Kamis, 26 Juli 2012

Sang Waktu

Waktu memang membantu untuk melupakan sesuatu
Waktu memang penyembuh bagi goresan luka dalam hati
Tapi sayang...
Waktu tak bisa menghapus sebuah rasa yang telah dalam dan tulus
Waktu tak bisa menghapus segala kenangan yang pernah tercipta
Waktu tak bisa membawa kembali apa yang telah pergi
Waktu kadang kejam...
Ia terus melangkah sambil merebut apa yang disebut kebahagiaan
Ia tetap berjalan tanpa lelah meninggalkan jiwa-jiwa kosong penuh duka
Waktu...
Kata sederhana, dengan ribuan hal yang pernah terungkap
Dan, jutaan hal lagi yang masih menjadi misteri

Minggu, 22 Juli 2012

Sahabat Kecil dan Kenangannya

“Anaaaa...”
Begitu biasanya suara Ajeng memanggilku dari luar pagar. Sudah berapa tahun ya aku tak lagi mendengar suara itu? Sepertinya sekitar 7 tahun yang lalu terakhir aku mendengar gema panggilannya.
---
Bisa dibilang, hanya Ajeng sahabat masa kecilku yang aku punya. Ya, ada sih beberapa teman, namun mereka tak seperti dia.
Sewaktu aku kecil, aku tak pernah absen bermain tiap sore. Main, main, dan main. Mungkin hanya ini yang ada di pikiranku ketika itu. Aku ingat, bahkan aku pernah merengek dan menangis sekedar untuk bermain di siang bolong. Tentu saja Mamaku tetap tak mengijinkan dan berujung dengan aku yang ngambek. Tukang ngambek, begitu sebutan dari Mama dan Papa waktu aku kanak-kanak.
Banyak teman yang aku punya saat bermain masih hobiku. Putri, tetangga sebelah rumahku persis yang umurnya di atasku 1 tahun. Lalu ada Putra, Aldo, Yulis, Reza, dan tentunya Ajeng. Dulu kami sering bermain bersama, meski sekedar bercengkrama. Seiring berjalannya waktu dan bertambahnya usia, entahlah kami menjadi seperti orang yang tak pernah saling kenal.
Tak selalu kami dalam damai. Beberapa waktu pernah ada pertikaian, bahkan permusuhan. Ya, dengan Ajeng sekalipun aku mengalaminya. Sehari, dua hari, tiga hari, tak perlu waktu lama untuk baikan.
Main masak-masakan, taplak gunung, petak umpet, batu tujuh, galaksin, bahkan guru-guruan. Aku ingat waktu main guru-guruan, ceritanya aku dan Ajeng buat SPP yang satu orangnya membayar Rp500,- atau lebih. Senyum-senyum sendiri aku mengingatnya.
“Anaa...”
“Ajeeeeng...”
Aku tertawa saat moment ini terbesit dalam pikiranku. Dari jauh aku dan Ajeng saling memanggil nama kami, sudah bagai dua insan yang tak berjumpa bertahun-tahun.
---

