Rabu, 10 Oktober 2012

Bersama Ombak

Dia tak lagi punya daya. Kakinya lemas, dan tubuhnya ditopang lutut yang mencium lembutnya pasir putih. Itupun tak berlangsung lama, kini dia sudah berada dalam pangkuan pantai. 
          Siang tak terlalu terik. Awan menghalangi pancaran sinar sang matahari. Dia menunduk, bukan karena menghindari sisa panas yang lewat melalui celah awan. Tapi, ingin memberi pasir putih tetes demi tetes air wujud perasaannya. Yang paling dalam.
Kata jadi tidak penting sekarang. Pertahanannya telah runtuh. Hingga mata tak sanggup lagi menolak kiriman air bening dari hati dan perasaan. Saat kau mengira bisa kuat dan bertahan, mungkin itu saat terlemahmu.
“Aku kagum padamu, kamu bisa begitu tegar. Terlihat tanpa beban. Sama sekali!”
Dia hanya tersenyum tiap kali orang lontarkan kalimat yang punya inti sama seperti itu. Dia bisa apa? Menghancurkan kekaguman orang-orang dengan menunjukkan luka terselubung dalam dirinya?
Air matanya tumpah makin deras. Tangisnya makin menjadi teredam deburan ombak yang mengulum bibir pantai. Dia mencari sanggahan dengan menggenggam kuat pasir –yang kemudian keluar dari celah genggaman.
Ya Tuhan, aku mulai benci berpura-pura...
Jadi, apa masalahnya? Mereka yang terus menghujat. Memberi caci dan maki. Dia tak henti bertanya pada hati. Sebenarnya, kapan mereka lelah?
Andai mereka mau melihat lebih dekat. Ah! ‘Teman’ kah alasan mereka? Bodoh!
“Hidupmu penuh obsesi!”
“Kapan kamu akan membeli kaca? Agar kamu cepat sadar, kamu itu biasa!”
“Cih! Bagaimana bisa orang sepertimu menyaingi kami!”
Pipinya tambah memanas. Karena rasanya, air mata meluncur lebih deras. Kalimat itu terus menggerayangi pikirannya. Memenuhi otak hingga merobohkan logika. Padahal, kemarin berlalu begitu saja.
Bukankah membenci itu melelahkan? Lalu, kapan mereka berhenti melakukannya?
Dia pintar memainkan peran. Bahkan, drama kehidupan. Senyumnya tak pernah disembunyikan. Justru senyum yang menyembunyikan; seluruh luka dan dukanya.
Namun saat ini dia tak lagi bisa seimbang. Penyumbat telinganya telah terhempas, kalah oleh kumpulan kata yang menyakitkan. Menyayat dan mengoyak benteng teguh dibalik senyum.
Ya Tuhan, apa salahku...
Kau takkan pernah menyangka, sungguh kerapuhan hati seseorang berada tepat dibalik cerianya. Dia meringkuk, ditiup hembusan angin laut. Berteman dengan sakit yang selama ini lekat pada hatinya, yang perlahan keluar bersama tangis.
Selama ini, dia sendirian. Dia bahkan tak sadar, tokoh antagonis berada di sekitarnya. Seakan tak cukup kehadiran mereka para pencaci. Malah, ini telak menghantamnya; ketika alunan indah adalah nada menuju kematian. Definisi teman seketika mengabur. Menghilang!
Pelan, dia mengangkat kepalanya. Memandang ombak bergulung yang berkejaran.
Ya Tuhan, aku mohon, tunjukkan alasanMu membiarkanku terjebak dalam keadaan ini. Sebelum aku tak bisa lagi menahan diri untuk menyusul ke atas sana, bersama ombak...

0 komentar:

Posting Komentar