Pages

Senin, 02 Oktober 2017

Aku dan Sastra Perancis

Teruntuk siapa-siapa saja yang ingin tahu.

Sastra. Aku tentu tidak tahu persepsi dan pengertian apa yang melayang-layang di kepala semua orang ketika mendengar (atau membaca?) kata tersebut. Meskipun, menurutku sih, aku sudah tahu secara umum gambaran jawaban pertanyaan itu bagi sebagian besar orang.

Agar tidak terlalu asing mari kukenalkan singkat latar belakangku. Aku mahasiswa jurusan Sastra Perancis; di mana? Di salah satu universitas terkemuka di Indonesia. Setidaknya tiga setengah tahun aku sudah menempuh dan menimba ilmu hingga akhirnya mendapat gelar sarjanaku. Ah, rindu juga ternyata.

Apa sih alasanmu memilih sastra? Dan, Sastra Perancis?

Bukan satu-dua lagi yang bertanya demikian, ah, setelah kurenungkan lagi ternyata hampir setiap orang yang kutemui memiliki pertanyaan yang sama. Sastra. Ya, kutahu. Pasti dikaitkan tidak jauh-jauh dari buku, membaca, penulis,... atau “mau jadi apa, memang kerjanya apa nanti?”. Dari tersinggung-sakit-hati sampai tidak terasa apa-apa lagi–karena sesering itu.

Oh, iya. Mari kembali ke pertanyaan sebelumnya. Alasanku memilih jurusan sastra? Alasan dangkal ketika sekolah: aku tidak suka matematika dan ingin mengakhiri hubunganku dengan rumus-rumus segitiga. Tidak, bukan itu, ya, benar sih. Alasanku, karena ketika naif semasa sekolah dulu, aku selalu mencintai sastra, seperti keterikatan kata dalam rima puisi, peran dalam drama, serta cerita-cerita mengais emosi dalam novel. Ketika itu, aku ingin jadi salah satunya. Ya, bisa dilihat dari cerita ataupun tulisanku di blog ini. Sejujurnya, sejak sekolah dulu aku berencana menerbitkan novelku sendiri. Namun demikian, apa daya, aku kehilangan esensi penulisan dalam benih novel tersebut. Kukira, waktu berperan dalam mengubahku sehingga aku merasa bukan aku. Imbasnya, sampai detik ini pun novel itu tak pernah menemui akhirnya.

Kemudian, kenapa Perancis? Sebelumnya, niatku adalah memilih Sastra Inggris. Namun, sekeras apapun aku berusaha melewati percobaan ujian ketika itu, ternyata tak sampai pula. Ah, tidak. Justru, ketika itu aku menemukan keinginanku sebenarnya. Berawal dari nama Napoleon Bonaparte (kalau kalian tidak tahu bisa kupastika ketika pelajaran Sejarah pasti kalian tidur!) yang kupelajari latar belakangnya saat hendak ujian. Gambaran dan budaya tentang Perancis pada masa itu menarik perhatianku. Mungkin, aku terlalu banyak menyimak Disney sewaktu kecil, sehingga istana-istana dalam khayalanku terbuat dari kaca atau bahkan kue dan permen. Namun, dari sinilah, aku suka kehidupan istana dan kerajaan. Ah, gak nyambung! Intinya, aku suka Eropa; budayanya, bangunan-bangunannya, bahasanya... Salah satu cita-citaku adalah aku ingin dapat menguasai bahasa sebanyak-banyaknya. Perancis, tentu salah satunya. Ditambah lagi, Perancis masuk ke dalam deretan bahasa yang paling sulit dipelajari. Bukankah itu terdengar seperti hal baru yang menantang dan dapat kau banggakan? Ya, setidaknya menurutku sih. Oh iya, ketika aku berniat menerbitkan novelku, aku memilih judul dalam bahasa Perancis. Entahlah, mungkin memang sudah takdir.

Kira-kira seperti itulah alasan yang berperan. Kemudian, seperti yang tertulis di paling awal; untuk siapapun yang ingin tahu (ya, kalau tak ingin tahu ya sudah ndak apa-apa dilewat saja). Mungkin, bila ada yang membaca, seperti adik-adik manis yang baru lulus, adik-adik yang penasaran tentang sastra khususnya Perancis, atau yang hanya sekedar membunuh waktu dengan berselancar di internet, tulisan ini bisa membantu.

Pertama-tama yang ingin aku sampaikan, jika kalian memilih dan telah diterima di jurusan Sastra Perancis, berbanggalah. Kalian patut membanggakan pencapaian kalian, bukan? Tidak ada salahnya berbangga untuk itu. Misalnya, jangan terlalu menanggapi tanggapan orang tentang jurusan kalian. Kalian lebih dari apa yang mereka pikirkan! Bahkan, di luar negeri pun orang-orang sastra justru dianggap tinggi. Tetapi, jangan berlarut-larut berbangga sampai lupa dan tidak belajar dengan sungguh-sungguh ya! Seperti yang kukatakan sebelumnya, bahasa Perancis merupakan salah satu bahasa yang sulit untuk dipelajari, aku tidak main-main, kalian harus sungguh-sungguh, punya komitmen kuat, dan rajin untuk tetap bertahan. Meskipun harus serius, bukan berarti kalian tidak bisa bersenang-senang ya, tentu bisa! Kalau tidak, kasihan otak juga, kan.

Kuliah sastra bukan hanya tentang membaca dan menulis. Sebagian besarnya, memang benar. Namun, selain itu dipelajari juga sejarah, sosial dan budaya, dan lain-lain. Intinya, menyenangkan! Mungkin karena aku sangat mencintai hal-hal tersebut. Kemudian, tentu mempelajari mengenai bahasa, seperti tata bahasanya sampai cara memahami dan menganalisis sebuah teks. Kemudian, apa yang telah dipelajari diterapkan langsung dalam percakapan. Percayalah, itu semua menyenangkan baik proses hingga kalian benar-benar memahami! Semua butuh proses dan cintailah proses tersebut.

