Sabtu, 08 Februari 2014

Ini hanya satu-dua kata yang tak perlu kau renungkan. Maksudku, ya, kata-kata yang dibuat untuk diabaikan. Jemariku sendiri tak tahu akan ke mana, atau, mungkin akan jadi kalimat-kalimat pilu yang butuh kaupeluk. Bisa jadi, gemuruh sendu dari sang perekanya, di bawah gerimis tipis beraroma sedap tanah basah. Entahlah, setelah hari-hari, minggu-minggu, bulan-bulan, mungkin tak terkatakan lagi kapan terakhir aku jatuh dalam ribaan seseorang yang melarikan diri. Dari apa? Mungkin mencari tempat bernaung yang lebih teduh. Mungkin.

Sisa-sisa harapan itu tak lagi kugenggam. Aku juga telah mengubur seluruh lukaku. Lalu, apalagi? Spasi tiap jemariku masih kubiarkan tak terisi. Aku biarkan waktuku terbunuh untuk meredam apa-yang-harus-kulupakan ketika ia memaksa hadir dalam otakku. Aku menangisi bulan purnama ketika kurasa ia muncul terlalu cepat. Berbicara tentang itu, apa sinar dua bola matamu masih seterang purnama?

Salam.



Hidupmu lebih penting daripada tiap kata dalam paragraf ini. Maaf, tapi aku tak berniat kembali masuk dalam hidupmu.

0 komentar:

Posting Komentar