Senin, 14 September 2015

Hanya

Salah siapa? Salahmu, atau salahku?

--

Aku mencari-cari lagi apa yang telah aku simpan beberapa tahun yang lalu. Aku masih ingat benar, di mana sisa-sisa guratan itu masih di sana, karena, aku tak pernah benar-benar membuangnya. Senja di minggu sore, bungkus-bungkus coklat kosong, setengah gelas susu coklat dingin, serta lukisan di selembar kertas dengan sebuah hati berwarna merah muda dan setangkai mawar yang baru saja kubakar, ialah saksinya. Benar, kan, aku masih ingat.

Tapi, pun bagian terpentingnya lah yang tak aku ingat.

Rasanya.

Lukanya.

Sakitnya...

Sungguh, aku tak ingat. Bahkan aku masih ingat hangat genggamannya agar aku menetap waktu itu, suara serak penuh rasa bersalahnya, caranya melindungiku agar tak kedinginan, ah, tetap, aku tak ingat perih itu. Semua kembali terputar, tapi, aku baik-baik saja.

Jika, dan hanya jika, goresan baru ini memang terlalu dalam...

Bukan sekali-dua, mungkin, setiap kali. Kukira sering terperosok membuatku tahan luka, ternyata, aku (dan hatiku) masih sama. Aku masih sama, masih si pembunuh sepi untuk mereka yang jenuh, masih penyembuh luka-luka mereka, masih aku yang tak peduli lagi bahagiaku sendiri agar simpul manis di bibir mereka kembali rekah. Aku masih seseorang yang jungkir balik memikirkan perasaan mereka agar kembali utuh, namun lupa menjaga milikku sendiri hingga semakin rapuh.

Jangan tanya padaku mengapa pada akhirnya kita mampu saling mengucap salam. Bertanya, ah tidak, aku ingat, kita mencoba menebak apa sebutan kita masing-masing. Percayalah, tak pernah ada kebetulan. Setidaknya, itu yang kupercayai karena selalu akan ada alasan yang bertemu nanti di titik takdir mengapa semua terjadi, seperti satu-dua gambar hidup yang kita saksikan bersama yang adegan satu dan lain punya alasan dan bersinergi sampai konklusi di akhir cerita. Hanya aku kah yang mengingatnya?

Mengapa aku begitu baik padamu, begitu, tanyamu waktu itu. Masih mau tahu jawabannya?
Sederhana. Aku memang begitu. Mungkin itu memang kecerobohanku yang paling parah, atau bisa jadi satu-satunya kelebihan yang kupunya; aku terlalu baik. Mendahulukan bahagia yang lain dibanding lukaku sendiri, aku selalu jadi orang yang seperti itu.

Jawaban lain,

...aku ingin.

Iya, aku ingin.

Karena aku ingin tetap begitu. Aku ingin menjagamu bukan hanya tentang jauhkan ragamu dari lelah dan sakit, melainkan juga rasa tenang dan aman yang kau dapati tiap aku di dekatmu hingga melekat di relungmu.

Karena aku ingin tetap begitu. Aku ingin lebih lama bersandar, bukan hanya di pundakmu, melainkan juga menyandarkan hatiku yang (kurasa) menemukan kembali tempat ternyamannya dalam sosokmu.

Karena aku ingin tetap begitu. Aku ingin menerus menatap wajahmu yang selalu kelelahan, hingga tawa renyahmu menyergap pendengaranku, terutama bila penyebabnya adalah aku. Aku ingin menjadi alasan senyum-senyum di bibirmu tampak.

Karena aku ingin tetap begitu. Kau tahu, menyayangimu seperti aku yang memang kaubutuh.
Mungkin hal yang kaucari tak kau dapati dari aku. Sesuatu yang kauingin tak pernah ada dari hadirku.

Aku sangat pahami. Seseorang yang tak terlalu mandiri sepertiku, mana bisa bersamamu. Seseorang yang memaksamu untuk juga mengerti tak hanya dirimu sendiri tapi juga aku, mana bisa menemanimu. Seseorang yang bahkan tak mampu menjaga hatinya sendiri, mana bisa menjaga hatimu. Menawan tidak, pandai pun tak terlalu. Tentu saja aku bukan pengampu dirimu untuk jadi lebih baik lagi.

Tidak, bukan itu. Kautahu, ketakutanku yang mungkin memang fakta dari semua ini; kamu tak membutuhkanku lagi karena kamu tak lagi merasa sepi.

Aku tak mau menjelaskan bagaimana perihnya. Bila kamu pernah jatuh dan terluka, lalu, asam jeruk nipis menetes di sana. Ah, tidak, rasanya lebih dari itu.

Kukira aku memang belum, namun, aku mencoba, bukan? Menemanimu. Selalu hadir bila kau ingin. Pun itu semua memang tak pernah berarti untukmu. Bisakah sedikit saja kaujelaskan perasaanmu padaku yang tak mampu memaknai atau bahkan salah memaknai semua ini, Sayang. Aku lelah menerka.

Takdir kurasa memintaku sekali lagi melalui kembali hari-hari perih, bila kau mau tahu, ini yang paling perih sepanjang aku masih bernapas di dunia ini. Tertawalah, belebihan, begitu katamu. Mari, maukah kamu menjadi aku? Tidak, aku pun tak mau apa yang kurasakan kautahui juga rasanya. Sesederhana itu, caraku tetap menjagamu, selain di dalam tiap doa yang kurapal, juga di tiap syukur yang kuucap karena mengenalmu–lalu aku kembali menerka apakah kau juga begitu–, menyayangimu di garis demi garis jarak yang mulai terbentuk.

Bila tak mungkin lagi kamu ada di hidup sosok yang akan terus memperbaiki dirinya ini, ada satu yang bolehkah kau izinkan untuk kulakukan?

Aku ingin memelukmu sangat erat. Untuk yang terakhir. Biar kupastikan lukamu telah kembali utuh.

--

Lalu, salah siapa? Dan benarkah ada yang salah?

Tentu saja, sudah jelas, bukan.

Salahku.

Namun, kumohon, jangan pernah salahkan takdir, atau aku, dan pertemuanmu denganku.


Semoga bahagia dan tetap seperti itu, Sayang.

0 komentar:

Posting Komentar