Selasa, 19 Februari 2013

Jawaban

Aku memeluk rapat-rapat tubuhku sendiri. Angin yang makin menyayat kulit disertai dengan titik-titik air menetes di lengan baju panjangku. Aku menengadahkan tangan: langit masih menangis.
          “Kapan pulang?” tanyaku.
          Dia hanya tersenyum.
          Aku mengerdikan bahu, lalu kembali ke duniaku.
          Dé javu. Rasanya, aku pernah mengalami hal ini. Memang pernah. Hanya saja, dulu waktu mengemasnya secara sempurna dengan rasa berbeda; menyenangkan.
          Aku meringis pahit dalam hati. Ada perasaan yang selama ini tertidur, dan sekarang ingin melonjak keluar. Tentang tanya yang mungkin punya makna tapi tak pernah punya jawaban. Sederhana. Tentang aku yang terlalu naif melukai diriku sendiri, dengan bertahan bersama cinta yang telah kadaluarsa dan memikul rindu sendirian.
          “Aku mau pulang,”
          Kini mataku hampir berlinang. Bukan lagi karena aku kedinginan, tapi hujan seakan membasahi lagi kepingan luka-luka lama yang belum mengering seutuhnya. Bahkan perihnya masih terasa sama.
          “Iya. Sabar ya, belum reda,”
          “Hujan kayak gini pasti lama,”
          Bibirnya kembali hanya menyimpul senyum. Ah, aku benci garis yang melengkung manis itu. Entahlah, punya daya magis yang mampu melumpuhkan bara amarahku yang telah sampai di ujung lidah. Akhirnya aku cuma menarik napas pasrah.
          “Dingin?”
          Aku mengangguk lemah.
          Dia melepas jaket coklat yang membalut hangat tubuhnya, kemudian melingkarkannya ke tubuhku. Lengannya terdiam merengkuh aku yang menggigil. Aku memejamkan mata menikmati hangatnya yang merasuk telak bahkan sampai ke sekujur tulang.
          Pipiku menghangat. Dua aliran air bening mengalir dari kedua mataku tanpa aba-aba. Aku menyandarkan kepalaku di bahunya.
          Dia menoleh. “Kenapa?”
          Dia lantas menyentuh lembut pipiku dan menyeka butir-butir air mata yang terus mengalir.
          Kenapa? Iya, kenapa. Terlalu banyak ‘kenapa’ yang ingin aku tahu untaian jawabannya. Kenapa ada aku dan kamu yang berpisah ketika cinta masih meletup-letup indah?
          “Kenapa…” kataku.
          “Ya?”
          “Kenapa aku yang ditinggal?”
          Dia terdiam lama. Aku masih menatapnya lurus-lurus.
          Dia menarik napas panjang. Helaan napasnya terdengar berat. “Semua ini, mudah buatmu?”
          Aku menggeleng.
          “Mungkin menurutmu aku jahat. Menurutku, waktu yang jahat,”
          Aku menunduk dalam-dalam. Matanya menyiratkan luka, aku tak mampu menatapnya lagi. Jadi, bukan hanya aku yang terluka?
          Waktuku dan waktumu. Waktu kita memang tak pernah melekat cocok. Apa kisah aku dan kamu tak diciptakan dengan akhir yang manis? Atau waktu dan takdir menyimpannya untuk kejutan istimewa di masa nanti?
          “Jadi, siapa yang kamu pilih; aku? Dia?”
          Nyatanya kamu terang-terang memilihnya. Menyisakan bayanganmu untuk tinggal bersamaku. Sepi perlahan mendekat dan ikut hadir dalam hariku yang mulai kelam menghitam. Kesepian? Tidak. Aku kehilangan.
          Dia menutup mulutnya rapat-rapat. Diam seribu bahasa. Bahkan suara titik air yang menetes terdengar lebih jelas. Rengkuhannya tambah erat, tapi bibirnya makin mengatup kuat.
          Tak adakah jawaban untuk pertanyaan ini?
          Ah, sudahlah. Rinduku memuncak dan ini jawaban yang sepadan. Langit, mari aku temani tangismu.

0 komentar:

Posting Komentar