Senin, 03 September 2012

Perpisahan

          Siapa yang suka perpisahan? Aku yakin hampir tak ada; atau bahkan tak ada. Peti mati yang telah aku kubur dalam, isinya berhamburan. Berputar dalam satu kesatuan. Memecah pandanganku. Kemana lagi selain pada masa lampau?

 Kalimat yang memekakkan telinga saling berloncatan. Bahkan piring dan gelas kaca ikut berterbangan. Cacian, tuduhan, bahkan hujatan. Entah apa yang tersirat dalam otak mereka.
Aku menutup telingaku. Tak mengizinkan satu kata pun melintas. Mata juga kupejamkan. Menahan air yang hendak meluncur.
“Kau mementingkan dirimu sendiri. Egois!!!”
“Terus saja bilang begitu. Sadar, kaulah yang egois!!!”
Kutekan makin kencang telingaku.
“Aku egois? Lalu kau apa? Urusi saja jalangmu itu!!! Wanita penggoda penghancur!”
Plak...
Tamparan keras sepertinya baru saja mendarat. Aku menunduk makin dalam dan mengunci mataku kuat. Walau tak terlalu kuat menahan aliran air bening yang turun seketika.
“Jaga ucapanmu!!! Aku muak denganmu!”
Bantingan keras berasal dari pintu terdengar. Nampaknya ada yang angkat kaki dari situ. Sedetik kemudian, senandung tangis yang memenuhi ruangan. Tangis yang terkandung unsur lelah, juga luka dan kecewa. Aku ikut menangis –dalam diam.
Hidangan mengunggah selera tersedia dihadapanku. Tapi aku sama sekali malas bahkan untuk menyentuhnya. Aku bahkan berharap tak disini.
“Apa yang kau lakukan dengan foto di saku baju kerjaku?”
“Fotomu bersama jalang itu?!”
Gebrakan meja mengagetkan.
“Sudah berapa kali aku bilang?! Jaga ucapanmu!!!”
Ah! Bukankah ini saatnya makan? Ada apa dengan mereka ini. Siapa lagi? Tentu saja kedua orang tuaku.
Apa mereka tak pernah menganggap keberadaanku? Mungkin aku disangka boneka tak bernyawa. Tidak melihat, mendengar, dan merasa. Ini rumah, atau penjara? Sepertinya penjara pun tampak lebih nyaman.
“Aku sudah tidak tahan lagi. Kalau itu maumu, baik aku akan bersama dia!”
“Silahkan! Aku mau cerai!”
Kalimat itu takkan pernah terbuang dari ingatanku walau untuk seumur hidup. Kumpulan kosakata terburuk sepanjang yang pernah terdengar olehku. Dan, awal dari kelamnya masa remaja yang mestinya indah.
Mereka yang diapit oleh keluarga yang damai dan suasana rumah nyaman; izinkan aku iri pada mereka. Andai aku punya kesempatan untuk memilih posisi hidup yang aku inginkan.
Tak pernah terbayang orang tuaku akan berpisah. Aku hampir maklum dengan ‘kicauan’ mereka setiap hari, juga terbiasa. Bahkan lebih baik. Selanjutnya, aku akan memilih –atau dipilih– tinggal bersama Bunda, atau ikut Ayah. Bukan pilihan mudah, sangat bukan pilihan mudah.
Aku merasa diabaikan, dicampakkan, bukan pilihan, dan tak diinginkan. Pernah terbesit dalam otakku, mengapa Ayah tak memilihku dan pergi dari rumah? Tapi kalau aku ikut, Bunda sama siapa? Kemudian aku melakukan yang aku bisa; menangis.