Dulu aku sering sekali dibanding-bandingkan dengan Ajeng oleh orang-orang. Sepahit-pahitnya kalimat menyakitkan, kalimat perbandingan mungkin salah satunya. Inti dari perkataan mereka semua sama, merujuk bahwa Ajeng lebih baik dariku. Lebih mandiri, lebih rajin, lebih cantik, dan lainnya. Bahkan, orang tuaku pun mengakuinya.
“Kita bikin geng namanya SR yuk?” kataku.
Minggu malam itu sedang ada acara di RT kompleks rumahku. Entahlah acara apa, aku tak ingat. Waktu itu di sekolah aku membuat geng dengan teman-temanku dan diberi nama ‘SK’ yang artinya sahabat kelas. Dan saat di rumah, aku berniat meniru, dengan mengubah sebutannya menjadi ‘SR’ atau sahabat rumah.
Banyak, sangat banyak, hal-hal yang kami lewati. Hal menyenangkan, lucu, menyedihkan, konflik, pertengkaran, dan masih banyak lagi.
“Kamu udah pernah ketemu sama Ajeng temen kecil kamu lagi, Na?”
Tanya Papa beberapa hari yang lalu. Benar juga, aku belum pernah melihat sosok Ajeng lagi semenjak terakhir kali kami bertemu saat kelas 7 smp di dalam angkutan umum.
Sungguh, aku tak pernah membayangkan ia akan pindah dari kompleks perumahanku. Dari kehidupanku juga. Sejak ia pergi, aku tak punya teman. Aku sendirian. Kesepian.
Pertanyaan Papa menggugah hatiku. Mengais kembali rindu yang pernah ku pendam. Membongkar kenangan-kenangan lampau masa kecil yang indah.
Adakah kesempatanku untuk bertemu lagi dengannya? Dengan Ajeng?
Apa kabarmu sekarang sahabat kecilku? Dimana kamu menetap kala ini?
Aku ingin mendekapmu, mengatakan aku rindu. Rindu masa kecil. Padahal, dahulu aku membayangkan kita kan tumbuh besar bersama, meraih sukses dan saling berbagi. Aku berharap bukan hanya di usia belia saja kamu menorehkan warna warni dalam hidupku.
Mungkin kamu sekarang telah menemukan sahabat yang lebih baik dariku ya? Tak apa. Aku hanya ingin bertemu atau sekedar bersalam sapa hangat kembali denganmu, sahabat.
Dimana kamu sekarang, Ajeng. Sahabat kecilku yang kurindukan.

