Kamis, 26 Desember 2013

Baiklah. Aku sudah terlalu lelah kali ini, ya, menaruh banyak harapan pada orang lain. Orang lain yang dengan sadar kutaruh dalam sela-sela relungku.

Selamat menikmati, Ana. Kausendiri yang membuat dirimu kecewa. Bagaimana caranya, mengatakan pada dirimu sendiri untuk tak melakukan sesuatu yang kautahu akan melukai dirimu nantinya, aku tak pernah tahu caranya. Dari dulu. Sulit, aku selalu gagal berdiplomasi dengan hati, yang jelas-jelas, logikaku ikut berperan bahkan. Untuk apa? Melindungi diriku (dan hatiku) sendiri, tentunya.

Syukurku, Tuhan masih mengijinkanku berpijak di buminya dan aku masih diberi kesempatan memberi paru-paruku oksigen segar. Jadi, apalagi yang kurang? Aku masih ditempatkan di kebahagiaan yang utuh di tengah keluargaku. Aku pun masih bisa merasakan tertawa dan cerita hangat dari sahabat-sahabat kesayanganku. Ah, tak semudah itu. Naif, bila kali ini, aku mengatakan tak menginginkan kehadiranmu. Iya, aku menginginkan kehadiranmu.

Andai kauterka, siapa ‘kamu’ di sini. Kukira, akan ada ambiguitas yang takkan kausangka. Maaf, tapi ini kenyataannya, mungkin tak mudah bagimu untuk mencernanya, namun, aku bisa apa?

Kamu tak perlu datang jauh-jauh menemui hadirku yang terperosok dari pandangmu, sekarang. Sederhana, yang kubutuhkan, beberapa kalimatmu yang paling tulus untuk mendoakan yang terbaik untukku. Itu lebih dari cukup.

Maaf, tapi kausalah bila kamu membaca ini dan membayangkan aku menulis ini dengan perasaan tak karuan. Ada rasa berkecamuk dalam ragaku, memang. Ah, kamu tak perlu khawatir, aku sangat bahagia sekarang. Aku ditemani doa-doa orang-orang yang kucintai, bagaimana aku bisa tak bahagia. Aku. Sangat. Bahagia.

Hanya saja, aku sangat berharap kamu sudi merelakan waktumu untuk menyapaku. Dan aku akan jadi orang paling bahagia di hari ini.



Salam.

Jumat, 01 November 2013

Memulai Lagi

Aku sama sekali tak menyalahkan lintasan waktu yang tak terlihat, namun, haruskah secepat ini. Kukira baru kemarin, lihatlah, nyatanya sudah tiga bulan dua minggu aku di sini. Aku menyeruput sisa-sisa kopi di cangkirku. Kuambil kertas-kertas serta buku sketsaku kemudian kumasukkan dalam ransel. Buru-buru aku menyambar telepon genggamku dan berangkat setelah kupastikan kamarku terkunci.

Pagi ini.

Tak seperti biasaya, aku harus menunggu di luar ruangan karena aku tak lagi memiliki dispensasi waktu untuk masuk kelas. Aku tak berhenti mengutuk mataku yang tak mau menutup sampai jam tiga pagi tadi malam. Entahlah, tiba-tiba aku memikirkan hal-hal yang menurutku ini gila. Aku memandang ke dalam ruangan melalui jendela, kulihat ia menulis sesuatu di bukunya. Ah, sial, lagi-lagi aku tersenyum-senyum sendiri. Detik selanjutnya ia menoleh ke arahku! Aku berbalik dan kuputuskan untuk pergi dari situ. Mungkin satu cangkir kopi lagi baik untuk pagi ini.

Menuju ke dua bulan sebelum ini.

Gadis ini.

Aku berhenti menggambar di buku sketsaku ketika seorang gadis berlari-lari menuju ruangan dengan napas tak beraturan. Kurasa ia sangat tergesa-gesa hingga tali sepatunya tak sempat diikat. Wajahnya tampak berkeringat, rambutnya sedikit berantakan mungkin terhempas angin saat ia berlari, entahlah, aku kehabisan ide bagaimana gadis ini bisa tak tepat waktu di hari pertama ini. Aku memerhatikannya, maksudku, mungkin seluruh penghuni ruangan ini juga memerhatikannya. Aku tak tahu berapa detik kukira aku menatapnya sangat lekat; ia menarik. Kemudian, ia menatapku. Aku segera melanjutkan gambarku–yang sebenarnya aku tak tahu akan menggambar apa.

“Hai,” tiba-tiba terdengar suara lembut. Dan gadis ini, sudah duduk di sampingku.

Beberapa minggu setelahnya.

Gadis ini dan aku.