Kukira aku akan menutup tulisan ini sampai di sini. Yang bisa kukatakan, jangan biarkan pandangan orang lain melemahkan kalian. Ilmu apapun aku selalu yakin takkan ada yang sia-sia dan pasti bermanfaat. Jadi, selalu lakukan terbaik untuk hal apapun!

Salam,


*p.s. Aku terbuka dan senang hati bila ada pertanyaan yang berkenan.

Senin, 14 September 2015

Hanya

Salah siapa? Salahmu, atau salahku?

--

Aku mencari-cari lagi apa yang telah aku simpan beberapa tahun yang lalu. Aku masih ingat benar, di mana sisa-sisa guratan itu masih di sana, karena, aku tak pernah benar-benar membuangnya. Senja di minggu sore, bungkus-bungkus coklat kosong, setengah gelas susu coklat dingin, serta lukisan di selembar kertas dengan sebuah hati berwarna merah muda dan setangkai mawar yang baru saja kubakar, ialah saksinya. Benar, kan, aku masih ingat.

Tapi, pun bagian terpentingnya lah yang tak aku ingat.

Rasanya.

Lukanya.

Sakitnya...

Sungguh, aku tak ingat. Bahkan aku masih ingat hangat genggamannya agar aku menetap waktu itu, suara serak penuh rasa bersalahnya, caranya melindungiku agar tak kedinginan, ah, tetap, aku tak ingat perih itu. Semua kembali terputar, tapi, aku baik-baik saja.

Jika, dan hanya jika, goresan baru ini memang terlalu dalam...

Bukan sekali-dua, mungkin, setiap kali. Kukira sering terperosok membuatku tahan luka, ternyata, aku (dan hatiku) masih sama. Aku masih sama, masih si pembunuh sepi untuk mereka yang jenuh, masih penyembuh luka-luka mereka, masih aku yang tak peduli lagi bahagiaku sendiri agar simpul manis di bibir mereka kembali rekah. Aku masih seseorang yang jungkir balik memikirkan perasaan mereka agar kembali utuh, namun lupa menjaga milikku sendiri hingga semakin rapuh.

Jangan tanya padaku mengapa pada akhirnya kita mampu saling mengucap salam. Bertanya, ah tidak, aku ingat, kita mencoba menebak apa sebutan kita masing-masing. Percayalah, tak pernah ada kebetulan. Setidaknya, itu yang kupercayai karena selalu akan ada alasan yang bertemu nanti di titik takdir mengapa semua terjadi, seperti satu-dua gambar hidup yang kita saksikan bersama yang adegan satu dan lain punya alasan dan bersinergi sampai konklusi di akhir cerita. Hanya aku kah yang mengingatnya?

Mengapa aku begitu baik padamu, begitu, tanyamu waktu itu. Masih mau tahu jawabannya?
Sederhana. Aku memang begitu. Mungkin itu memang kecerobohanku yang paling parah, atau bisa jadi satu-satunya kelebihan yang kupunya; aku terlalu baik. Mendahulukan bahagia yang lain dibanding lukaku sendiri, aku selalu jadi orang yang seperti itu.

Jawaban lain,

...aku ingin.

Iya, aku ingin.

Karena aku ingin tetap begitu. Aku ingin menjagamu bukan hanya tentang jauhkan ragamu dari lelah dan sakit, melainkan juga rasa tenang dan aman yang kau dapati tiap aku di dekatmu hingga melekat di relungmu.

Karena aku ingin tetap begitu. Aku ingin lebih lama bersandar, bukan hanya di pundakmu, melainkan juga menyandarkan hatiku yang (kurasa) menemukan kembali tempat ternyamannya dalam sosokmu.

Karena aku ingin tetap begitu. Aku ingin menerus menatap wajahmu yang selalu kelelahan, hingga tawa renyahmu menyergap pendengaranku, terutama bila penyebabnya adalah aku. Aku ingin menjadi alasan senyum-senyum di bibirmu tampak.

Karena aku ingin tetap begitu. Kau tahu, menyayangimu seperti aku yang memang kaubutuh.
Mungkin hal yang kaucari tak kau dapati dari aku. Sesuatu yang kauingin tak pernah ada dari hadirku.

Aku sangat pahami. Seseorang yang tak terlalu mandiri sepertiku, mana bisa bersamamu. Seseorang yang memaksamu untuk juga mengerti tak hanya dirimu sendiri tapi juga aku, mana bisa menemanimu. Seseorang yang bahkan tak mampu menjaga hatinya sendiri, mana bisa menjaga hatimu. Menawan tidak, pandai pun tak terlalu. Tentu saja aku bukan pengampu dirimu untuk jadi lebih baik lagi.

Tidak, bukan itu. Kautahu, ketakutanku yang mungkin memang fakta dari semua ini; kamu tak membutuhkanku lagi karena kamu tak lagi merasa sepi.

Aku tak mau menjelaskan bagaimana perihnya. Bila kamu pernah jatuh dan terluka, lalu, asam jeruk nipis menetes di sana. Ah, tidak, rasanya lebih dari itu.

Kukira aku memang belum, namun, aku mencoba, bukan? Menemanimu. Selalu hadir bila kau ingin. Pun itu semua memang tak pernah berarti untukmu. Bisakah sedikit saja kaujelaskan perasaanmu padaku yang tak mampu memaknai atau bahkan salah memaknai semua ini, Sayang. Aku lelah menerka.

Takdir kurasa memintaku sekali lagi melalui kembali hari-hari perih, bila kau mau tahu, ini yang paling perih sepanjang aku masih bernapas di dunia ini. Tertawalah, belebihan, begitu katamu. Mari, maukah kamu menjadi aku? Tidak, aku pun tak mau apa yang kurasakan kautahui juga rasanya. Sesederhana itu, caraku tetap menjagamu, selain di dalam tiap doa yang kurapal, juga di tiap syukur yang kuucap karena mengenalmu–lalu aku kembali menerka apakah kau juga begitu–, menyayangimu di garis demi garis jarak yang mulai terbentuk.

