“Cukup,” kataku.

Air mataku menggenang sudah, namun aku takkan membiarkannya terjatuh. Setidaknya, tidak di sini.

Aku tahu ke mana arah pembicaraan ini, maksudku, aku tahu apa yang coba ia katakan. Dan, aku tahu ini juga tentang seseorang di hatinya. Tidak, itu bukan aku. Andai itu tentangku, hanyalah menyangkut egoku yang berlebih. Aku tak tahu di mana tempat hatiku di dunia, namun yang pasti, bukan di hatinya. Yang harus kulakukan; menerima kenyataan.

Aku mencoba memahami apa yang telah terjadi dan apa yang sedang terjadi. Ya, aku terlalu banyak berkhayal, tapi, aku sungguh tak pernah memahami apa yang akan terjadi. Aku sibuk dengan rasa manis yang akan kurasakan dan melupakan setiap kemungkinan rasa pahit yang akan timbul. Kalau kaumengerti, ya, aku tahu kaupasti mengerti, aku hanya perlu duduk diam dan berkelana dengan pikiranku.

“Kali ini aku mengerti, kau tak perlu melanjutkannya,” kataku.

Dia tersenyum. Lalu, dia mendekatkan wajahnya padaku. Aku menutup mata.

“Maafkan aku,”  ia berbisik di telingaku. Aku membuka mata dan melihat ia menjulurkan tangannya. “Teman kan?” tanyanya.

Astaga! Apa yang baru kupikirkan.

“Pasti,” aku tersenyum dan menyambut tangannya.

“Bagus. Ada lagi yang perlu kautahu,”

“Apa?” tanyaku.

“Kamu tak pernah pergi dari pikiranku.”

Katanya.