Selasa, 20 November 2012

Terjebak dan Terikat

Aku masih duduk di tepi tempat tidurku, memandang gerimis manis yang merintik turun ke tanaman-tanaman kesayangan Bunda dari balik jendela. Tetesannya meluruh jadi satu di pangkuan daun dan turun bersama ke tanah. Entah berapa puluh menit telah terlewat, aku termenung diam diiringi dentingan air yang menyusup masuk ke telingaku jadi melodi.
          Ketika udara dingin tak lagi mencekat kulit amat erat, melebihi rindu yang menerus lekat, aku melekapkan tubuhku sendiri. Merintih perih teriakkan namamu dalam hati. Seakan dalam tiga kali panggilan, kamu mendadak berada di sisiku. Menyeka tiap butir air yang mengalir lurus dari mataku, atau biarkan dadamu kubuat untuk meredam tangisku yang merebah. Ya, aku tahu. Ini mustahil.
 Aku menghela napas dalam, kemudian berjalan, kembali ke meja belajarku. Aku ambil pulpen bertinta magenta kesayanganku, dan mulai menulis lagi. Sungguh, haruskah aku lakukan ini? Apa berharga... untukmu?
Selesai. Kalimat terakhir telah kutulis. Aku baca kembali dan...
“Bodoh!”
Aku mengepal brutal selembar kertas itu, lalu melempar asal ke tempat sampah di sudut kamarku. Entahlah, aku tak tahu ini sudah ke berapa kali.
Sebagian orang, memilih menjauhi duri setelah tergarit tajamnya. Tapi, aku terdiam di tempatku. Menikmati sakitnya dengan penuh rasa, sampai aku sadar, aku berdarah. Bahkan aku tetap diam, saat aku tahu kamu yang sebarkan duri itu.
Menangis? Aku rasa air mataku tak lagi tersisa. Bagaimana aku bisa bertahan jadi tumbuhan liar, ketika aku bisa jadi mawar segar untuk yang lain. Dayaku tertahan, tak sanggup langkahkan kakiku demi menjauhi bayangmu. Aku terus menyangkal, kalau yang mengikatku terjebak rasamu, adalah takdir.
Ah! Aku mengacak-acak rambutku, lalu kembali duduk di tepian tempat tidurku. Memandang lagi tetesan air dari langit yang masih betah membasahi bumi.
“Kamu... apa kamu juga merindu, sepertiku? Seperti aku, yang selalu riang menyambut datangmu, di alam mimpi.”
Ya, aku tahu. Pasti tidak. Aku menghela napas dalam, merebahkan tubuhku ke kasur, lalu menenggelamkan kepalaku di sana. Sama sekali tak berniat meneruskan tulisanku, untukmu. Yang berisi penuh rindu, yang kubiarkan menggantung terhempas resonansi hujan yang menggema di luar. Semoga, sampai ke tempatmu ya, Sayang. Iya, semoga.

1 komentar:

Malinda Aspariani mengatakan...

singkat, tapi mengesankan :) aku suka

Posting Komentar