Sejak hari itu, buku sketsaku penuh dengan wajah dan senyum berserinya. Entahlah, aku tahu sesuatu tengah terjadi. Mataku menerus mencari-cari gadis ini, dengan rambut panjangnya yang dimainkan angin, atau tawa lepasnya yang gurih, aku selalu ingin memandanginya. Seringkali tatapan kami beradu, namun, ia selalu melepaskannya dan mencari arah lain. Entahlah, ia mungkin tak tahu aku ingin lebih lama menatapnya. Ah, tunggu dulu, kurasa aku jatuh cinta?

“ASKA.”

Ya, kurasa aku belum menyadarinya, sampai aku melihat ukiran namaku tertulis besar di bukunya. Aku menerka-nerka namaku yang tak tertulis lengkap. Atau ia lebih suka menyebutku Aska dibanding Askandar.

“Kau bodoh? Tentu maksudnya Askandar dan Karin,” kata temanku.

Entahlah, aku tak memikirkan hal ini sampai sejauh itu. Tapi, kurasa benar juga. Bukankah sekarang terlalu naif untukku bila aku tak mengakui, aku jatuh cinta pada gadis ini. Pada Karin.

Hari-hari belakangan.

Aku memerhatikannya tiap pagi. Aku menunggunya ketika kelas telah selesai hanya untuk berjalan di sampingnya. Aku menggodanya bila ada kesempatan. Ah, menyenangkan mendengarnya bicara meski kadang ia menceritakan hal-hal yang aku tak mengerti. Gadis ini mampu menatapku dalam-dalam, bahkan menembus relung jiwaku yang kubiarkan berkabut tanpa penghuni.

Namun, ada yang berbeda.

Sesuatu terjadi dan aku–atau Karin–tak memahami batas-batas fana yang dengan sengaja ada di antara kami. Kesalahan ada padaku; atau Karin. Yang pasti, kebekuan menjalar di detik-detik keberadaan kami. Gadis ini, tak seperti sebelumnya. Senyumnya lebih jarang melengkung di bibirnya yang mungil. Mukanya sering tampak lesu dengan kantung mata menghitam. Meskipun begitu, gadis ini tetap sama; menyejukkan untuk kupandangi.

Satu hal lagi yang berbeda darinya.

Gadis ini, ia lebih sering menatap bayanganku. Iya, bayanganku. Entahlah, aku tak memahami jalan pikirannya. Untuk apa ia melekatkan matanya pada bayanganku sedangkan aku ingin kembali menatap dalam-dalam matanya? Aku sama sekali tak mengerti.

Hari ini.

“Askandar.”

Aku menoleh. Ah, ternyata Karin. “Ada apa?”

“Kamu melupakan sesuatu,” Karin memberikan sebuah buku yang dibawanya. “Ini.”

Buku sketsaku.

“Ah, iya, kurasa tertinggal di kelas terakhir. Terima kasih, Karin.”

“Tak masalah. Aku duluan,” Karin berjalan pergi.

Aku memerhatikan langkahnya yang pelan. Bayangannya. Mengingatkanku akan kebiasaan barunya; menatap bayanganku. Sungguh, inilah yang membuatku telat pagi ini. Gadis ini dan segala hal-hal manis tentangnya. Juga, caranya menatapku lewat bayanganku. Apa itu sebuah cara baru untuk mencintai seseorang, melalui bayangannya? Entahlah, bahkan aku menerka terlalu jauh dengan mengatakan dia mencintaiku juga. Ha, apa, juga?! Jadi, aku mencintainya?

Astaga!

Ada sesuatu yang lebih penting yang tak kusadari. Bagaimana aku bisa lupa, di dalam buku sketsa yang baru saja kutinggalkan dengan bodoh di kelas dan dibawa Karin untuk dikembalikan, banyak goresan tentang gadis ini. Bagaimana aku bisa lupa!

“Hey! Karin!” aku berteriak memanggilnya.

Ia menoleh, tapi tak menghentikan langkahnya.

“Kamu melihat bagian dalam buku sketsaku?”

Senyumnya melebar. Bahkan dari kejauhan, aku dapat melihat pipinya merona. Manis. Kurasa, inilah gadis ini ketika aku melihatnya pertama kali.

“Sedikit,” katanya.


Dan gadis ini menghilang di tikungan jalan.


Source: www.deviantart.com

Rabu, 18 September 2013

Think Again When You're In Love

Think again when you’re in love.

Apa kabar?  Kurasa aku sudah lama terdiam. Maksudku, ya, kalian tahu, catatan dan cerita-cerita berantakanku sudah lama belum bermunculan lagi di blog ini. You know, I’m kinda busy lately.

