Rabu, 27 Februari 2013

It's About Passion


Buat apa jungkir balik belajar eksak kalau ujung-ujungnya ambil sastra, dari kelas sosial juga bisa.
          Pernah, sering justru, dengar pernyataan-pernyataan macam itu. Rasanya? Ah, jangan ditanya, kalau tahu rasa digores-gores nadinya. Di luar tampak cengar-cengir layak anak pendidikan usia dini polos baru bubaran, mungkin kan kalau dalamnya retak-retak?
          Anak-anak rumus diagung-agungkan. Derajatnya lebih tinggi, otaknya lebih cerdas, begitu katanya. Begitu? Ah, sudut pandang orang-orang masih dibutakan kabut-kabut kasat mata yang kadang jadi awal perpecahan; omongan dan pola pikir turunan. Anehnya, kobaran provokasi datang dari pihak-pihak yang mestinya kalangan mediasi. Mau menyanggah, segan, namanya orang yang dihormati.
          Stratifikasi sosial, bukan? Entahlah.
          Jangan jauh-jauh, kadang yang dekat juga suka menyulut perdebatan. Akhirnya, aku yang mengalah, daripada berdarah-darah. Sebenarnya, apa sih titik inti masalahnya? Sama-sama belajar, sama-sama cari ilmu, cuma dikemas dengan materi dasar yang beda. Terus? Yang penting sama-sama bermanfaat.
          Mari tanya sama yang baru ganti seragam jadi putih abu-abu. Mau mendalami eksak atau sosial? Kadang, yang amat benci tabel periodik pun akan jawab eksak. Ah, bunuh diri. Persis sepertiku, hampir mati meleleh ditinju larutan-larutan asam basa. Kenapa? Kalau dulu sih jawabnya, dari eksak nanti mau ambil kuliah jurusan apapun fleksibel dan gampang. Angkat kerah senyum-senyum bangga kalau ditanya.
          Namun, kenyataannya banyak yang menyesal, minta putar ulang waktu; aku misalnya.
          “Salah isi angket? Kenapa nggak masuk kelas sosial dari awal,”
          Ah! Andai mereka tahu banyak dari kelas sains tersiksa habis-habisan dipaksa menghafal segudang rumus yang memakan seluruh relung memori. Silahkan, boleh terbahak-bahak. Kalau tahu sekejam ini eksak membunuhku perlahan, sayangnya, aku terbuai pola pikirku sendiri waktu itu. Jujur, hubunganku dengan hal yang berbau hitung-hitungan memang sedikit kurang harmonis.
          Karena itu, jangan heran tak sedikit orang yang sepertiku. Muak sendiri memuja ilmu-ilmu pasti. Di ujung-ujung kelulusan sekolah, banyak yang berniat berkhianat. Lintas jurusan, misalnya.
          Yup. I know exactly what they think. Merampas hak kalian, begitu?
          This is not about science or social, this is about passion and a way to dreams. Terserah. Aku hanya menyinggung sedikit mereka yang menganggap aku–mungkin juga yang lain–mengambil yang harusnya bagian anak sosial. Dan ini, juga teruntuk siapa-siapa yang terlalu mengkotak-kotakkan kelas sains dan sosial. We are same, Ma’am.
          Lagipula, tak pernah ada ilmu yang sia-sia, bukan?

2 komentar:

A. Y. Indrayana mengatakan...

there was no judge between exact study and social study, absolutely...
because to be the smart and clever people, not jst see from one side only :)

Unknown mengatakan...

aaaak bener bangeet:")

Posting Komentar