I watched you die, I heard you cry
Every night in your sleep
I was so young, you should have known better than to lean on me
You never thought of anyone else
You just saw your pain

Setiap malam bisikan tangis Bunda memenuhi kamarnya. Aku masih terlalu kecil untuk memahami perih dan pahitnya perpisahan. Kubiarkan telingaku mendengar, tanpa berusaha menghibur atau sekedar bertanya. Rasanya, percuma.
Hidupku, berubah, sejak saat itu. Aku tak pernah dibasuh kehangatan keluarga lagi. Bahkan lupa rasa kasih dan sayang. Bentuk perhatian sederhana dari kedua orang tua pun, lenyap sama sekali. Ah, merananya hidupku.
---
I will not make the same mistakes that you did
I will not let myself cause my heart so much misery

Déjà vu. Aku terperangah. Kata tak lagi terlontar. Aku membisu didekap hal fana. Entahlah, sepertinya aku kenal saat ini. Tak asing lagi bagi jiwa rapuhku.
Terlihat anak perempuan manis di sudut pintu saat aku menoleh. Matanya nampak basah, hidungnya memerah, dan napasnya terseguk. Guling kecil yang dibawanya tampak terjerat erat dalam pelukan. Lagi-lagi, bukan bagian yang tersisih dari ingatanku.
Di depanku, teriakan tak lagi terdengar. Hanya gerak dagu juga tatapan yang berapi. Mengapa di saat seperti ini, terpancar jelas pada dua bola mata itu cinta yang begitu dalam?

And now I cry, in the middle of the night
Over the same damn thing

Nyawaku seperti baru kembali. Dari perjalanan waktu. Akhirnya, aku sudah sadar keadaan.
         Tiap doaku, aku berharap waktu berlalu. Hingga aku temukan lagi secercah kebahagiaan, yang pernah hilang. Cukup kesengsaraan untuk selama ini, aku hanya ingin pergi. Menemukan lembaran baru.
          Perjuangan Bunda, membuatku menjadi wanita yang tegar dan kuat. Sampai aku merasakan berada di posisinya. Sekarang aku sangat mengerti perasaannya, terutama bagian terpedih. Entahlah, kini alasanku menitihkan air mata, sama seperti Bunda. Mengapa ada pertengkaran di tengah pengakuan saling cinta?
          Ia masih terus memaki, memuntahkan kata tak enak bagi hati. Tapi aku, cuma mengulas senyum tulus. Biarlah ia puas, hingga tak perlu lagi memendam. Beberapa saat berlalu, mulutnya berhenti menguntai kata. Tergurat air muka heran di wajahnya. Tatapannya pun tak sepanas tadi.
          “Aku mencintaimu. Maafkan aku ya.”
          Kupeluk erat tubuhnya. Ia tersentak, lalu detik selanjutnya membalas pelukanku. Aku bisa merasakan ia tengah tersenyum.
          Gadis manis itu menghampiri kami. Aku juga menenggelamkan kesayanganku yang berharga itu dalam pelukan hangat.
          “Maafkan Mama, sayang.”
          Aku berbisik di telinga mungil, dan terasa mulai memanas kedua pipiku.
          Betapa bodohnya aku. Menyia-nyiakan tawaran kebahagiaan yang selama ini aku cari. Bertumpu pada masa suram, membutakan hal indah di depan mata. Bahagia itu tak murah ya. Aku harus merasakan hatiku dicambuk dulu baru bisa mendapatkannya.
          Terimakasih, Bunda. Perihnya perpisahanmu mengajariku banyak arti kehidupan; bagaimana cara menjadi tegar dan bertahan. Aku takkan melupakan pelajaran berharga ini. Hanya karena aku pernah sakit hingga tak bisa bangkit, aku bukan seorang egois yang tega membiarkan orang yang kucinta merasa juga.
Keluarga itu, segalanya.

Because of you
I never stray too far from the sidewalk
Because of you
I learned to play on the safe side
So I don't get hurt
Because of you
I find it hard to trust
Not only me, but everyone around me
Because of you
I tried my hardest just to forget everything
Because of you
I don't know how to let anyone else in
Because of you
I'm ashamed of my life because it's empty
Because of you
I am afraid

Inspired by: Kelly Clarkson - Because of You

0 komentar:

Posting Komentar