Kamis, 19 Juli 2012

Aku Menyakiti Diriku Sendiri

Ternyata, selama ini aku melukai diriku sendiri... Maksudnya?
*
Rabu malam kemarin aku pergi ke dokter gigi. Gigi ketigaku dari depan terkikis, dan aku takut jika aku biarkan semakin lama akan semakin berlubang. Dan yang paling parah, aku takut jika gigiku patah.
Singkat cerita, aku tiba di kursi pasien dan dokter baik hati yang hari ini praktek menyuruhku untuk menceritakan masalahku. Entah setiap dokter seperti ini atau tidak, aku merasa dokter ini sangat ramah dan baik hati. Seusai aku menceritakan masalahku, aku pun diminta untuk duduk di kursi pemeriksaan. Kalian pasti tahu kan kursi yang harus terdapat di ruang dokter gigi? Kursi yang bisa dinaik-turunkan dan terdapat lampu serta alat-alat yang menunjang pekerjaan sang dokter.
Dokter memeriksa gigiku. Katanya, gigiku mempunyai warna yang bagus. Maksudnya, tidak terdapat pewarnaan apapun pada gigiku. Kalian mengerti? Aku tidak. Yang kutangkap dari perkataannya, warna gigiku bagus. Selebihnya aku tak terlalu paham.
Kemudian ia mengutak-atik perkakasnya untuk “mengoperasi” gigiku yang terkikis.
“Ini ditambal atau diapakan, dok?” Tanyaku.
“Iya. Tapi tadi waktu diketuk-ketuk terasa nyeri, ya?”
“Iya, dok. Tapi nggak terlalu sih.”
“Kalau begitu harus kontrol seminggu atau dua minggu sekali. Soalnya, ada kemungkinan giginya sudah patah.”
Aku kira dengan sedikit tambalan kecil untuk menutupi kikisnya semua akan berakhir. Ternyata tak sesederhana itu. Lebih kurang 1 jam aku duduk di kursi pemeriksaan itu, akhirnya selesai. Aku kembali duduk di kursi pasien.
“Jadi, itu kenapa ya bisa terkikis gitu, dok?”
“Itu terkikis karena kamu sendiri. Pertama, kamu salah cara saat sikat gigi. Terlalu kencang kamu menyikatnya. Lihat, biar saya tunjukkan cara yang benar.”
Dokter mengambil sebuah contoh mulut lengkap dengan gigi yang tersusun rapi.
“Pasti kamu menyikatnya seperti ini ya?”
Ia menyikatkan sikat kecil pada susunan gigi-gigi itu dengah arah horizontal sambil ditekan dan sedikit brutal.
“Iya hehehe.” Jawabku lengkap dengan cengiran.
“Harusnya seperti ini...” Ia menunjukkan cara menyikat gigi yang benar, dan dengan cara yang lembut pastinya.
Dokter menyingkirkan sejenak mulut besar itu lalu kembali menjelaskan.
“Kesalahan kamu yang kedua, ada pada pemilihan sikat gigi. Besok diganti ya sikat giginya dengan bulu yang agak lembut. Agak lembut ya, bukan lembut.” Ia menekankan intonasi pada kata agak dan lembut.
Aku hanya tersenyum dan mengangguk.
“Jadi, ini semua gara-gara salah cara sikat gigi, dok?”
“Iya, diubah ya caranya. Kalau nggak, ya nanti semua giginya seperti tadi. Karena ini penyebabnya kamu sendiri, dengan kata lain bukan karena bakteri, harus kontrol seminggu atau dua minggu sekali ya. Jika ada pembengkakan langsung kesini lagi ya. Itu kemungkinan giginya sudah patah. Kalau memang seperti itu, nanti penanganannya berbeda. Harus di ahli saraf.” Jelasnya.
Ahli saraf? Mendengar kata saraf saja aku sudah ngilu. Entahlah, aku punya perspektif tersendiri tentang saraf. Dan itu cukup membuatku ngeri.
Jadi, gigiku terkikis karena aku sendiri? Jadi, selama ini akau melukai diriku sendiri? Menurutku cukup sederhana kesalahanku ini, tapi efeknya sangat fatal.
“Ini resepnya. Nanti obat ini diminum saat sudah terjadi pembengkakan atau terasa sakit. Kalau tidak terasa sakit tidak perlu diminum. Ingat ya, seminggu lagi kontrol kesini.” Jelas dokter ramah ini.
“Iya, dok. Terimakasih ya.” Kataku tersenyum sembari menyalaminya.
“Sama-sama, sayang.”
Meski sebagian wajahnya tertutup masker, aku bisa merasakan ia tengah tersenyum.
*
When simple thing turned into complicated thing...
Sesampainya di rumah aku berpikir tentang hal ini. Sesuatu yang harusnya sederhana seperti ini, mengapa menjadi begitu rumit? Ya, aku tahu ini semua memang salahku sendiri. Aku tak menyangka kesalahan kecilku akan beralih menjadi sukar seperti ini.
Sejenak aku berpikir, apa ini juga terjadi pada hatiku? Maksudku, sama halnya seperti gigiku yang terkikis, ternyata hanya dengan ditambal saja tak cukup bila ia telah patah. Spesialis berbeda yang dapat menanganinya apabila memang kenyataannya telah patah.
Serpihan-serpihan hatiku yang hilang... apa ia sungguh tak bisa “ditambal” layaknya gigiku yang terkikis? Mungkin karena memang hatiku telah “patah” terlalu parah. Jikalau memang demikian, apa hatiku memang membutuhkan “spesialis berbeda” agar kembali seperti semula?
Mungkin benar, kalau aku selama ini selalu menyatukan pecahan hatiku yang hilang dengan kepingan “yang lama”. Hatiku sudah terlalu melekat dengan “spesialis lamaku”.
Tetapi, apa yang dokter gigiku katakan ada benarnya juga; kalau memang seperti itu, nanti penanganannya berbeda.
Cara sederhanaku menyembuhkan hatiku sepertinya memang salah. Nampaknya, ia memang memerlukan penanganan yang berbeda. Lalu, haruskah aku mencari “spesialis berbeda” itu? Aku rasa iya. Dan, aku takkan mencarinya. Aku hanya akan menunggunya.