Bila tak mungkin lagi kamu ada di hidup sosok yang akan terus memperbaiki dirinya ini, ada satu yang bolehkah kau izinkan untuk kulakukan?

Aku ingin memelukmu sangat erat. Untuk yang terakhir. Biar kupastikan lukamu telah kembali utuh.

--

Lalu, salah siapa? Dan benarkah ada yang salah?

Tentu saja, sudah jelas, bukan.

Salahku.

Namun, kumohon, jangan pernah salahkan takdir, atau aku, dan pertemuanmu denganku.


Semoga bahagia dan tetap seperti itu, Sayang.

Selasa, 14 April 2015

Mungkin kelu. Jika mengajakku bicara soal rindu, aku, bibirku hanya akan menyimpul. Tak ada kosakata yang tepat setepat-tepatnya untuk kuucapkan; selain, rindu, hanya itu. Aku, rindu.
Bila bersandar membuat pergi lelah, bila tidur mengatasi kantuk, apa yang bisa kau lakukan untuk mengusirnya, mengusir rindu, bila cara itu hanya menjadikan rindu semakin semai.

Rindu, Sayang, mengingatnya mungkin pilu, namun itu yang menempa hadirmu dalam relung sunyiku. Menetap di sana.

Kamis, 16 Oktober 2014

Aku mencintaimu, begitu saja
Memenuhi inginnya rasa, abai akan logika
Aku, mungkin, bukan lagi aku
Aku menjadi pemendam luar biasa

Aku mencintaimu, entah jenis yang mana
Jadikan aku buku harianmu,
bila lembaranmu memang tak tersisa
Jadikan aku papan sandaran,
bila dinding-dinding ruangmu merapuh
Jadikan aku pengampu jalanmu,
bila kaki-kaki itu terlalu lelah melangkah
Biarkan aku menggenggammu,
dayaku tak sanggup andai melihatmu tersandung
Dan, biarkan uluran tanganku menolongmu ketika kau benar jatuh
Aku, mungkin, tak ingat lagi
Ada raga dan ego milikku yang mesti kupenuhi

Aku mencintaimu, menolak untuk berhenti
Ada candu, yang aku harus penuhi tiap pagi
Ketika aku hanya butuh nurani,
menemukanmu perkara sepotong roti
Tetaplah berdiri, di sana, disinari mentari
Agar aku dapat lebih lama mengamati
Meski hanya dari balik pilar
Meski sambil berpura-pura berlayar
Hingga mataku tahu senyummu masih melengkung,
aku baru mampu bernapas lega
Seperti itu, semudah itu
Rasa kafein dari secangkir kopi yang kunikmati tiap pagi

Aku mencintaimu, yang kutahu, esoknya tak lagi sama seperti hari kemarin
Semakin dalam dan entah akan sedalam apa
Perihnya nadi juga menjadi-jadi
Periode berganti, kurasa ini hanya aku,
yang merasa semua punya makna,
yang mengira maju meski selangkah,
yang menemui lelahnya
Terima kasih,
atas lima puluh persen pengabaianmu,
empat puluh persen kalimat busukmu,
dan sepuluh persennya lagi
semua lakumu yang selamanya hangatkan hatiku saat kuingat
Walau aku tak pernah punya arti untukmu
Ijinkan aku membuatmu terus tertawa


Aku, mencintaimu (titik)

Senin, 02 Juni 2014

Sekali Lagi untuk Terakhir Kali

“Hei,”

“Oh? Hai,”

Kemudian aku pergi tanpa meninggalkan sepatah kata lagi.

Ia masih sama. Wajahnya, suaranya, senyumnya, bahkan siratan lelahnya masih terukir seperti dulu, hanya saja rambutnya sedikit dipangkas dan caranya berpakaian terlihat lebih rapi. Sulit dipercaya, tapi aku masih saja ingat tentangnya hingga hal-hal kecil. Aneh. Tentu saja. Bukankah aku telah memutuskan untuk menyimpan kisah-kisah lama dan menata lembar baru? Ya, memang, hanya saja melupakan semua itu tak semudah berkata baik-baik saja walau hatimu di dalam pecah berantakan.

Aku cuma melenggang dari sana. Tak tahu kaumelakukan apa. Tak peduli keadaanmu bagaimana. Dan sama sekali tak kumengerti, itu masih melintaskan sedikit perih. Bumi seakan menambah gravitasinya yang membuat tiap langkahku menjadi begitu berat. Angin terus-terusan menampar wajahku yang mau tak mau memerintahku untuk menoleh ke belakang; menolehmu. Namun, aku hanya berjalan lebih cepat dan memasang simpul di bibirku sebisanya.

Seseorang dapat pergi dari hidupmu, secepat kilat, seperti angin yang berhembus, semudah hujan yang turun dari langit, tapi tidak dengan kenangannya. Ia tetap tinggal bersamamu. Ia menemanimu di mana pun, memelukmu tanpa kautahu, dan membawa kembali luka di dalamnya. Ia ada di tempat kau pergi, ada di tiap melodi yang kaudengar, ada di drama yang kausaksikan, bahkan ada di langit-langit kamarmu dan terputar sendiri. Menyedihkan, bukan? Aku tahu kamu menerka cara melupakannya. Dan, aku tahu jawabannya: kamu takkan pernah bisa melupakannya dan yang perlu kaulakukan hanyalah membuat kenangan baru.

Iya, semua itu kembali berputar-putar di kepalaku. Kurasa, ini pernah terjadi sebelumnya. Namun, kala itu bukan aku yang berjalan menjauh; melainkan kamu.

Aku menoleh ke belakang, sekali, dan kemudian aku janji akan pergi. Aku menghela napas. Apa yang kuharapkan, kamu memerhatikan langkahku? Aku tertawa, miris, menertawakan nasib sendiri. Ketika aku justru ingin melihat senyum terakhirnya, ah, tentu, pada siapa lagi selain pada wanitanya yang baru ia memberikannya.