Dalam tulisan ini, aku ingin menuliskan beberapa hal–yang bagiku penting–untuk kubagi dengan kalian. Sudah baca judulnya, bukan? Ya. Berpikirlah lagi ketika kamu sedang jatuh cinta. Omong-omong, kalimat judul yang kutulis ini kudapatkan dari Indira Sekarayu. Thanks for her and go check her twitter. @INSEKR and also check mine. @anarostiana

Baiklah, sampai mana tadi? Oh ya. Mari, biar kujelaskan sebentar. Mungkin detik ini kalian berpikir, “aku tahu dari mana Ana mendapatkan pemikirannya ini.” Ah, iya, kalau kalian berpikir aku dapatkan semua kata-kata ini dari pengalamanku (beserta rasa sakitku) sendiri, tebakan kalian tepat. Aku selalu percaya sampai detik ini tak pernah ada kebetulan, semua itu pasti peran takdir, bahkan dalam bentuk yang terkecil. Semua terjadi bukan tanpa alasan. Ketika tiba-tiba hujan, bisa jadi di ujung jalan lain ada seseorang yang kerongkongannya sekering gurun pasir dan inilah hadiah untuknya. Kaupikir Tuhan menurunkan hujan begitu saja? Kurasa tidak.

Lalu, pernahkah kamu merasa tiba-tiba jatuh cinta pada seseorang yang bahkan baru kamu kenal? Teman barumu, misalnya. Aku menimang-nimang hatiku sendiri ketika ingin jatuh cinta. Jatuh cinta layaknya candu, duniamu berubah merah muda secara tiba-tiba. Semua jadi menyenangkan. Ah, sama seperti mabuk, kita lupa akan sakitnya pada akhirnya nanti. Sudah ada kadarnya, kalau bahagia dan sedih ada dalam satu kemasan.

Aku terlalu paham bagaimana rasanya. Kamu mungkin juga tak mudah untuk menampik jantungmu yang mempercepat debarnya  ketika dia berjalan ke arahmu, bukan? Ataukah kamu mampu menahan tanganmu juga mulutmu yang gemetar saat berbicara dengannya, atau malah kamu tak sanggup bicara di hadapannya? Lalu, bagaimana dengan senyummu yang mengembang sendiri ketika dia duduk di sampingmu, mau lihat wajahmu yang semerah tomat kala itu? Dan, ya, kamu bisa mengatur kupu-kupu yang menggelitik perutmu saat dia memandangimu sangat lama? Aku tahu seluruh jawabannya: tidak!

Menahan untuk tak jatuh cinta memang hal yang paling sulit kulakukan–maksudku, selain melupakan. Kamu tidak sendirian ketika kamu merasa gagal untuk menolak jatuh cinta pada orang yang tak tepat. Seseorang yang melebihi persepsimu tentang pria yang sempurna, bagaimana kamu mampu menahan untuk tak jatuh cinta dengannya? Ya, kamu bukan satu-satunya.

Kalaupun aku mampu, sampai detik ini, aku lebih memilih jatuh cinta pada orang yang memang jatuh cinta padaku. Ah, menyenangkan, aku takkan merasa sakit karena cintaku tak berbalas. Bukankah perasaanku akan selalu tenang bila aku dijaga oleh seseorang yang mau berada di sisi orang aneh sepertiku; aku tak perlu takut ia meninggalkanku. Andaipun semua bisa semudah itu. Andai.

Kesalahan paling besar yang aku–dan kita–lakukan ketika mula-mula merasa jatuh cinta: mudah besar kepala. Kautahu, seperti hal kecil yang sebenarnya tak seistimewa anggapan sekitarmu, menjadi sangat manis bagimu. Ya, aku juga begitu. Baiklah, satu lagi kesalahanku: aku terlalu serius. Ketika aku merasa jatuh cinta, aku terlalu serius dan melakukannya dengan sungguh-sungguh. Aku terlalu cepat jatuh cinta; hingga cepat terluka.

Jangan biarkan hatimu jatuh di tempat yang salah. Sudah kubilang berapa kali, memang, menghindari cinta datang tak pernah mudah. Namun, tidak berarti tak bisa, bukan? Mari renungkan lagi dalam hatimu. Sungguhkah kamu yakin itu cinta? Mudah untuk mengetahuinya. Coba kaupahami kekurangannya, mampukah kamu menerima? Kalau belum, atau bahkan tidak mampu, kauhanya bermain-main dengan hatimu. Kamu hanya mengaguminya. Titik.

Iya. Semudah itu, cinta yang tak mampu kaucegah datangnya, dapat menghancurkan hatimu seketika. Yakinlah, pandai-pandai menjaga hatimu sendiri.


Jadi, bagaimana, kamu merasa benar-benar jatuh cinta? Pikirkanlah lagi.

