Sabtu, 24 November 2012

Jangan Sedih, Sayang

Pagi belumlah pecah. Bahkan hawa dingin masih menyelimut tebal. Ada apa denganmu? Garis senyum manismu menekuk, tak mengembang sebaris pun. Menebar perih bagi aku yang memandangnya. Kamu melangkah gontai dengan tatap yang –aku tahu–  begitu kosong.
          “Pagi,”
          “Hai. Pagi,” sepertinya berat bagimu menarik bibirmu untuk tersenyum. Tapi aku senang, kamu memaksa melakukannya, untukku. Manis.
          “Ada masalah?” tanyaku langsung.
          Dia terdiam tak bergeming. Entah apa yang tengah melanda pikirannya. Aku masih menatapnya, sabar menanti lidahnya melontarkan jawaban atas tanyaku.
          Dia menghembuskan napas panjang. Lalu meregang paksa bibirnya untuk menyimpul senyum. Aku tak tahu orang lain, tapi diriku tahu pasti, itu palsu. “Aku gapapa,” katanya.
          “Boleh aku salin tugasmu?”
          Aku mengenalnya, terlalu mengenalnya. Dia tak sebahagia seperti yang coba ia tunjukkan padaku. Aku tak mampu jelaskan rasa yang mengguncangku, saat binar berseri dari kedua matanya hilang. Hanya saja, dadaku terasa sesak.
          Aku heran, mengapa kamu terus menutupi kebenaran.  Kamu letih, kan? Aku, yang menahanmu kala akan meruntuh. Aku, yang memapahmu saat kamu tertatih tak mampu langkahkan kaki. Aku, ada aku di sini, bagaimana kamu bisa menipuku dengan senyum palsu itu? Lucu.
          Apa lelahmu itu, karena cinta butamu lagi? Permasalahkan hal itu lagi; aku? Siapa yang harusnya muak, dia, kamu, atau aku? Apa dia masih tak kunjung mengerti, hanya dia yang mampu kuasai hatimu. Iya, dia, bukan aku. Kadang, aku ingin menampar keras-keras wajah putih bersih dengan pipi berona merah itu. Teriakkan kencang di depan tubuh bak supermodel itu, kalau aku tak pernah punya niat mengusik urusannya. Urusanmu? Itu masalah beda. Kamu, sahabatku, tentu saja aku benci menyaksikan lukamu. Ah! Perempuan sok sempurna itu membuat ini jadi rumit.
          Jangan sedih. Maaf, aku tak tahu lagi cara mengatakannya. Aku menyayangimu, Sayang. Percepat akhir ceritanya, karena yang indah tak selamanya berakhir indah. Egoiskah aku? Aku mau kebersamaanmu dengannya, ciptakan bahagia. Bukan raut muka lelah seperti ini. Karena tak hanya kamu, aku juga rasakan pedihnya di sini. Kapan kamu akan mengerti?
          Aku menarik napas panjang. Nyatanya, aku hanya mampu meracaukan ini dalam diam. Entahlah, di hadapanmu aku begitu rapuh.
          “Salinlah cepat. Sebelum bel masuk berbunyi,” aku memberinya buku tugasku, yang juga baru saja aku selesaikan berkat hasil menyalin dari perempuan pemilik hatinya.

1 komentar:

Aul Howler's Blog mengatakan...

Baguuuuss :)

Posting Komentar