Dan (sekali lagi) aku pergi, berjanji tak berhenti dan tak menoleh.

---
“Hei,”

“Oh? Hai,”

Apa aku baru mengalami fatamorgana? Siang ini memang amat panas dan terik. Aku baru saja menghabiskan jus jeruk keduaku ketika mataku menangkap sosoknya.

Ia berlalu begitu saja meninggalkan senyum yang bahkan terlihat lebih manis dibanding dulu. Wajahnya tak lagi dibingkai kesedihan, ia… sangat cantik. Rambutnya dibiarkan panjang terurai, ya, masih berantakan seperti dulu. Ah, seperti aku peduli saja tentang hal seperti itu, karena bahkan aku tetap mengenang renyah tawanya, sampai detik ini. Bisakah aku menyangkal, kalau aku tak merindunya?

Andai ia mampu menerawang jauh ke dalam pikiranku; aku, yang terlalu bodoh dan tak mampu mengatakan isi hatiku sendiri. Aku yang terlalu bodoh melewatkanmu, membiarkanmu berjejak pergi, tanpa tahu jawaban semua tanyamu saat itu. Andai kamu tak naif, jika bukan akulah yang membutuhkan maaf; tapi kamu. Ah, maaf, aku membuatmu seperti peminta-minta. Aku tahu kamu terus mengucap maaf kala itu, hanya untuk aku tetap di sisimu, menjagamu, benar kan?

Sungguh, aku tak bisa, meski pun aku sangat mau. Kamu pun tak mengetahui di tempat aku berada aku mati-matian menelan rasaku. Aku lebih banyak gagal, namun, mengingat semua demi kebaikanmu, aku tak pernah menyerah, kau tahu? Mungkin klasik, kauharusnya melihat dirimu, kaupantas untuk seseorang yang lebih baik, jauh lebih baik daripada aku. Apalah aku, seorang yang hanya mampu menghunus luka tajam tepat di ulumu. Ah, bahkan aku sempat membuatmu menyembunyikan simpul manis di bibirmu.

Salahkah bila aku sadar akan diriku sendiri? Kurasa, tidak. Dan aku tahu kamu mungkin nanti akan mengerti.

Mendengar suaramu lagi. Melihat senyum itu lagi. Aku dapat bernapas lega, kukira kamu mungkin telah menemui seseorang yang mampu membuatmu merasa hidup bukanlah hal yang sia-sia. Maaf, bila aku tak menghentikanmu untuk pergi, aku (kembali) melewatkanmu. Dan, kautahu, apa yang kuharapkan, kamu berbalik atau menoleh untuk menatapku? Aku cuma tersenyum sinis.

Lagipula, aku tak mungkin melakukan kesalahan yang sama pada orang lain. Aku punya lembaran baru untuk hidupku sekarang, bukan lagi kertas-kertas usang yang hanya bisa kuratapi.


Kemudian, aku menatapnya dan mengukir senyum. Tanpa ia tahu, juga tanpa kautahu, aku diam-diam kembali mengenangmu.

Senin, 28 April 2014

Yang Nanti Dijawab Takdir

Kurasa ini tak seperti yang kemarin telah kubayangkan. Kebetulan malam ini bulan membulat sempurna. Angin terasa lebih mampu membekukan serat-serat nadi di sini. Tapi, ah, lihatlah ke langit, bintang bertabur lebih banyak dan terang dari tempat ini. Aku juga dapat melihat lampu-lampu kecil di kejauhan, sepertinya rumah-rumah warga dan sedikit lagi ke utara ialah pusat kota mereka.

Aku memandangmu dari tempatku di paling sudut, bahkan dari jarak itu kau tak mampu sembunyikan lelahmu, setidaknya bagiku.

Di sini terlalu sepi. Meski di luar jangkrik dan binatang malam lain memadukan suara mereka, serta derasnya air dari sungai tak jauh di belakang pun mengikuti tempo, aku masih merasa di sini terlalu sepi. Bukan di sini, tapi tepat di sini; hatiku. Tak terhitung berapa kali hatiku teriak-teriak memanggilmu yang walau aku tahu takkan terjawab, masih begitu. Selalu begitu.

Aku kehabisan kata-kata. Aku bergidik, jantungku meletup membuat dadaku sakit. Aku hampir tak mampu menahan air mataku sendiri. Andai ketika itu aku mampu lebih dari bertanya aku ingin sekali menyeka sisa-sisa air perih di matamu yang memerah, aku ingin menyentuh pipimu yang dingin dan mengusapnya agar hangat. Berbisik lembut. Semua akan baik-baik saja. Namun aku diam memikirkan lukamu dan menikmati kesakitanku sendiri; aku hanya terpaku karena bukan aku yang melakukan semua itu.

Pernahkah aku begitu berani? Kurasa tidak. Kali ini aku boleh memaki diriku sendiri. Kali ini aku boleh menyalahkan waktu yang pernah kusia-siakan. Aku menjadi sama sekali tak berarti. Hadirku jadi samar. Entah ada, tak ada, atau setidaknya mungkin pernah ada. Ketika di dekatmu, aku tak rasakan bahkan setitik sepi, raguku melenggang pergi, dan aku ingin terus seperti itu. Ah, semua tak pernah sama, kan? Lagi-lagi itu hanya akan jadi kenangan, bukan?


Aku bukannya menyerah, hanya saja, mungkin aku memang perlu sedikit pasrah. Semua pasti akan terjawab nanti, semua tanyaku, raguku, hingga aku tak perlu lagi menerka-nerka. Apa yang tak mungkin, bila takdir ingin berjalan begitu.



Source: http://www.suntimes.com/photos/galleries/index.html?story=17264245

Jumat, 11 April 2014

Kapan Kamu Tiba

Tercatat mulai kemarin, kamu takkan kembali; tanpa sepatah kata, untuk tambahan.

Bukankah aneh, rasanya aku tak tahu kapan kamu tiba. Biasa-biasa saja, bahkan angin berhembus seadanya. Ulu tak berubah; masih sama rapuh. Aku masih belum menyadari ada seseorang yang mengetuk pintuku, bagaimana aku akan membukanya?