Rabu, 11 September 2013

Lex Exercises

1.     Nom : Bertier
Prénom  : Rémy
Nationalité : Français
Profession : Professeur
Date de Naissance : 16 Février 1979
(Je)

2.     Nom  : Dupont
Prénom  : Frédéric
Date de Naissance : 17 Octobre 1959
Profession : Architec
Nationalité : Italien
(Tu)

3.     Nom : Sanchez
Prénom  : Victor
Date de Naissance  : 15 Août 1984
Profession  : Plomber
Nationalité  : Mexicain
(Il)

4.     Nom  : White
Prénom  : Alice
Date de Naissance  : 13 Mars 1977
Profession  : Avoceit
Nationalité  : Américaine
(Elle)

5.     Nom  : Charpentier
Prénom  : André
Date de Naissance  : 15 Février 1990
Profession  : Méchanic
Nationalité  :Français

(Vous)

Kamis, 15 Agustus 2013

Selamat Ulang Tahun, Mata Hijau

Aku selalu gagal mengabaikan rasa untuk tak jatuh cinta dengan pria bermata indah.
            That green shiny eyes.
            Mata hijau itu.
            Ketika itu, ya, sama seperti malam-malam lain yang membosankan. Aku duduk di sofa ruang tamu membaca novel fantasi dengan coklat-coklat kesukaanku dan segelas es jeruk. Suara-suara berisik adikku kian tak terdengar; mereka sedang tak di rumah. Sambil menonton televisi–mungkin lebih tepat aku ditonton televisi. Aku membiarkan waktu menikmati langkahnya pergi.
            Astaga.
            Sungguh, aku hampir tersungkur di lantai. Seseorang dengan simpul licik di bibirnya muncul di sana. Dengan gaya (sok) paham fotografi dan kamera terkalung di lehernya, menyusun rencana akal bulusnya. Baiklah, itu cuma tipuan, maksudku, lihat bagaimana selanjutnya wajahnya dipenuhi bulu-bulu dan ekor muncul di belakangnya ketika emosinya membludak. Namun bukan itu, aku terpaku pada semburat dua bola matanya yang berwarna hijau apel segar. Dan aku tahu sesuatu, detik itu juga aku jatuh cinta.
            Aaron Ashab.
            Tak perlu waktu lama untuk mencari tahu tentangmu. Kau begitu dikenal dijagad youtube. Ah, sial, kenapa baru sekarang aku tahu. Bukan, aku bukannya merasa ketinggalan zaman, aku hanya menyesal terlalu terlambat untuk mengetahui ada makhluk serupawan dirimu.
            Aku melihatmu di layar televisi.
            Memandangi lekat-lekat mata hijaumu.
            Menikmati kepura-puraanmu menjadi ambisius yang hampir gila.
            Yes, and everything about that monkey’s furs…
            Sebelum aku jatuh terlelap, suara merdumu mengalun mengantarkan aku tidur. Juga semua saran-saranmu yang sangat “membantu” dalam setiap videomu, selalu kunikmati tiap aku menginginkan kau untuk datang di mimpi-mimpiku; dapat dipastikan kehadiranmu membawa keindahan untuk mimpiku. Jarakmu hanya beberapa senti di layar kaca hingga aku bisa benar-benar memelukmu. Tapi, aku sadar jika kau dan aku memang memiliki jarak yang luar biasa jauh. Lihatlah, memangnya siapa aku? Gadis yang harus kesakitan mendaki terlebih dulu untuk mencapai puncak tertinggi: mimpiku.
            Aku berdoa, sederhana, aku ingin menemuimu.
            Kekuatan doa! Kautahu, Aaron, beberapa hari setelah itu kebaikanmu dan keluargamu seperti jalan keluar untuk keinginanku. Kamu mengizinkan kami berkunjung ke istanamu, tempatmu bernaung dari teriknya udara yang penuh polusi. Dan banjir yang menyerang Jakarta beberapa bulan lalu.
Sebagian bilang ini seperti mimpi, tapi, bagiku, ini takdir. Sebuah takdir kecil yang manis.
            Aku berpacu dengan waktu dan panasnya udara tengah hari, ditambah, tulang-tulangku hampir rontok karena sehari sebelumnya menjadi upik abu dan supir pribadi mama dan adikku. Ah, demimu, Aaron, aku tak peduli dengan kerongkonganku yang mengering. Di tengah perjalanan aku hampir putus asa karena aku tahu takkan sampai tepat waktu. Namun, aku percaya takdir akan menjadi lebih manis lagi. Lalu, kupu-kupu di perutku menggelitik dan semakin menjadi-jadi.
            Tiba!
            Aku di sini, di depan rumahmu. Aku begitu frustasi di dalam taksi memikirkan hal paling buruk yang akan tejadi, acaranya sudah selesai, misalnya. Dan, rasa frustasiku makin menjadi ketika kulihat gadis-gadis keluar dari dalam rumahmu. Kukira acaranya benar-benar sudah selesai.
            Aku duduk di salah satu bangku yang telah disediakan. Astaga, pukul berapa sekarang, aku lupa kewajiban lima waktuku. Beberapa detik kemudian, seorang wanita ramah meneriakkan dari dalam rumah siapa pun yang belum mendirikan shalat boleh masuk. Ya, tentu aku masuk. Dan baru kutahu yang tadi itu bundamu, Aaron. Sama menawannya sepertimu.
            Aku kembali berdoa, sederhana, aku sungguh-sungguh ingin bertemu denganmu.
            Ini hari milikku. Sungguh, Tuhan menerus mengabulkan harapanku dengan sangat cepat. Aku melihatmu, Aaron! Dengan kaos hijau tosca panjang yang selaras dengan kedua bola matamu, membuatmu tampak semakin memesona.
            Pesonamu merebak ke penjuru tiap-tiap sudut pengisi kursi yang hadir di acaranya. Bahkan aku rela berdiri.
            Adzan berkumandang.
            Akhirnya, setelah seharian berpuasa, waktu berbuka datang. Aku menikmati hidangan yang telah disediakan. Ah, tidak, aku tak terlalu berselera. Maksudku, ya, aku tak tega melihatmu yang haus dan kelaparan masih menghadapi penggemarmu. Sejujurnya, tentu aku ingin, sangat ingin, di sana, bergabung bersama mereka berfoto-foto denganmu, mengajakmu berbincang. Tapi aku hanya ingin kamu menyantap semua makanan lezat ini hingga kenyang tak bisa bergerak bersama kami, ah tidak, bersamaku.
            Betapa aku ingin  mengatakan semua yang telah aku tulis di rumah dalam jurnalku–kamu memesona; aku suka mata hijaumu; aku jatuh cinta padamu. Sial, aku gugup. Gugup!
            Aku tak pernah mencintai seseorang yang tak masuk akal seperti ini. Seseorang yang bahkan tak mungkin jadi nyata untukku. Tapi, ya, aku menyayangimu.
            Entah, aku masih ingin di sana, menatapmu sedekat ini, senyata ini, tapi malam begitu cepat datang. Akhirnya, aku pulang, dengan kesan paling manis dari keluargamu.


