Sabtu, 01 September 2012

Kepergianmu


          Angin malam menampar lembut. Kerlipan entah bintang atau satelit di langit kelam, menambah voltase mataku untuk tetap terjaga. Deru kendaraan bermotor sesekali tertangkap telinga. Hawa dingin menusuk sampai ke kerangka tubuh. Tapi, bukan aku yang menggigil. Melainkan hatiku.
          Aku masih terduduk di kursi balkon kamarku. Menikmati tiap belaian sang angin sambil satu-dua kali memejamkan mata. Kulirik jam yang berada dalam kamar. Sudah jam 11 malam?  Berarti kurang lebih 2 jam sudah aku disini. Termenung dalam rangkulan sepi. Terbunuh oleh memori. Tenggelam bersama kenangan.
          Air bening membanjiri pipiku yang mulai terasa memanas. Dadaku sesak terhimpit hal yang masih sulit aku terima hingga detik ini. Kembali, ‘kenapa’ lengkap dengan tanda tanya besar menggelintar dalam benak.
          Kenapa kamu berlalu, kenapa kamu pergi, kenapa kamu tinggalkan aku sendiri? Ketika aku jatuh begitu dalam di lautan kasih dan cintamu. Larut atas limpahan sayangmu. Terlena dengan tawaran kejutan romantis serta guyuran perhatianmu. Aku merasa buliran air dari kantung mata semakin tumpah ruah.
          Dasar bodoh, kamu begitu bodoh! Harusnya dulu kau tak perlu lakukan hal itu. Yang harusnya menjadi sebuah kejutan manis, malah menjadi guncangan bengis berbumbu amat pahit. Mengoyak hatiku tanpa ampun sejak pertama kabarnya sampai di daun telinga.
---
Nanti malam kamu ada di rumah?
“Sepertinya. Ada apa?”
Tunggu aku jam 5 ya.”
“Oke. Ada apa sih, tumben?”
Tunggu aja. Jangan lupa siapkan makanan yang banyak ya! Bye, Vinna.
Sambungan diputus dari seberang sana, menyisakan rasa penasaran untukku. Aku lihat jam yang melingkar di tangan kananku; jam 1 siang. Apa yang akan dilakukan Odi sore ini? Tumben dia menelpon dan bilang akan ke rumah. Tanpa sadar aku senyum-senyum sendiri. Hal kecil ini membuatku melayang sampai hilang akal.
Sebenarnya, kau dan Odi itu apa? Ah. Kalimat tanya itu terus berseliweran di otakku. Harus kuakui kebenarannya juga. Aku, dan Odi, itu apa?
Aku tak terlalu pandai urusan hati dan apapun berbau cinta. Bahkan milikku sendiri. Dan sekarang, rasa bingung menyerbu dan membabibuta menyerangku. Yang jelas, ada getaran menyenangkan saat bercengkrama dengannya. Ada rasa hangat saat kutatap kedua bola matanya. Hatiku menagih sosoknya saat jarak membentang dan memisahkan. Aku menyayanginya, mungkin?
Aku dan dia. Banyak waktu yang telah dihabiskan bersama. Memecah hening dengan renyahnya tawa. Mengusir sepi, membagi suka dan duka, sambil menebar senyum manis tak henti. Atau sekedar bersanding tanpa sepatah kata.
Dia; Segudang kejutan. Punya romantis. Penuh ide untuk mengisi hariku dengan gelak tawa. Tak pernah habis rasa perhatian. Dan sangat sempurna untuk seorang yang dikatakan menyayangiku.
Lengkung senyum itu selalu membuatku terhantui rindu. Tampaknya memang benar, aku menyayanginya. Lalu, apa Odi juga menyayangiku? Rasanya janggal bila tidak. Namun apa boleh buat, sampai detik ini tak pernah terucap dari bibirnya kalau dia punya rasa yang sama denganku. Entahlah, aku hanya takut dia diambil orang. Ya sudahlah! Toh dia juga bukan milikku? Bukan kekasihku? Tapi,... Ah! Terlalu banyak tapi.
Aku berdesah. Dengan semua kekisruhan pikiran serta kejelasan perasaan. Kemudian kutinggalkan dunia nyata, lalu berjalan perlahan ke dunia mimpi. Aku terlelap, didekap gelisah juga sekeping bahagia yang berbaur jadi satu.
---
“Hey, jadi nggak?”
Dengan cepat kutekan tombol send. Aku menunggu beberapa saat.
“Odi, lagi dimana? Katanya tadi sore mau ke rumah.”
Lagi, kutekan tombol send. Pesan kedua terkirim. Dan tak kunjung ada balasan.
Sabar telah kucurahkan maksimal. Kali ini, aku telepon sederet nomor itu. Kembali aku harus menunggu. Dan, tak diangkat! Akhirnya aku lempar handphone –dan diriku– ke tempat tidur. Kau menyebalkan Odi!