Dan aku, tetap tak tahu kapan kamu tiba.

Baru saja aku akan memulai menjelajah alam mimpi, ketika aku hanya bisa membaringkan peluh dan segelintir luka yang masih tersisa, tersirat kembali sosokmu yang bahkan bayanganmu sulit kubayangkan, dan, sebenarnya kapan kamu tiba. Ini bukan tentang hati, apalagi rasa, ya, mungkin sedikit, tapi aku hanya perlu jawaban atas ketidakjelasan senyumku yang mengembang sendiri beberapa waktu lalu. Tidak, aku tidak gila. Aku masih menyukai senja, itu indikasinya.

Tanpa isyarat, kamu mendarat begitu saja. Entahlah, andai pun aku mengaku semua menyenangkan dan mampu memecah sunyiku, tak ada yang dapat kaulakukan. Dan andai pun aku gunakan segala kata paling mudah takkan mampu kaupahami apa yang sudah kutinggalkan sejak lama. Ah, sejak ketibaanmu mungkin pertama kali yang tersirat dalam otakmu aku cuma gadis yang terlalu lama sendiri. Mungkin kaubenar, kadang aku merasa sendirian, hanya saja aku jamin kamu tak mampu bayangkan luka yang kutanggung sendirian itu sampai nadi dan hatiku kini melumpuh.

Kukira kamu akan tinggal lebih lama. Kukira kamu akan memahami semuanya. Akhirnya aku tahu kausama, hanya menetap dan singgah sementara lalu pergi. Menyisakan pertanyaan.


Kapan sebenarnya kamu tiba?

Source: http://djwap.wapsite.me/files/Alone_Grl.jpg

Jumat, 04 April 2014

Bukan Sekarang, Mungkin Nanti

Mungkin aku yang berlebihan.

Entah, relungku mendadak sakit, napasku jadi tak teratur, dan aku rasanya ingin menutup telingaku rapat-rapat. Padahal, hanya kalimat. Mengapa bisa melumpuhkan begitu hebat?

Sudah lama aku tak bersua. Dan kali ini, aku ingin melantangkan luka-luka di balik simpul tegas di bibirku sampai berceceran. Hanya, aku tak pernah mampu. Tangis terasa begitu perih. Memendam pun tak mengubah pikiran jadi jernih. Ah, aku bisa apa, selain mengadu pada Sang Pencipta, merapal namamu dalam tiap doa, memintamu sedikit saja lirik aku di sudut paling kesepian di gulatan harimu yang lelah.

Katakan saja aku (pernah) mengganggu harimu. Katakan saja kau tak sudi bahkan untuk menyentuhku. Katakan, begitu. Jika, dan hanya jika, bagian terkecil dari memorimu memang mengalir tentangku, aku, kamu, bisa apa? Pernah, waktu dimandikan langit senja, aku merasa benar-benar jatuh dalam hatimu. Dalam jarak sedekat itu, berjalan bersisian, aku hanya mampu melihat jemarimu yang berjarak. Ah, kau tak tahu rasanya menahan tanganku yang ingin sekali menggenggamnya, merasakan telapakmu yang terlihat dingin. Tolong, katakan, pikiranmu tak sama sepertiku.

Sia-siakah ini? Segini pilunya hanya dengan mendengar. Bukan itu, karena aku tahu selamanya mungkin aku cuma bisa diam, dan meringis sendiri yang kau rangkul itu karibku pada akhirnya.

Apa bayanganku sungguh lenyap dalam malammu? Suaraku tak terdengar lagi di siangmu? Atau aku, bukan lagi menjadi musim dalam duniamu. Ah, memang aku sempat begitu. Entah, hanya saja gravitasimu tak lagi menuruti teori-teori duniaku, aku benci ketika logika menguap ketika aku di puncak membutuhkannya. Beritahu saja, bukan aku, tapi ulu dan nadi yang mengelilingi tubuhmu itu; pernah ada aku, kan?

Hanya saja, agak sulit kautemukanku untuk saat ini bahkan dari jarak sedekat itu karena aku bisa jadi seseorang yang akau kautemui enam tahun lagi, mungkin. Apa ada yang tak mungkin? Sekalipun, kita, misalnya.


Source: http://krfcss.com/images/marriage.jpg

Rabu, 19 Februari 2014

Ulasan (Sok Tahu) Maroon5 - Makes Me Wonder

Hello.

Di kesempatan ini, gue akan melakukan ulasan singkat pada salah satu lagu band sukses yang menurut gue lo mungkin selama ini bukan tinggal di Bumi kalau nggak kenal band ini. Maroon5! Tahu pasti, kan? Dan lagu beruntung yang akan gue jabarkan maknanya yaitu Makes Me Wonder. Meskipun mungkin pecinta lagu ini sama sekali merasa ini bukan keberuntungan.

Makes Me Wonder. Yup, bisa dilihat bahkan dari arti judul lagu ini, ‘membuatku bertanya-tanya’, kalau kalian menilik lebih dalam, apa sih yang membuat dia menerka, apa yang dia pertanyakan? Well, bisa dibilang lagu ini sama sekali nggak mengusung tema judulnya itu sendiri tentang ‘membuatku bertanya-tanya’. Iya, dia nggak bertanya-tanya! Baik, gue tahu bukan hanya gue di sini yang pertama mendengar judul lagu ini akan berekspektasi tentang si penyanyi yang menerka-nerka sesuatu. Gue paham rasanya jadi kalian, kok. Kalian kecewa, sedih, merasa tertipu. Iya, gue paham.