This is both of us when someone take the photo. Love you!


Hari ini, lima belas Agustus, it’s your day, Man!
Happy birthday, Aaron! May your greatest wish things come true.
Have an awesome birthday. And I bet it’s happen, right?
Now you’re 20, I mean, you’re still 20, and I know all the things that you wish to happen will be happen soon!

Sekali lagi, selamat ulang tahun, selamat bertambah umur, di sini aku selalu mendoakan segala yang terbaik untuk hidupmu, Aaron :)


Made by me.





















Tertanda,



Aku yang merasa hidup di dunia angan sejak aku tahu aku jatuh cinta padamu.

Jumat, 02 Agustus 2013

Tak Mampu

Pernah sudah kucoba tuk melupakanmu,
Namun, aku tak mampu, Kekasihku…

Apa lagi yang bisa lakukan. Ketika kamu yang tiba-tiba memaksa ingin pergi, kamu hilang ingatan, bagaimana bisa setelah selama ini aku bertahan dan kesakitan, kamu terus bicara semua ini tak berarti. Sama sekali. Dan mudahnya kaubilang semua akan lebih menyenangkan, kalau aku lebih baik meninggalkan segalanya di masa lalu. Kamu, memaksaku, melupakanmu? Semenjak hari itu, tugas yang kamu berikan itu, selalu aku lakukan. Hanya, aku tak mampu, Sayang.

Telah kucoba tuk jalani semua,
Rasa cintaku yang tulus untukmu…

Lalu, sedang apa kita selama ini? Apa kau tak pernah melihat binar-binar ketulusan di mataku.  Aku ingat, pagi itu, saat kamu berdiri tepat di depan pohon mahoni depan rumahku. Membawa sekotak bekal dengan bubur ayam tanpa kacang di dalamnya. Iya, saat malam sambungan telepon kita terputus, tepat waktu aku bilang rasanya aku akan pingsan dengan perutku yang seperti ditusuk-tusuk jarum karena kelaparan. Maaf, aku tak bisa berhenti memikirkan ini; sungguhkah kautulus pagi itu.

Jauh sudah kujalani arti hidup ini,
Yang kuharap dapat buatku berdiri,
Biarkanlah kujalani semua,
Tanpa dirimu di sisiku lagi…

Andaipun masih mungkin aku memelukmu, aku yakin hatimu tak di sana. Menguap ke mana seluruh rasamu, Sayang. Aku tak mau berburuk sangka padamu, tapi, kurasa perasaanku semakin menguar tak jelas. Sejak aku memutuskan untuk sibuk dengan urusanku sendiri, demi masa depanku nanti, aku tahu saat itu kamu berbeda. Tidak, bukan itu, tapi ketika kamu mengenal lagi cinta pertamamu. Ah… sayang sekali, aku terlalu paham, tapi memang benar, matamu lebih benderang dari sebelumnya waktu itu. Maaf, aku ingkari janjku; untuk tak pernah menangis. Kukira ini pengecualian, karena kamulah penyebabnya.