Kamis, 12 Juli 2012

Kekasih dalam Angan

Aku menari dengan kesepian
Di temani luka...
Di iringi rindu...
Dengan irama nada tangis
Sampai akhirnya aku sadari
Aku tak pernah sungguh sendiri
Ada yang selalu merengkuhku
Ada yang selalu membuaiku
Ada yang selalu menemaniku
Dingin, tak ada secuil pun kehangatan
Fana, tak ada rupa
Ada, tapi tak ada
Kekasih dalam angan...
Tak pernah aku sangka sebelumnya
Bahkan tak pernah tersirat dalam benakku
Bagaikan angin, bagaikan melodi
Dapat kurasa, dapat aku nikmati
Namun tak pernah kulihat
Tak dapat ku sentuh pula
Semua dalam fantasi
Hanya dalam kefanaan
Seperti tokoh fiksi yang naik daun
Amat disanjung, sangat dipuja
Walau kehadirannya tak pernah nyata
Sama dengan ingin menggapai langit hanya dengan berjinjit
Untuk menaruhnya dalam dekapan
Untuk menyiraminya dengan kasih sayang
Semua sekedar angan
Semua hanya fantasi
Tanpa perlu argumen maupun alasan
Tak mungkin adalah jawaban yang telak
Dalam sajak serta syair
Hanya terucap rindu dalam bentuk kiasan
Merangkul asa...
Menggamit kepingan yang hilang
Yang kenyataannya tak pernah sirna
Termenung dalam pandangan kosong tak tentu arah
Mencari sebuah titik terkuat untuk bertahan dan melawan
Membakar lembaran lama yang usang
Walau cerita di dalamnya tak pernah benar padam
Bagai para pahlawan yang telah gugur dalam perang
Kekasih dalam angan...
Mungkin dirimu telah beranjak
Meski aku tak pernah menemukan kumpulan kalimat yang tepat
Kini aku telah mendapatkan sebuah inti yang akurat
Sebuah pencitraan yang cukup disampaikan dengan tiga kata
Semua orang tahu itu
Aku yakin aku tak perlu memberitahukan apa itu
Begitu mudah untuk sebuah hal yang rumit
Terlalu jauh aku mencari
Saat hati dan perasaan punya semua jawabanku
Semua tak pernah selamanya
Tapi kala ini
Kehadiran fanamu telah bersahabat
Tetaplah disini
Kekasih dalam angan...

Minggu, 08 Juli 2012

Kosong

Di dalam keramaian aku masih merasa sedih
Sendiri memikirkan kamu
Kosong yang hanya kurasakan
Kau telah tinggal di hatiku
-Kosong, Dewa19-