Setelah menyelami lirik lagu ini lebih dalam, gue menemukan sesuatu yang menarik yang memang selalu disajikan oleh Maroon5. Lagu-lagu yang dibawakan oleh Maroon5 dari aransemennya, selalu jauh dari kata mendayu-dayu, irama yang mellow, atau kombinasi vokal dan musik yang menyentuh. No offense, lagu-lagu milik Adele, misalnya. Tapi! Ah, gue selalu menanti-nanti kata tapi. Karena di balik ‘tapi’, selalu ada kejujuran dan kebenaran yang sebenar-benarnya. Ya, balik lagi, tapi, kecerdasan pencipta lagu-lagu yang dibawakan Maroon5, terlebih bagian pembuatan lirik, hebat dan harus gue dan kalian akui. Lagu-lagu seperti ini yang jadi favorit gue, semi-sad song, dengan lirik yang nggak to the point. Jadi, kita harus paham benar maksud tiap kata dalam lagu itu baru menemukan letak kemirisan lagu itu. In case, bukan berarti kalau lagu berlirik selain bahasa Indonesia, Inggris misalnya, kita harus tahu satu per satu arti katanya, tapi kita paham apa yang coba disampaikan lagu ini. Gitu.

Well, sebenarnya menurut gue makna Makes Me Wonder ini cukup sederhana. Kalian tahu? Inti dari lagu ini adalah tentang kepercayaan.

Kok bisa?

Please jangan tanya gue karena gue hanya mengulas dan bukan pencipta lagu ini.

Baiklah. Menurut gue, di lagu ini, bang Adam Levine mencoba menyampaikan kekecewaannya pada orang yang dia cinta. Bisa kalian baca liriknya, bang Levine dengan senang hati membuat orang yang dia cinta menangis, bahkan dia merasa lebih baik melakukan itu. Entahlah, gue nggak tahu bang Levine masih cinta atau nggak sama dia, karena dia belum cerita sama gue, yang pasti mungkin dulu doi bang Levine ini sudah menyakiti dia dan merusak kepercayaan yang dia berikan. Kalian, yang pernah merasakan, tahu pasti bagaimana rapuh dan sakitnya hati kalian ketika dikhianati, kan? Berarti gue anggap kalian tahu rasanya jadi bang Levine.

Kepercayaan. Nggak gampang memberikan kepercayaan lagi ke orang-orang yang merasa nggak butuh dan merusaknya tanpa pikir panjang. Ya, meski ada beberapa orang yang dengan cuma-cuma memberikan kepercayaan mereka lagi, padahal, jelas sekali apa yang telah terjadi pada ‘kepercayaan’ miliknya sebelumnya: dilupakan, dibuang, diluluhlantahkan. Ya, bukan gue melarang memberikan kepercayaan kalian lagi, menurut gue seharusnya kalian semakin paham apa yang harus kalian lakukan. Gue percaya kalian cukup cerdas membuat keputusan setelah merasakan semua itu, kan.

Well, begitulah, akhirnya bang Levine dalam lagu ini meminta apa yang sungguh-sungguh bisa dia percaya, kata-kata, kenyataan, juga perasaan. Akhirnya, memutuskan perpisahan lah yang terbaik. Dan sampai sekarang, gue belum tahu apakah bang Levine mampu move on dari orang ini atau nggak. Mari doakan yang terbaik.

Jadi, gimana? Mengerti ulasan sok tahu gue tentang Makes Me Wonder – Maroon5 ini? Kalian nggak perlu serius-serius baca ini, nggak bakal keluar juga di ujian akhir kalian.

Kepercayaan mahal, guys. Itu yang harus kalian pahami serius-serius.




Salam.






Silakan cek video klipnya:



Rabu, 12 Februari 2014

Satu-satunya yang Terlupakan

Aku tak mampu bedakan mana yang awal dan akhir. Aku memutuskan yang paling menyentuh lukaku adalah ‘akhir’, namun, pun aku tak mampu mengelak ‘awal’ mengambil porsi sama dalam membuat luka. Sama perih, sama-sama akan sulit tuk diobati, memberikan cerita sendiri-sendiri dari sudut pandang tiap pelaku di dalamnya.

Aku diam di satu waktu. Tanpa kusadari, aku mendekat pada ujung-ujung duri, di sana, aku melihat keindahan yang memanggilku untuk terus mendekat, namun, aku hanya belum mengetahui ada luka yang juga menungguku. Satu sosok sempurna. Dengan segala yang dimilikinya. Aku hanya terkadang lupa, adakah yang pernah tahu apa yang ada dalam hati seseorang?

Aku menyikapi seadanya. Tentang waktu yang memberiku kesempatan lagi menjelajahi makna sesungguhnya dari cinta. Ah, aku sudah lama berhenti mengurusi hal ini, karena semakin lama aku tahu satu-satunya yang diberikan cinta, apalagi kian nanti ia pergi, adalah luka yang menemaniku sendiri. Satu-satunya ketakutan terbesarku adalah aku takut menerima kenyataan andai aku kembali dijadikan tempat persinggahan, tempat peristirahatan hati-hati yang kelelahan, lalu, apa? Pada akhirnya, aku kembali berdua dengan bayanganku sendiri. Selesai.

Siapa sangka aku terjerat sekarang? Dalam kisah lama seseorang yang butuh penyegaran pada hatinya yang sesak. Ia memunggungi pemanis hidupnya, mengaku tak mampu lagi untuk sedetik lagi mengulang bunyi tawanya, mengaku luka hatinya lebih parah dari siapa pun di dunia, ah, hanya orang bodoh yang percaya itu nyata. Dan aku, satu-satunya orang bodoh itu.

Bayangmu yang semu sempat memerhatikanku dan memberikan aku sedikit harapan kelabu. Aku sudah lama tenggelam dalam kelam, dalam sakitnya luka pemberian angin-angin yang hanya melewatiku sekejap, ah, mungkin takkan ada seorang pun yang mengerti. Kata-kataku yang terlalu sulit atau memang kisahku hanya aku yang mampu memahaminya sendiri. Mungkin Tuhan menyimpan satu untukku di kemudian hari. Yang pasti, kau telah memilikinya sekarang. Milikmu paling berharga dan paling indah yang tak mungkin semudah itu kaulepas. Meski, kadang hati kecilku, ah, bukan, mungkin lebih tepat egoku, menginginkan juga pelukmu.