Pukul 8 malam, telah lewat 3 jam dari waktu yang dijanjikan Odi. Kemana sih dia? Entahlah, dibalik perasan kesalku, tercipta khawatir juga. Selama ini dia belum pernah membatalkan janji. Jika memang harus, Odi pasti minta izin resmi dariku.
Aku menenggelamkan diriku dalam selimut tebal. Memaki hatiku yang kalang kabut atas ketidakhadiran Odi sore ini. Juga menyesali tindakannya yang ingkar janji. Detik itu juga, semuanya tercurah jadi tangis. Tangis pertamaku karenanya.
---
“Odi! Kemana saja kamu?!”
Odi hanya tersenyum.
“Kamu tak tahu aku menunggumu?! Menyebalkan!”
Odi hanya tersenyum lagi. Kemudian dia berjalan mendekat ke arahku, “Maaf ya.”
“Maaf bila aku membuatmu menunggu. Maaf bila aku membuatmu kesal. Maafkan semua kesalahanku ya, Vinna. Aku cuma mau bilang,...”
 Odi memelukku erat, “,... aku mencintaimu. Aku sangat mencintaimu.”
“Jaga dirimu baik-baik, Vinna.”
“Odi? Odi...?! Odi kamu mau kemana?”
Suara langkah Odi terdengar jelas. Dia berjalan jauh, jauh, dan semakin jauh dariku. Lalu semuanya gelap. Aku kebingungan mencari setitik cahaya. Oksigen nampaknya menipis, paru-paruku terasa sakit. Tidak ada kehangatan, dinginnya merobek permukaan kulit. Dan Odi tak jua menolongku.
Nafasku terengah. Aku bangkit dan mengatur ritmenya. Ternyata tadi itu mimpi. Syukurlah. Mimpi itu meninggalkan rasa sesak dalam dadaku.
Terdengar ketukan di pintu kamarku, “Vinna, bangun. Sarapan, sayang.”
Untunglah ini hari minggu, aku bisa sedikit santai. Setelah Mama berucap itu, aku segera beranjak ke kamar mandi. Sekalian membasuh hati dan pikiranku supaya tenang.
“Kamu mimpi apa sih?” Tanya Mama begitu aku duduk di kursi meja makan.
“Kenapa, Ma?”
“Pokoknya kamu sampe teriak-teriak ‘mau kemana?’ terus.” Mama tertawa.
Aku hanya mencibir Mama yang terus meledekku. Kuambil sepiring nasi goreng yang telah Mama siapkan, dan melahapnya tanpa sisa.
Handphone yang kutaruh di meja makan berdering. Nomor siapa ini? Tak dikenal. Langsung aku tekan tombol answer.
“Hallo?”
Benar ini Vinna?
Perasaanku saja, atau memang orang yang berada disana terdengar parau?
“Iya. Maaf, ini siapa?”
Saya Ibunya Odi, nak Vinna.
“Oh. Iya, tante. Ada apa?”
Odi,...
Kali ini terdengar jelas dari suaranya, orang yang menelponku –Ibu Odi– menangis! Beliau tengah mengatur dinamika napasnya mungkin. Tapi, apa alasannya menangis?
Aku ikut terdiam. Hingga beberapa detik terlewat, baru mulai ia melanjutkan kalimatnya.
“..., Odi sudah pergi untuk selamanya.”
“Maksudnya?” Aku belum bisa mencerna perkataannya barusan.
Odi sudah nggak ada, Vinna. Odi meninggal dunia.
Handphone terlepas dari genggamanku dan terjun bebas ke lantai. Tulangku lenyap dari tubuh. Aku terdorong oleh pukulan telak pada seluruh ragaku sampai ke tembok. Dan, tergelongsor lemah tak berdaya.
Ini main-main kan? Atau aku salah dengar? Tidak mungkin! Ini tidak mungkin!
Tulang rusukku mungkin menciut, dadaku terasa sangat sesak. Meteor besar mendarat tepat di hatiku. Tangisku pecah. Menggema bersama berton-ton rasa tak percaya. Aku abaikan berondongan tanya dari Mama. Aku tak tahu apa yang kutatap, semua mengabur.
Rasanya baru kemarin kamu akan bertatap muka denganku. Mengapa begitu mengagetkan? Kamu telah tiada, benarkah itu? Inikah kejutan yang kemarin kamu siapkan? Semua terus berotasi di otakku seraya banjir air dari mataku semakin deras.
Inikah arti mimpinya? Kamu pergi untuk selamanya?
---
Terimakasih untuk selama ini, untuk segalanya.
Terimakasih untuk canda tawamu.
Terimakasih untuk senyum manismu.
Kamu membuat hidupku berbeda,
Lebih mempunyai warna,
Lebih memiliki arti,
Dan lebih banyak kebahagiaan.
Jaga dengan baik boneka pemberianku ini ya.
Anggap saja ini aku,
Jangan sampai dia hilang,
Jangan sampai dia rusak,
Anggap saja ini hati dan perasaanku.
Aku sangat mencintaimu, Vinna.
Maaf membuatmu menunggu aku mengatakan itu.
Karena aku, juga menunggu saat rasa yang kamu miliki sebesar milikku.

