Jumat, 01 November 2013

Memulai Lagi

Aku sama sekali tak menyalahkan lintasan waktu yang tak terlihat, namun, haruskah secepat ini. Kukira baru kemarin, lihatlah, nyatanya sudah tiga bulan dua minggu aku di sini. Aku menyeruput sisa-sisa kopi di cangkirku. Kuambil kertas-kertas serta buku sketsaku kemudian kumasukkan dalam ransel. Buru-buru aku menyambar telepon genggamku dan berangkat setelah kupastikan kamarku terkunci.

Pagi ini.

Tak seperti biasaya, aku harus menunggu di luar ruangan karena aku tak lagi memiliki dispensasi waktu untuk masuk kelas. Aku tak berhenti mengutuk mataku yang tak mau menutup sampai jam tiga pagi tadi malam. Entahlah, tiba-tiba aku memikirkan hal-hal yang menurutku ini gila. Aku memandang ke dalam ruangan melalui jendela, kulihat ia menulis sesuatu di bukunya. Ah, sial, lagi-lagi aku tersenyum-senyum sendiri. Detik selanjutnya ia menoleh ke arahku! Aku berbalik dan kuputuskan untuk pergi dari situ. Mungkin satu cangkir kopi lagi baik untuk pagi ini.

Menuju ke dua bulan sebelum ini.

Gadis ini.

Aku berhenti menggambar di buku sketsaku ketika seorang gadis berlari-lari menuju ruangan dengan napas tak beraturan. Kurasa ia sangat tergesa-gesa hingga tali sepatunya tak sempat diikat. Wajahnya tampak berkeringat, rambutnya sedikit berantakan mungkin terhempas angin saat ia berlari, entahlah, aku kehabisan ide bagaimana gadis ini bisa tak tepat waktu di hari pertama ini. Aku memerhatikannya, maksudku, mungkin seluruh penghuni ruangan ini juga memerhatikannya. Aku tak tahu berapa detik kukira aku menatapnya sangat lekat; ia menarik. Kemudian, ia menatapku. Aku segera melanjutkan gambarku–yang sebenarnya aku tak tahu akan menggambar apa.

“Hai,” tiba-tiba terdengar suara lembut. Dan gadis ini, sudah duduk di sampingku.

Beberapa minggu setelahnya.

Gadis ini dan aku.

Sejak hari itu, buku sketsaku penuh dengan wajah dan senyum berserinya. Entahlah, aku tahu sesuatu tengah terjadi. Mataku menerus mencari-cari gadis ini, dengan rambut panjangnya yang dimainkan angin, atau tawa lepasnya yang gurih, aku selalu ingin memandanginya. Seringkali tatapan kami beradu, namun, ia selalu melepaskannya dan mencari arah lain. Entahlah, ia mungkin tak tahu aku ingin lebih lama menatapnya. Ah, tunggu dulu, kurasa aku jatuh cinta?

“ASKA.”

Ya, kurasa aku belum menyadarinya, sampai aku melihat ukiran namaku tertulis besar di bukunya. Aku menerka-nerka namaku yang tak tertulis lengkap. Atau ia lebih suka menyebutku Aska dibanding Askandar.

“Kau bodoh? Tentu maksudnya Askandar dan Karin,” kata temanku.

Entahlah, aku tak memikirkan hal ini sampai sejauh itu. Tapi, kurasa benar juga. Bukankah sekarang terlalu naif untukku bila aku tak mengakui, aku jatuh cinta pada gadis ini. Pada Karin.

Hari-hari belakangan.

Aku memerhatikannya tiap pagi. Aku menunggunya ketika kelas telah selesai hanya untuk berjalan di sampingnya. Aku menggodanya bila ada kesempatan. Ah, menyenangkan mendengarnya bicara meski kadang ia menceritakan hal-hal yang aku tak mengerti. Gadis ini mampu menatapku dalam-dalam, bahkan menembus relung jiwaku yang kubiarkan berkabut tanpa penghuni.

Namun, ada yang berbeda.

Sesuatu terjadi dan aku–atau Karin–tak memahami batas-batas fana yang dengan sengaja ada di antara kami. Kesalahan ada padaku; atau Karin. Yang pasti, kebekuan menjalar di detik-detik keberadaan kami. Gadis ini, tak seperti sebelumnya. Senyumnya lebih jarang melengkung di bibirnya yang mungil. Mukanya sering tampak lesu dengan kantung mata menghitam. Meskipun begitu, gadis ini tetap sama; menyejukkan untuk kupandangi.

Satu hal lagi yang berbeda darinya.

Gadis ini, ia lebih sering menatap bayanganku. Iya, bayanganku. Entahlah, aku tak memahami jalan pikirannya. Untuk apa ia melekatkan matanya pada bayanganku sedangkan aku ingin kembali menatap dalam-dalam matanya? Aku sama sekali tak mengerti.

Hari ini.

“Askandar.”

Aku menoleh. Ah, ternyata Karin. “Ada apa?”

“Kamu melupakan sesuatu,” Karin memberikan sebuah buku yang dibawanya. “Ini.”

Buku sketsaku.

“Ah, iya, kurasa tertinggal di kelas terakhir. Terima kasih, Karin.”

“Tak masalah. Aku duluan,” Karin berjalan pergi.

Aku memerhatikan langkahnya yang pelan. Bayangannya. Mengingatkanku akan kebiasaan barunya; menatap bayanganku. Sungguh, inilah yang membuatku telat pagi ini. Gadis ini dan segala hal-hal manis tentangnya. Juga, caranya menatapku lewat bayanganku. Apa itu sebuah cara baru untuk mencintai seseorang, melalui bayangannya? Entahlah, bahkan aku menerka terlalu jauh dengan mengatakan dia mencintaiku juga. Ha, apa, juga?! Jadi, aku mencintainya?

Astaga!

Ada sesuatu yang lebih penting yang tak kusadari. Bagaimana aku bisa lupa, di dalam buku sketsa yang baru saja kutinggalkan dengan bodoh di kelas dan dibawa Karin untuk dikembalikan, banyak goresan tentang gadis ini. Bagaimana aku bisa lupa!

“Hey! Karin!” aku berteriak memanggilnya.

Ia menoleh, tapi tak menghentikan langkahnya.

“Kamu melihat bagian dalam buku sketsaku?”

Senyumnya melebar. Bahkan dari kejauhan, aku dapat melihat pipinya merona. Manis. Kurasa, inilah gadis ini ketika aku melihatnya pertama kali.

“Sedikit,” katanya.


Dan gadis ini menghilang di tikungan jalan.


Source: www.deviantart.com