Aku sangat paham saat-saat untuk mengalah. Iya, mengalah. Aku tak pernah mengartikan ‘mengalah’ adalah kekalahan telak, kurasa lebih tepatnya ialah membiarkan seseorang menang demi bahagianya yang nanti suatu saat akan datang hari di mana ia sadar siapa yang sebenarnya kalah. Hanya saja, hatimu tak mampu semudah itu mengalah, terlebih lagi, ketika satu-satunya kekuatanmu yang tersisa hanyalah luka. Entahlah, menyenangkan ketika semua berbahagia.

Meski membuatku satu-satunya yang terlupakan.





Inspired by: Voiceless and Soulastic – Bukan Dirimu

Selasa, 11 Februari 2014

Pada akhirnya, hal ini bukanlah masalah.

Sudahkah kau berterima kasih hari ini? Pada sesuatu yang menurutmu pantas ditinggalkan. Padahal, suaranya sering memecah sunyimu kala malam. Pada sesuatu yang kau anggap tak berharga. Padahal, lelahmu kadang sampai pada titik akhirnya demi menjaganya tetap di sampingmu. Pada sesuatu yang hampir kau sia-siakan. Padahal, simpul di bibirnya mampu menghangatkan hatimu tiap waktu.

Akan ada saat, kamu menghargai pengabaian seseorang, di mana kaumampu mencari ketenangan dan menjernihkan otakmu yang sedang tak karuan. Aku tahu, jangan tanya, aku sangat tahu. Kamu takkan menemukan bahkan sedikit hal baik di dalam mendidihnya emosimu.

Kukira aku cukup terbiasa. Ah, naif, entahlah, aku masih sama rapuh seperti kursi kayu tua yang dimakan rayap.


Salam,



Penikmat kesendirian

Sabtu, 08 Februari 2014

Ini hanya satu-dua kata yang tak perlu kau renungkan. Maksudku, ya, kata-kata yang dibuat untuk diabaikan. Jemariku sendiri tak tahu akan ke mana, atau, mungkin akan jadi kalimat-kalimat pilu yang butuh kaupeluk. Bisa jadi, gemuruh sendu dari sang perekanya, di bawah gerimis tipis beraroma sedap tanah basah. Entahlah, setelah hari-hari, minggu-minggu, bulan-bulan, mungkin tak terkatakan lagi kapan terakhir aku jatuh dalam ribaan seseorang yang melarikan diri. Dari apa? Mungkin mencari tempat bernaung yang lebih teduh. Mungkin.

Sisa-sisa harapan itu tak lagi kugenggam. Aku juga telah mengubur seluruh lukaku. Lalu, apalagi? Spasi tiap jemariku masih kubiarkan tak terisi. Aku biarkan waktuku terbunuh untuk meredam apa-yang-harus-kulupakan ketika ia memaksa hadir dalam otakku. Aku menangisi bulan purnama ketika kurasa ia muncul terlalu cepat. Berbicara tentang itu, apa sinar dua bola matamu masih seterang purnama?

Salam.



Hidupmu lebih penting daripada tiap kata dalam paragraf ini. Maaf, tapi aku tak berniat kembali masuk dalam hidupmu.

Senin, 03 Februari 2014

Bayaran Mahal untuk Khayalan

Apa kamu pernah takut pada kenyataan?

Baik, biar aku bicarakan sekarang. Aku benci mengakui ini, tapi, ya, aku lelah serta-merta mengabaikan semua hal ini dalam otakku. Berlari-larian mengitari kepalaku, membuatku muak dan kesakitan sendiri. Jadi, apa kamu pernah merancang hidupmu, semacam rencana yang telah kaususun rapi dalam pikiranmu?

Aku? Hampir selalu.

Selama berkhayal masih gratis, lakukanlah sepuasmu. Namun, kamu perlu tahu, bahwa itu tak pernah benar-benar gratis. Harus aku sebut apa ini, pajak atau apa? Yang pasti, ketika semua khayalanmu itu tak pernah menjadi nyata: luka menyambutmu.

“Hei. Maaf, aku sedikit lama,” kataku sambil mencuri-curi sedikit udara.

Ia tersenyum. “Tak perlu minta maaf,” jawabnya.

Ia menggamit tanganku. Kami berjalan. Aku tak peduli lagi dengan kakiku yang tadi terhempas batu saat berlari. Aku membiarkan jantungku dan iramanya yang tak teratur, bahkan aku tak peduli semerah apa wajahku sekarang.

“Apa kamu sudah lama menunggu tadi? Aku sungguh minta maaf,”

Ia menoleh ke arahku, mengangguk, dan memberikanku senyum itu lagi.

Kami telah berjalan selama dua puluh lima menit–aku baru saja menilik jam tanganku; ah iya, ia masih menggamit tanganku. Rasanya seperti baru sedetik yang lalu, ya, apa aku lupa jika waktu berjalan lebih cepat ketika aku melakukan hal yang kusuka? Dan ini adalah hal yang aku suka. Selalu.

“Kita sampai,” katanya.

“Aku tahu. Kukira kautelah melupakannya,”

“Melupakan apa? Tempat seindah ini?! Kau bercanda,” jawabnya dengan mata yang berbinar.

Aku tersenyum. Tempat ini atau kenangan yang ada di dalamnya, batinku.

“Keduanya,…” ia menatap ke dalam bola mataku.

Aku terkejut. “Keduanya…? Maksudmu?”

“Aku tak pernah melupakan keduanya. Tentu kamu tahu maksudku, kan?”

Apa ia lupa pikirannya sudah lama tak pernah sejalan dengan pikiranku?

Astaga!

Irama jantungku yang sudah normal sekarang kembali berantakan. Bahkan, kurasa akan meledak. Pipiku terasa panas, mungkin merah merona seperti tomat busuk. Untunglah, siang ini tak terlalu cerah karena awan mendung bertandang di bawah matahari sepanjang pagi. Angin yang menyapu wajahku juga sedikit menenangkanku, karena ia baru saja mengecup keningku.

