Senin, 03 Februari 2014

Bayaran Mahal untuk Khayalan

Apa kamu pernah takut pada kenyataan?

Baik, biar aku bicarakan sekarang. Aku benci mengakui ini, tapi, ya, aku lelah serta-merta mengabaikan semua hal ini dalam otakku. Berlari-larian mengitari kepalaku, membuatku muak dan kesakitan sendiri. Jadi, apa kamu pernah merancang hidupmu, semacam rencana yang telah kaususun rapi dalam pikiranmu?

Aku? Hampir selalu.

Selama berkhayal masih gratis, lakukanlah sepuasmu. Namun, kamu perlu tahu, bahwa itu tak pernah benar-benar gratis. Harus aku sebut apa ini, pajak atau apa? Yang pasti, ketika semua khayalanmu itu tak pernah menjadi nyata: luka menyambutmu.

“Hei. Maaf, aku sedikit lama,” kataku sambil mencuri-curi sedikit udara.

Ia tersenyum. “Tak perlu minta maaf,” jawabnya.

Ia menggamit tanganku. Kami berjalan. Aku tak peduli lagi dengan kakiku yang tadi terhempas batu saat berlari. Aku membiarkan jantungku dan iramanya yang tak teratur, bahkan aku tak peduli semerah apa wajahku sekarang.

“Apa kamu sudah lama menunggu tadi? Aku sungguh minta maaf,”

Ia menoleh ke arahku, mengangguk, dan memberikanku senyum itu lagi.

Kami telah berjalan selama dua puluh lima menit–aku baru saja menilik jam tanganku; ah iya, ia masih menggamit tanganku. Rasanya seperti baru sedetik yang lalu, ya, apa aku lupa jika waktu berjalan lebih cepat ketika aku melakukan hal yang kusuka? Dan ini adalah hal yang aku suka. Selalu.

“Kita sampai,” katanya.

“Aku tahu. Kukira kautelah melupakannya,”

“Melupakan apa? Tempat seindah ini?! Kau bercanda,” jawabnya dengan mata yang berbinar.

Aku tersenyum. Tempat ini atau kenangan yang ada di dalamnya, batinku.

“Keduanya,…” ia menatap ke dalam bola mataku.

Aku terkejut. “Keduanya…? Maksudmu?”

“Aku tak pernah melupakan keduanya. Tentu kamu tahu maksudku, kan?”

Apa ia lupa pikirannya sudah lama tak pernah sejalan dengan pikiranku?

Astaga!

Irama jantungku yang sudah normal sekarang kembali berantakan. Bahkan, kurasa akan meledak. Pipiku terasa panas, mungkin merah merona seperti tomat busuk. Untunglah, siang ini tak terlalu cerah karena awan mendung bertandang di bawah matahari sepanjang pagi. Angin yang menyapu wajahku juga sedikit menenangkanku, karena ia baru saja mengecup keningku.

Ia baru saja mengecup keningku!

“Kukira kamu yakin apa maksudku,” katanya. Ia tak menatapku lagi. Dan aku masih mematung.

Lima menit berlalu. Ia masih tak menatapku. Dan aku masih mematung. Kemudian, aku menghembuskan napas dalam-dalam di detik berikutnya.

“Aku masih bersamamu?” tiba-tiba ia buka suara.

“Ya, tentu. Kau masih di sini sekarang, tepat di sampingku,” kataku.

Dia tertawa terbahak. “Kau masih sama,” ia menatap dalam-dalam mataku. “Apa aku harus selalu menjelaskan apa pun padamu seperti ini agar kaupaham? Jadi, ya, aku ulangi, apa aku masih bersamamu, bukan di sini, tapi di dalam sini,” ia menunjuk jantungnya.

Aku terkejut. Sangat.

“Mungkin selama ini aku yang salah. Maaf,” dia menatap tanah pijakannya. “Kamu…,”

“Ada apa, aku kenapa?”

Dia menatapku. Tatapannya bermakna, aku tahu tiap kata yang ia katakan berawal dari hatinya yang paling dalam.

“Kamu tak pernah pergi dari pikiranku.”

Katanya.

-----

Aku melirik jam tanganku untuk membunuh sedikit waktu. Sudah 15 menit. Berarti, sudah 15 menit juga aku terbawa khayalanku.

“Maaf, apa aku lama?”