Kutahu aku sungguh mencintaimu,
Tak mampu redupkan luka di hatiku…

Seseorang yang melukai mana tahu rasanya terluka. Kamu tidak tahu! Tolong, dapatkah aku bernapas sebentar. Kamu menerus berkata, “lupakan aku, itu lebih baik untukmu.” Malam bagaikan mimpi buruk untukku, saat luka-luka yang kubalut seadanya malah makin meradang. Aku terlalu banyak berandai. Andai kamu bisa diam dan mengerti, andai kamu mau merasakan aku berdiri sendirian di sini, andai aku dapat pula membuat luka di hatimu. Kamu beruntung, aku tak mungkin melakukannya, aku terlalu mencintaimu, Pembuat Luka.

Sudah kucoba untuk melupakanmu,
Meski ku masih ingin mencintaimu,

Ini bulan kelima setelah kamu melenggang pergi. Sungguh, tiap doaku selalu terselip harapan agar kamu mau kembali. Rasanya, aku masih ragu apa kaupantas menetap di otakku. Setelah selama ini… kurasa tidak. Namun, bila hatiku yang kutanya, ia masih kecanduan rindumu, Sayang. Aku tahu aku harus (atau segera?) merapikan kembali hidupku yang tak beraturan, menyapu kembali mana yang harus kulupakan. Tentangmu, semua pantas kuingat. Setidaknya, itu yang kuinginkan. Sampai akhirnya kenyataan menamparku; aku terlalu bodoh.

Biarkan kucoba untuk melupakanmu,
Walau ku tak mampu…

Jadi, ya, baiklah, Sayang. Sebelum aku benar-benar tak ingin mengingatmu lagi, aku ingin katakan, meski kamu begitu kejam, aku tahu kamu hanya tersesat dan salah arah. Aku tahu, kamu tak pernah ingin menyakitiku, kan? Selamat berbahagia, dan di sini, aku coba melupakan segala tentangmu, walau mungkin aku sama sekali tak mampu.




This is completely a fiction. Inspired by Judika – Ku Tak Mampu.

Kamis, 25 Juli 2013

Ketika kamu harus mengubur dalam-dalam mimpi yang kausimpan dengan rapi, mungkin itu saat kamu berada di titik terendahmu. Rasa keputusasaan datang diam-diam saat kamu termenung sendiri, hanya saja, jangan biarkan ia mengendalikanmu! Ah, bicara memang mudah…
            Aku melihat sepotong lilin. Di sana, di ujung jalan. Jalan yang sekarang gelap gulita; aku bahkan tak dapat melihat setitik cahaya pun. Lilin itu menampakkan cahaya kecil yang terterang di sekeliling hitam.  Menawan.
            Terbuka berjuta pilihan yang ditawarkan dunia untuk kaunikmati. Kadang, kamu memang harus menciptakan mimpi baru. Iya, mimpi baru yang mungkin benar-benar berbeda dari mimpi sebelumnya. Ini hidup bukan dongeng, meski negeri dongeng bahkan kalah indah dengan hidupmu. Kalau kamu bersyukur.
            Semakin aku mendekat, lilin kecil itu semakin berjaya. Mengabaikan angin yang melewatinya dengan tak acuh. Mungkinkah tadi aku mendengar sesuatu darinya, “anggaplah mimpimu itu aku. Meski kecil dan terdampar entah di mana, aku masih bisa bersinar.” Tidak, lilin itu salah. Ia bukan cahaya kecil tanpa semangatnya yang membara. Karena kau dan mimpimu, bisa bersinar kalau kamu memang menginginkannya.

Minggu, 30 Juni 2013

Bandingkan, Hati Besi

Daun gugur diam-diam
Peluh hujan, memeluk erat
Tangkai kesepian yang ditinggal jatuh
Tapi, daun gugur tetap diam

Tanah kering retak-retak
Debu, sari-sari kayu,
Mengisi lubuk hampa yang dulunya landai
Tapi, tanah yang kering tetap retak

Angin muson mencumbu batu
Gagah batu tak bergeming,
Juga tak merintih, merajuk, atau mengiba
Dan, angin muson tetap mencumbunya

Lalu, mengapa pemuda,
Berhati besi, pergi bagai lebah,
Yang tak punya harga diri
Melihat bunga tak mau mekar,
Di mana sengat terbaiknya?