Ia baru saja mengecup keningku!

“Kukira kamu yakin apa maksudku,” katanya. Ia tak menatapku lagi. Dan aku masih mematung.

Lima menit berlalu. Ia masih tak menatapku. Dan aku masih mematung. Kemudian, aku menghembuskan napas dalam-dalam di detik berikutnya.

“Aku masih bersamamu?” tiba-tiba ia buka suara.

“Ya, tentu. Kau masih di sini sekarang, tepat di sampingku,” kataku.

Dia tertawa terbahak. “Kau masih sama,” ia menatap dalam-dalam mataku. “Apa aku harus selalu menjelaskan apa pun padamu seperti ini agar kaupaham? Jadi, ya, aku ulangi, apa aku masih bersamamu, bukan di sini, tapi di dalam sini,” ia menunjuk jantungnya.

Aku terkejut. Sangat.

“Mungkin selama ini aku yang salah. Maaf,” dia menatap tanah pijakannya. “Kamu…,”

“Ada apa, aku kenapa?”

Dia menatapku. Tatapannya bermakna, aku tahu tiap kata yang ia katakan berawal dari hatinya yang paling dalam.

“Kamu tak pernah pergi dari pikiranku.”

Katanya.

-----

Aku melirik jam tanganku untuk membunuh sedikit waktu. Sudah 15 menit. Berarti, sudah 15 menit juga aku terbawa khayalanku.

“Maaf, apa aku lama?”

Kau membuatku menunggu 15 menit, batinku. Ia duduk di sampingku, aku tak melihat ia berkeringat dan napas terengah, kurasa ia sama sekali tak terburu-buru dan ia sama sekali tak merasa bersalah. Mungkin ini adalah kesalahan terbesarnya. Ya, menemuiku.

“Tidak. Aku baru datang,” kataku. “Jadi, apa yang ingin kau katakan? Oh iya, aku ingin ke sana.”

“Ke mana?” Dia mengernyit.

Jadi, kau sudah melupakannya…, diam-diam napasku tersedak. Diikuti ledakan kecil dalam jantungku.

“Ah, lupakan,” aku menggeleng. “Lalu?”

Di bawah pohon-pohon teduh, terik siang jadi tak berarti. Aku dan dia duduk di bangku taman ini–nampaknya beberapa hari lalu baru dicat. Angin tak terlalu kencang namun berhembus sejuk sesekali. Aku menikmati. Menebus rindu berpuluh-puluh hari yang kemarin kulalui. Setelah beberapa minggu kepingan yang hilang ini kutemukan, aku tak tahu lagi kapan terakhir kali aku merasa benar-benar hidup. Dan detik berikutnya, kata-kata yang belum jua terlontar dari lidahnya amat kutunggu bersama kicauan burung-burung gereja yang datang dan pergi.

Kurasa ini akan hebat.

Dia melirik jam tangannya. “Aku tak bisa lama, maaf,”

Tidak, bisakah kamu lebih lama, kumohon, batinku.

“Ya, baiklah, apa yang ingin kaukatakan? Katakan saja,” kataku.

Dia menghembuskan napas dalam-dalam. Kali ini aku yakin ia takkan mengatakan hal yang tak mengguncang seluruh tubuhku.

“Kamu tahu, ya kukira kamu tahu. Belakangan ini aku sering terlihat senyum sendirian, itu tak masalah bahkan bila orang lain menganggapku gila,” ia tersenyum lebar.

“Ya kurasa orang lain pasti menganggapmu gila. Apa alasannya kamu begitu?” tanyaku.

“Astaga, kamu belum berubah sama sekali,” kali ini ia tertawa keras.

“Apa yang lucu?” aku menatapnya bingung. “Aku tahu kamu takkan menjelaskannya. Baik, lanjutkan apa yang tadi ingin kaukatakan,”

Dia menelan sisa-sisa tawanya. “Kamu masih menyenangkan. Seperti dulu. Tapi, maafkan aku,…”

Aku hanya menatapanya.

“Kamu harus mengerti, apa pun dapat berubah kan? Apa pun. Kumohon jangan samakan tiap keadaan. Entahlah, aku juga mencari cara untuk mengatakan ini padamu, aku hanya selalu gagal dengan aku takut semua ini menyakitimu. Lagi. Tapi, aku…”

“Cukup,” kataku.

Air mataku menggenang sudah, namun aku takkan membiarkannya terjatuh. Setidaknya, tidak di sini.

Aku tahu ke mana arah pembicaraan ini, maksudku, aku tahu apa yang coba ia katakan. Dan, aku tahu ini juga tentang seseorang di hatinya. Tidak, itu bukan aku. Andai itu tentangku, hanyalah menyangkut egoku yang berlebih. Aku tak tahu di mana tempat hatiku di dunia, namun yang pasti, bukan di hatinya. Yang harus kulakukan; menerima kenyataan.

Aku mencoba memahami apa yang telah terjadi dan apa yang sedang terjadi. Ya, aku terlalu banyak berkhayal, tapi, aku sungguh tak pernah memahami apa yang akan terjadi. Aku sibuk dengan rasa manis yang akan kurasakan dan melupakan setiap kemungkinan rasa pahit yang akan timbul. Kalau kaumengerti, ya, aku tahu kaupasti mengerti, aku hanya perlu duduk diam dan berkelana dengan pikiranku.

“Kali ini aku mengerti, kau tak perlu melanjutkannya,” kataku.

Dia tersenyum. Lalu, dia mendekatkan wajahnya padaku. Aku menutup mata.

“Maafkan aku,”  ia berbisik di telingaku. Aku membuka mata dan melihat ia menjulurkan tangannya. “Teman kan?” tanyanya.

Astaga! Apa yang baru kupikirkan.

“Pasti,” aku tersenyum dan menyambut tangannya.

“Bagus. Ada lagi yang perlu kautahu,”

“Apa?” tanyaku.

“Kamu tak pernah pergi dari pikiranku.”

Katanya.