-Odi-
Nb: hari ini resmi tanggal jadian kita ya :p

Aliran air bening dari bendungan mata tak bisa lagi kutahan. Bahkan sampai sesegukan. Aku memeluk rapat tanpa celah panda bermata hitam ini. Kembali, sepucuk surat terakhirmu terhujani perasaanku. Bergabung dengan gumpalan jutaan rindu dan cinta yang tak tersampaikan.
Miris aku membayangkannya. Harusnya kamu masih disini. Harusnya hal tragis itu tak menimpamu, karena aku.
Darah yang berceceran di jalan kala itu, aku tak membutuhkannya. Aku tak mengharapkannya! Satu buket mawar dan sekotak coklat yang habis tergilas. Ingin kuteriakkan, aku tak butuh semua itu sama sekali kalau tahu berujung begini. Cukup kamu disini.

Waktu terasa semakin berlalu, tinggalkan cerita tentang kita.

Secara misterius DVD player menyala, dan mengalunkan sebuah lagu yang tak asing di indra pendengarku; Peterpan – Semua tentang kita.
Aku sering dengar, tapi tak pernah sedalam ini maknanya. Lalu, mengapa lagunya terputar sendiri?

Akan tiada lagi kini tawamu, tuk hapuskan semua sepi di hati.

Melodinya mengalun indah, liriknya masuk langsung ke aliran darah. Aku terpejam, memutar balik hari bahagiaku bersama Odi. Entahlah, aku mungkin gila. Aku merasa Odi ada disini. Tapi dalam alam yang berbeda.

Ada cerita tentang aku dan dia, dan kita bersama saat dulu kala
Ada cerita tentang masa yang indah, saat kita berduka saat kita tertawa
Teringat di saat kita tertawa bersama,
Ceritakan semua tentang kita...

Inspired by: Peterpan - Semua Tentang Kita

0 komentar:

Posting Komentar