Sabtu, 19 Januari 2013

Gurauan Berdarah

Gurauan? Bagaimana itu bisa disebut gurauan jika melukai seseorang. Menurutmu lucu? Kutebak kamu lupa di mana menaruh hatimu.
Entah angin apa yang menusuk-nusuk tubuhnya. Hari ini dingin. Dia berpakaian tebal. Salju menerus turun di kota kejayaan Ratu Elizabeth ini. Tulangnya meronta kedinginan, kulitnya menggigil. Bibir tipisnya digigit sendiri hingga memutih. Tapi, pipinya panas dilewati aliran air yang melaju dari bulat matanya.
          Setidaknya salju lebih sejuk dari hujan. Dia begitu benci hujan yang mengalirkan dengar resonansi titik-titik kenangan di tiap tetesnya. Meski menghapus debu dari mukanya, tapi tidak luka hatinya.
          Terlalu takut: dia terlalu takut. Banyak. Takut hujan, takut kehilangan, takut candaan.
          “Dia? Wanita penggoda itu,”
          Orang-orang di bawah pohon rindang itu tertawa. Tampak puas. Dia tertunduk dan melangkahkan kaki-kaki lemasnya.
          “Hati-hati. Jaga pujaan hati kalian masing-masing, nanti diambil wanita itu,”
          Suara tawa orang-orang itu kembali membahana di sudut sana. Dia mengencangkan volum musik yang didengarnya dan terus membaca komiknya.
          Visualisasi tawa-tawa itu tak mengering. Belati yang menjelma jadi lelucon itu menembus tepat hingga merobek aliran nadinya.
          Mereka yang tak mau dengar bagaimana kejadian yang sebenarnya, yang justru mampu merauk sisa-sisa tawa mereka sampai haru, tak pernah tahu perasaannya. Sisinya tak pernah dicerna. Dia melulu salah –atau disalahkan?– oleh mereka.
          Manusia mana yang hatinya tak pernah terluka? Bahkan dia, terlalu terluka. Senyumnya membungkus seluruh teriakkan lirih dari palung-palung tak berhingga yang perlahan meruntuh. Sejauh dia berlari, bayang-bayang itu masih saja mengejar. Menetes bersama hujan. Melayang bersama angin. Menghitam bersama malam.
          Dia hidup di mana, raga dan jiwanya di mana? Entahlah.
          Tolong bersahabat, Salju. Aku mohon.

0 komentar:

Posting Komentar