Kosong...
Ya, aku merasa kosong. Aku merasa hampa.
Bukan, aku bukannya merasa kesepian.
Entahlah, ada sesuatu dalam diriku, atau mungkin lebih tepatnya dalam hatiku, yang tak berisi.
Bukan, hatiku bukan tak berisi.
Entahlah, hanya kamu, ya, kamu, yang terukir dan ada dalam hatiku.
Aku merasa bahagia... tapi tak bahagia.
Semua terasa hambar.
Ada beberapa hal yang tak menghiasi kebahagiaanku.
Aku pun tak tahu hal apakah itu.
Aku senang. Semua indah. Semua terlihat sempurna.
Namun, semua terasa kosong.
Apakah semua ini kembali tentangmu?
Mengapa semua ini harus selalu tentangmu?
Haruskah semua ini tentangmu?
Aku sangat menyayangimu, kamu pun tahu itu kan? Dan ini tak berkurang sedikit pun.
Tapi, bisakah kamu membiarkanku melupakanmu?
Sedetik terlupa, sedetik kemudian teringat kembali.
Lagi-lagi kiasan ini masuk ke dalam hidupku.
Kamu pergi tapi kamu tinggal.
Kamu telah pergi dari kehidupanku, tapi kenyataannya kamu ada di ruang dan waktu yang sama denganku.
Pernahkah kamu membayangkan bahwa ini menyakitkanku?
Kamu telah pergi dari kehidupanku, tapi kenyataannya kamu ada di pikiran dan memoriku.
Padahal, kamu dengan mudah menghapus dan membuang jauh-jauh semua tentangku.
Bisakah aku melakukan itu semudah kamu? Bisakah kamu mengajariku?
Secepat aku berlari, secepat itu pula bayangmu mengikuti.
Sejauh aku membuang, sejauh itu pula kenangan tentangmu kembali.
Sejujurnya, aku tak merindukanmu. Tapi, aku rindu saat-saat bersamamu.
Apa kamu merindukannya juga? Ya, aku sudah tahu, pasti tidak.
Terkadang aku membenci diriku sendiri.
Mengapa aku tak pernah bisa melupakanmu?
Mengapa aku tak pernah bisa membakar habis semua kenangan bersamamu seperti aku membakar gambar dan mawar darimu?
Aku bisa, tapi sebentar kemudian aku tak bisa. Dan begitu seterusnya.
Kosong...
Sudah lama sekali aku tak merasakan hal menakutkan ini sejak saat itu.
Sungguh, aku lebih memilih menangis daripada harus merasakan ini.
Rasa aneh yang entah apa ini.
Hambar, hampa, tak berasa...
Bahagia pun seakan tak menyenangkan dengan adanya perasaan ini dalam hatiku.
Bagian yang paling aku benci pada masalah ini adalah, mengapa semua ini harus tentangmu?

Senin, 02 Juli 2012

Gitarku

Begitu banyak orang yang tak mengerti keadaan dan perasaan orang lain.
Kebanyakan dari mereka hanya mementingkan masalah mereka sendiri.
Hilangkah sudah rasa empati di dunia ini?
Pernahkah kau merasakan seolah tak ada satupun orang yang memahami apa yang tengah kau rasakan?
Entahlah, aku merasa mereka tak pernah mengerti apa yang aku rasakan.
Mereka tak pernah mau tahu apa yang aku tlah lalui.
Hanya keluargaku dan sahabat-sahabatku yang amat mengertiku, tidak seperti mereka.
Juga Tuhan. Semua keluh kesahku, rasa terimakasihku, serta harapan-harapanku, Tuhan selalu mendengarkan dan membuatku lebih kuat.
Dan satu lagi, gitarku.
Kesayanganku yang amat berharga.
Begitu banyak cerita aku katakan padanya.
Telah banyak air mata aku tumpahkan padanya.
Ia seakan mengerti. Ia seakan paham.
Entahlah, mungkin hanya perasaanku.
Saat aku tengah bahagia, melodi yang dikeluarkan terdengar lebih indah.
Saat aku tengah berduka, baru aku menyentuhnya air mataku mengalir begitu saja. Seperti baru saja ia mengatakan “tumpahkan saja semua keresahanmu padaku”.
Saat aku tengah risau, seolah sesuatu yang buruk akan terjadi, entah ini sebuah kebetulan atau tidak, salah satu senarnya pasti putus.
Aku ingat, ketika orang yang amat aku sayangi melukaiku.
Waktu itu, tangisku pecah dengan ia dalam pelukanku.
Aku ingat, ketika aku menghabiskan sepanjang hariku bersama orang itu juga.
Lelahnya aku waktu itu tak menghalangiku memetik dan bercerita padanya.
Tak sekali-dua aku tertidur dengan memeluknya.
Ia saksi bisu hidupku.
Gitarku saja bisa berempati, mengapa mereka tidak?
Aku rasa penyebab orang sulit berempati, karena mereka tak saling mengenal.
Maksudku, hati mereka belum mengenal.
Seandainya ada sosok nyata cerminan gitarku...