Kamis, 15 Agustus 2013

Selamat Ulang Tahun, Mata Hijau

Aku selalu gagal mengabaikan rasa untuk tak jatuh cinta dengan pria bermata indah.
            That green shiny eyes.
            Mata hijau itu.
            Ketika itu, ya, sama seperti malam-malam lain yang membosankan. Aku duduk di sofa ruang tamu membaca novel fantasi dengan coklat-coklat kesukaanku dan segelas es jeruk. Suara-suara berisik adikku kian tak terdengar; mereka sedang tak di rumah. Sambil menonton televisi–mungkin lebih tepat aku ditonton televisi. Aku membiarkan waktu menikmati langkahnya pergi.
            Astaga.
            Sungguh, aku hampir tersungkur di lantai. Seseorang dengan simpul licik di bibirnya muncul di sana. Dengan gaya (sok) paham fotografi dan kamera terkalung di lehernya, menyusun rencana akal bulusnya. Baiklah, itu cuma tipuan, maksudku, lihat bagaimana selanjutnya wajahnya dipenuhi bulu-bulu dan ekor muncul di belakangnya ketika emosinya membludak. Namun bukan itu, aku terpaku pada semburat dua bola matanya yang berwarna hijau apel segar. Dan aku tahu sesuatu, detik itu juga aku jatuh cinta.
            Aaron Ashab.
            Tak perlu waktu lama untuk mencari tahu tentangmu. Kau begitu dikenal dijagad youtube. Ah, sial, kenapa baru sekarang aku tahu. Bukan, aku bukannya merasa ketinggalan zaman, aku hanya menyesal terlalu terlambat untuk mengetahui ada makhluk serupawan dirimu.
            Aku melihatmu di layar televisi.
            Memandangi lekat-lekat mata hijaumu.
            Menikmati kepura-puraanmu menjadi ambisius yang hampir gila.
            Yes, and everything about that monkey’s furs…
            Sebelum aku jatuh terlelap, suara merdumu mengalun mengantarkan aku tidur. Juga semua saran-saranmu yang sangat “membantu” dalam setiap videomu, selalu kunikmati tiap aku menginginkan kau untuk datang di mimpi-mimpiku; dapat dipastikan kehadiranmu membawa keindahan untuk mimpiku. Jarakmu hanya beberapa senti di layar kaca hingga aku bisa benar-benar memelukmu. Tapi, aku sadar jika kau dan aku memang memiliki jarak yang luar biasa jauh. Lihatlah, memangnya siapa aku? Gadis yang harus kesakitan mendaki terlebih dulu untuk mencapai puncak tertinggi: mimpiku.
            Aku berdoa, sederhana, aku ingin menemuimu.
            Kekuatan doa! Kautahu, Aaron, beberapa hari setelah itu kebaikanmu dan keluargamu seperti jalan keluar untuk keinginanku. Kamu mengizinkan kami berkunjung ke istanamu, tempatmu bernaung dari teriknya udara yang penuh polusi. Dan banjir yang menyerang Jakarta beberapa bulan lalu.
Sebagian bilang ini seperti mimpi, tapi, bagiku, ini takdir. Sebuah takdir kecil yang manis.
            Aku berpacu dengan waktu dan panasnya udara tengah hari, ditambah, tulang-tulangku hampir rontok karena sehari sebelumnya menjadi upik abu dan supir pribadi mama dan adikku. Ah, demimu, Aaron, aku tak peduli dengan kerongkonganku yang mengering. Di tengah perjalanan aku hampir putus asa karena aku tahu takkan sampai tepat waktu. Namun, aku percaya takdir akan menjadi lebih manis lagi. Lalu, kupu-kupu di perutku menggelitik dan semakin menjadi-jadi.
            Tiba!
            Aku di sini, di depan rumahmu. Aku begitu frustasi di dalam taksi memikirkan hal paling buruk yang akan tejadi, acaranya sudah selesai, misalnya. Dan, rasa frustasiku makin menjadi ketika kulihat gadis-gadis keluar dari dalam rumahmu. Kukira acaranya benar-benar sudah selesai.
            Aku duduk di salah satu bangku yang telah disediakan. Astaga, pukul berapa sekarang, aku lupa kewajiban lima waktuku. Beberapa detik kemudian, seorang wanita ramah meneriakkan dari dalam rumah siapa pun yang belum mendirikan shalat boleh masuk. Ya, tentu aku masuk. Dan baru kutahu yang tadi itu bundamu, Aaron. Sama menawannya sepertimu.
            Aku kembali berdoa, sederhana, aku sungguh-sungguh ingin bertemu denganmu.
            Ini hari milikku. Sungguh, Tuhan menerus mengabulkan harapanku dengan sangat cepat. Aku melihatmu, Aaron! Dengan kaos hijau tosca panjang yang selaras dengan kedua bola matamu, membuatmu tampak semakin memesona.
            Pesonamu merebak ke penjuru tiap-tiap sudut pengisi kursi yang hadir di acaranya. Bahkan aku rela berdiri.
            Adzan berkumandang.
            Akhirnya, setelah seharian berpuasa, waktu berbuka datang. Aku menikmati hidangan yang telah disediakan. Ah, tidak, aku tak terlalu berselera. Maksudku, ya, aku tak tega melihatmu yang haus dan kelaparan masih menghadapi penggemarmu. Sejujurnya, tentu aku ingin, sangat ingin, di sana, bergabung bersama mereka berfoto-foto denganmu, mengajakmu berbincang. Tapi aku hanya ingin kamu menyantap semua makanan lezat ini hingga kenyang tak bisa bergerak bersama kami, ah tidak, bersamaku.
            Betapa aku ingin  mengatakan semua yang telah aku tulis di rumah dalam jurnalku–kamu memesona; aku suka mata hijaumu; aku jatuh cinta padamu. Sial, aku gugup. Gugup!
            Aku tak pernah mencintai seseorang yang tak masuk akal seperti ini. Seseorang yang bahkan tak mungkin jadi nyata untukku. Tapi, ya, aku menyayangimu.
            Entah, aku masih ingin di sana, menatapmu sedekat ini, senyata ini, tapi malam begitu cepat datang. Akhirnya, aku pulang, dengan kesan paling manis dari keluargamu.