Kau membuatku menunggu 15 menit, batinku. Ia duduk di sampingku, aku tak melihat ia berkeringat dan napas terengah, kurasa ia sama sekali tak terburu-buru dan ia sama sekali tak merasa bersalah. Mungkin ini adalah kesalahan terbesarnya. Ya, menemuiku.

“Tidak. Aku baru datang,” kataku. “Jadi, apa yang ingin kau katakan? Oh iya, aku ingin ke sana.”

“Ke mana?” Dia mengernyit.

Jadi, kau sudah melupakannya…, diam-diam napasku tersedak. Diikuti ledakan kecil dalam jantungku.

“Ah, lupakan,” aku menggeleng. “Lalu?”

Di bawah pohon-pohon teduh, terik siang jadi tak berarti. Aku dan dia duduk di bangku taman ini–nampaknya beberapa hari lalu baru dicat. Angin tak terlalu kencang namun berhembus sejuk sesekali. Aku menikmati. Menebus rindu berpuluh-puluh hari yang kemarin kulalui. Setelah beberapa minggu kepingan yang hilang ini kutemukan, aku tak tahu lagi kapan terakhir kali aku merasa benar-benar hidup. Dan detik berikutnya, kata-kata yang belum jua terlontar dari lidahnya amat kutunggu bersama kicauan burung-burung gereja yang datang dan pergi.

Kurasa ini akan hebat.

Dia melirik jam tangannya. “Aku tak bisa lama, maaf,”

Tidak, bisakah kamu lebih lama, kumohon, batinku.

“Ya, baiklah, apa yang ingin kaukatakan? Katakan saja,” kataku.

Dia menghembuskan napas dalam-dalam. Kali ini aku yakin ia takkan mengatakan hal yang tak mengguncang seluruh tubuhku.

“Kamu tahu, ya kukira kamu tahu. Belakangan ini aku sering terlihat senyum sendirian, itu tak masalah bahkan bila orang lain menganggapku gila,” ia tersenyum lebar.

“Ya kurasa orang lain pasti menganggapmu gila. Apa alasannya kamu begitu?” tanyaku.

“Astaga, kamu belum berubah sama sekali,” kali ini ia tertawa keras.

“Apa yang lucu?” aku menatapnya bingung. “Aku tahu kamu takkan menjelaskannya. Baik, lanjutkan apa yang tadi ingin kaukatakan,”

Dia menelan sisa-sisa tawanya. “Kamu masih menyenangkan. Seperti dulu. Tapi, maafkan aku,…”

Aku hanya menatapanya.

“Kamu harus mengerti, apa pun dapat berubah kan? Apa pun. Kumohon jangan samakan tiap keadaan. Entahlah, aku juga mencari cara untuk mengatakan ini padamu, aku hanya selalu gagal dengan aku takut semua ini menyakitimu. Lagi. Tapi, aku…”

“Cukup,” kataku.

Air mataku menggenang sudah, namun aku takkan membiarkannya terjatuh. Setidaknya, tidak di sini.

Aku tahu ke mana arah pembicaraan ini, maksudku, aku tahu apa yang coba ia katakan. Dan, aku tahu ini juga tentang seseorang di hatinya. Tidak, itu bukan aku. Andai itu tentangku, hanyalah menyangkut egoku yang berlebih. Aku tak tahu di mana tempat hatiku di dunia, namun yang pasti, bukan di hatinya. Yang harus kulakukan; menerima kenyataan.

Aku mencoba memahami apa yang telah terjadi dan apa yang sedang terjadi. Ya, aku terlalu banyak berkhayal, tapi, aku sungguh tak pernah memahami apa yang akan terjadi. Aku sibuk dengan rasa manis yang akan kurasakan dan melupakan setiap kemungkinan rasa pahit yang akan timbul. Kalau kaumengerti, ya, aku tahu kaupasti mengerti, aku hanya perlu duduk diam dan berkelana dengan pikiranku.

“Kali ini aku mengerti, kau tak perlu melanjutkannya,” kataku.

Dia tersenyum. Lalu, dia mendekatkan wajahnya padaku. Aku menutup mata.

“Maafkan aku,”  ia berbisik di telingaku. Aku membuka mata dan melihat ia menjulurkan tangannya. “Teman kan?” tanyanya.

Astaga! Apa yang baru kupikirkan.

“Pasti,” aku tersenyum dan menyambut tangannya.

“Bagus. Ada lagi yang perlu kautahu,”

“Apa?” tanyaku.

“Kamu tak pernah pergi dari pikiranku.”

Katanya.



0 komentar:

Posting Komentar