Menyedihkan,
Alam pun menertawakan

Minggu, 16 Juni 2013

Ini akan jadi salah satu “pertarungan terbesar” dalam hidup saya. Apa terdengar hiperbola? Ah, tidak. Beribu, bahkan beratus-ratus ribu orang dalam satu arena. Demi tujuan serta mimpi-mimpi mereka masing-masing. Dan saya salah satunya.

Berbulan ke belakang saya terus membunuh waktu saya memikirkan apa yang terjadi di sana, apa saya termasuk yang mati? Namun, tentu saya tak hanya berdesakkan dengan angan-angan; yang manis maupun yang pahit. Tidur malam saya hampir tak pernah tenang. Asam-manis tiap-tiap “senjata perang” sudah saya siapkan, insyaAllah sudah semampu otak saya menahan, setidaknya bila pun nanti kabar paling buruk mendarat di pendengaran saya, mudah-mudahan saya mampu berlapang dada.

Apa pun, tentu semua orang inginkan yang terbaik di tiap langkahnya. Begitu juga saya. Harapannya, saya dapat menjadi pemenang, dari ratusan ribu orang yang sangat beruntung di alam liar, tapi saya tahu Tuhan lebih tahu saya lebih dari saya sendiri. Saya yang memilih, tapi Tuhan yang memutuskan mana yang terbaik.

Semoga saya mendapatkan yang terbaik. Amin.

Kamis, 30 Mei 2013

Mari Duduk di Sampingku

Maukah kamu duduk di sampingku?
            Malam ini, di sini, di bawah malam mendung. Bersama bintang-bintang yang cahayanya meredup disembunyikan langit hitam. Bukankah meretas jenuhmu sebentar tak masalah? Ataukah aku yang mulai bosan melihatmu sendirian, Sayang. Mari, biarkan aku menatap jauh ke dalam dua bola matamu. Aku ingin merasuk lebih jauh dalam jiwamu dan menemukan apa yang mengisi penuh kepalamu. Terlebih hatimu. Sudah lama aku menyerah. Terbuat dari apa hatimu? Begitu kokoh membeku; tak dapat ditembus.
            Tubuhku mematung. Aku membiarkan diriku terhanyut dalam lamunan. Terus menerka-nerka apa yang baiknya kulakukan: berjuang dan bertahan, diam, atau melupakan. Bagaimana aku menciptakan masalahku sendiri. Dengan membuatnya rumit, tentangmu yang bahkan tak pernah ada dalam hidupku. Kamu yang tak pernah tahu betapa seseorang ingin menjaga senyumnya itu agar tak meluntur. Aku. Sikap dinginmu selalu membuatku sesak napas, kautahu? Aku seperti orang bodoh yang mencoba membuat api dengan dua batang kayu kering di kutub utara. Ah, entahlah, pesonamu bak candu, apalagi raut manis itu, aku tak mampu berbalik dan berjalan pergi. Bahkan dari kejauhan, simpul di bibirmu itu masih mengagumkan.
            Maukah kamu duduk di sampingku?
            Beritahukan aku semuanya. Tentangmu, segala mimpimu, bahkan kauboleh menceritakan siapa yang tinggal di hatimu sampai detik ini. Aku tak peduli. Meskipun aku begitu ingin menggenggam erat-erat jemarimu, aku tahu akan sama menyakitkan ketika kamu memaksa untuk pergi. Kalau sungguh kamu tak ingin tinggal, setidaknya, sisakan bayanganmu bersamaku. Untuk merengkuh rindu milikku.
            Jadi, ayo, duduklah di sampingku. Pilihanmu, Sayang, walaupun aku terlihat memaksa.

Rabu, 10 April 2013

Aku Bidadarinya

Mimpi manis itu masih memanipulasi
Namun bukan ilusi
“Kau tahu siapa yang paling berarti untukku?”
Aku mengerutkan dahi dan kembali bertanya, “siapa?”
“Coba lihat ke sana,” dia menunjuk ke utara
Aku menoleh, dan cermin besar muncul entah dari mana
Kupandang aku yang di sana
Terlihat menyedihkan, dengan rambut kusut tak karuan
Debu-debu menempel di sekujur badan
Coreng moreng mukaku bekas luka
Kekuatanku memudar, lalu mengalihkan pandang
Gadis itu penuh gemuruh kesedihan
Gadis itu, sungguh aku?
“Dia menyeramkan,” kataku
Aku menunduk dalam-dalam
Dia mengangkat mukaku, “tapi dia orangnya.”
Dia tersenyum tipis
Aku memandang nanar matanya
Kerlip cahaya memendar
Mendadak ada aku di sana
Kulitnya putih bersih, rambutnya digerai sambil dimainkan angin
Tiap langkahnya berubah bunga warna-warni
Gadis itu memutar, tetapi aku tak menemukan sayap di punggungnya
Senyumnya selembut awan
Gadis itu berseri-seri hingga tampak sempurna
Gadis itu, sungguh aku?
“Percuma dunia memandangmu seburuk-buruknya, kamu selalu jadi bidadariku,”
Begitu katanya
Aku, bidadarinya…