This is both of us when someone take the photo. Love you!


Hari ini, lima belas Agustus, it’s your day, Man!
Happy birthday, Aaron! May your greatest wish things come true.
Have an awesome birthday. And I bet it’s happen, right?
Now you’re 20, I mean, you’re still 20, and I know all the things that you wish to happen will be happen soon!

Sekali lagi, selamat ulang tahun, selamat bertambah umur, di sini aku selalu mendoakan segala yang terbaik untuk hidupmu, Aaron :)


Made by me.





















Tertanda,



Aku yang merasa hidup di dunia angan sejak aku tahu aku jatuh cinta padamu.

Jumat, 02 Agustus 2013

Tak Mampu

Pernah sudah kucoba tuk melupakanmu,
Namun, aku tak mampu, Kekasihku…

Apa lagi yang bisa lakukan. Ketika kamu yang tiba-tiba memaksa ingin pergi, kamu hilang ingatan, bagaimana bisa setelah selama ini aku bertahan dan kesakitan, kamu terus bicara semua ini tak berarti. Sama sekali. Dan mudahnya kaubilang semua akan lebih menyenangkan, kalau aku lebih baik meninggalkan segalanya di masa lalu. Kamu, memaksaku, melupakanmu? Semenjak hari itu, tugas yang kamu berikan itu, selalu aku lakukan. Hanya, aku tak mampu, Sayang.

Telah kucoba tuk jalani semua,
Rasa cintaku yang tulus untukmu…

Lalu, sedang apa kita selama ini? Apa kau tak pernah melihat binar-binar ketulusan di mataku.  Aku ingat, pagi itu, saat kamu berdiri tepat di depan pohon mahoni depan rumahku. Membawa sekotak bekal dengan bubur ayam tanpa kacang di dalamnya. Iya, saat malam sambungan telepon kita terputus, tepat waktu aku bilang rasanya aku akan pingsan dengan perutku yang seperti ditusuk-tusuk jarum karena kelaparan. Maaf, aku tak bisa berhenti memikirkan ini; sungguhkah kautulus pagi itu.

Jauh sudah kujalani arti hidup ini,
Yang kuharap dapat buatku berdiri,
Biarkanlah kujalani semua,
Tanpa dirimu di sisiku lagi…

Andaipun masih mungkin aku memelukmu, aku yakin hatimu tak di sana. Menguap ke mana seluruh rasamu, Sayang. Aku tak mau berburuk sangka padamu, tapi, kurasa perasaanku semakin menguar tak jelas. Sejak aku memutuskan untuk sibuk dengan urusanku sendiri, demi masa depanku nanti, aku tahu saat itu kamu berbeda. Tidak, bukan itu, tapi ketika kamu mengenal lagi cinta pertamamu. Ah… sayang sekali, aku terlalu paham, tapi memang benar, matamu lebih benderang dari sebelumnya waktu itu. Maaf, aku ingkari janjku; untuk tak pernah menangis. Kukira ini pengecualian, karena kamulah penyebabnya.

Kutahu aku sungguh mencintaimu,
Tak mampu redupkan luka di hatiku…

Seseorang yang melukai mana tahu rasanya terluka. Kamu tidak tahu! Tolong, dapatkah aku bernapas sebentar. Kamu menerus berkata, “lupakan aku, itu lebih baik untukmu.” Malam bagaikan mimpi buruk untukku, saat luka-luka yang kubalut seadanya malah makin meradang. Aku terlalu banyak berandai. Andai kamu bisa diam dan mengerti, andai kamu mau merasakan aku berdiri sendirian di sini, andai aku dapat pula membuat luka di hatimu. Kamu beruntung, aku tak mungkin melakukannya, aku terlalu mencintaimu, Pembuat Luka.

Sudah kucoba untuk melupakanmu,
Meski ku masih ingin mencintaimu,

Ini bulan kelima setelah kamu melenggang pergi. Sungguh, tiap doaku selalu terselip harapan agar kamu mau kembali. Rasanya, aku masih ragu apa kaupantas menetap di otakku. Setelah selama ini… kurasa tidak. Namun, bila hatiku yang kutanya, ia masih kecanduan rindumu, Sayang. Aku tahu aku harus (atau segera?) merapikan kembali hidupku yang tak beraturan, menyapu kembali mana yang harus kulupakan. Tentangmu, semua pantas kuingat. Setidaknya, itu yang kuinginkan. Sampai akhirnya kenyataan menamparku; aku terlalu bodoh.

Biarkan kucoba untuk melupakanmu,
Walau ku tak mampu…

Jadi, ya, baiklah, Sayang. Sebelum aku benar-benar tak ingin mengingatmu lagi, aku ingin katakan, meski kamu begitu kejam, aku tahu kamu hanya tersesat dan salah arah. Aku tahu, kamu tak pernah ingin menyakitiku, kan? Selamat berbahagia, dan di sini, aku coba melupakan segala tentangmu, walau mungkin aku sama sekali tak mampu.




This is completely a fiction. Inspired by Judika – Ku Tak Mampu.