Available on Soundcloud:


Senin, 01 April 2013

Hatiku Belum Mati


Aku tak berani menyalahkan cinta yang datang salah waktu. Begitu tak tahu diri, ia datang tanpa permisi. Menjajah tiap-tiap aliran darah hingga berdesir makin cepat. Aku bersyukur, setidaknya aku tahu ternyata rasaku belum mati. Aku masih bisa merasakan debaran menyenangkan dalam jantungku. Aku tahu, duniaku tak lagi sepenuhnya dipenuhi masa lalu. Ketika aku cuma meringis miris sendirian menatap dua insan yang sempat mengoyak-oyak hatiku itu. Merasa hatiku mati fungsi untuk menjamu–yang katanya–cinta. Ternyata belum, aku tahu saat daun terakhir di penghujung tahun jatuh, tatapan sosok di ujung sana diam-diam menuju ke arahku. Yang kusadari hampir empat windu kemudian; dia memesonaku.
          Bulatan warna merah di kalenderku terlihat tak lagi berjarak jauh dari hari ini. Sekuatku mengerjap, tak ada yang berubah sama sekali. Entah definisi apa yang tepat, bagiku, hari di mana tak lagi mungkin aku menatapmu dari balik pilar-pilar gedung sekolah akan tiba. Memandang dari kejauhan wajahmu yang kadang terlihat sendu, membayangkan betapa aku akan sangat rindu saat itu (hampir) menyita air mataku. Tunggu dulu, bagaimana mungkin aku menangisi yang bukan milikku?
          Ada saatnya air mata mengatakan yang sebenarnya; petunjuk betapa berartinya seseorang bagimu. Semurni tumbuhnya rasa perlahan-lahan tanpa kautahu. Tadinya, aku kira ini perasaan kecil yang singgah sementara. Bukan lagi tentang pesonamu yang keterlaluan, aku hanya sangat ingin duduk temanimu saat kau sendirian di sana waktu itu, mendengar lagu yang sama dengan yang kaudengar. Berlama-lama menatapmu, mendengar merdumu, menyimak apa yang ingin kaukatakan tentang harimu. Aku hanya ingin.
          Mereka cantik luar biasa. Jangan sandingkan dengan aku yang lusuh. Saat itu, saat aku melihatmu jalan berdampingan dengannya, aku tahu hatiku mendadak memanas. Ada tangis yang ingin memaksa keluar. Tapi aku diam. Apa aku layak mencemburuimu yang nyatanya tak kumiliki? Lalu, perih apa ini kalau bukan… cemburu? Betapa aku jauh berbeda dengan gadis-gadis yang dulu kaucintai. Mereka terlihat sempurna dari sisi manapun. Memikatmu dengan begitu mudah dari kesan pertama.
          Senyumku mengembang sendiri kala aku mengingat bagaimana tatapan matamu dan mataku terkunci satu detik. Aku terus berlalu, tanpa berani menoleh lagi. Atau untuk tersenyum tipis. Aku tak pernah benar-benar menyadari ini bukan lagi kadar mengagumi. Aku jatuh cinta. Iya, aku jatuh cinta. Setidaknya sekarang aku bisa kauandalkan dibanding gadis-gadis itu; aku mencintaimu di saat mereka tak lagi melakukannya. Teman setiaku bernama luka, menerus mengajariku arti kehilangan dan kesepian. Haruskah aku ucapkan terimakasih atas pesonamu yang membiarkanku mencoba manisnya rasa ini lagi?
          Aku tahu, hal ini akan jadi sia-sia. Aku takkan pernah mampu  menautkan jemariku di jemarimu, memberimu senyuman termanis yang aku bisa, bahkan mengucapkan selamat tinggal sebelum sapaan selamat pagi sederhana. Jatuh cinta hal manis, tapi tidak kalau bukan di waktu yang tepat. Sebentar lagi aku mau menggapai mimpi-mimpiku, dan bukan di kota ini. Semoga kamu tidak keberatan kalau aku menjadikanmu sebagian dari mimpiku. Yang tak pernah tergapai. Entahlah, aku bisa rasakan mencintaimu takkan pernah membuang waktuku. Karena kamu membuat kesan manis di detik-detik terakhir masa sekolahku, dengan membiarkan aku merasakan–yang kuyakin–cinta lagi.
          Selamat hati, kamu dikunjungi cinta lagi. Selamat berjibaku dengan waktu yang akan mengembangkannya sampai besar.


-teruntuk kamu yang bahkan tak mampu kusentuh bayangannya, aku akan sangat merindukanmu-