Rabu, 01 Agustus 2012

Apa Kau Membenciku?

“Apa kau membenciku?”
Pertanyaan macam apa ini? Tiga kata, tapi cukup untuk menembus dadaku ke sisi lain. Ya, apa aku membencinya? Biar aku pikirkan dan cari baik-baik.
---
          Semudah mengatakan cinta, semudah itu pula untuk mengatakan benci. Cinta tak berarti apapun, bila hanya terlontar melalui kata-kata dan janji tanpa tindakan untuk membuktikan. Apa itu berlaku untuk benci? Ya, setidaknya begitu menurutku.
          Punya alat untuk mengukur suatu kadar benci seseorang? Boleh aku pinjam? Karena hati dan pikiranku mulai tak sejalan. Bahkan, definisi benci melebur menjadi satu kesatuan dengan cinta di dalam otakku.
          Tindakan dan perlakuanmu padaku, serta kata-kata yang kau tuju untukku, semakin lama semakin membuatku muak. Haruskah sesakit itu? Goresan baru bernama luka mulai kau buat dalam hatiku. Sadarkah kamu?
          Pintu lain di hatiku dengan lemari penuh berkas-berkas kenangan tersimpan rapi. Tak pernah tersentuh sampai akhirnya pertanyaanmu memutar kunci yang masih terpasang di gagang pintunya, perlahan menguak kembali seluruh kenangan.
          Siapa itu? Itu... aku dan kamu? Dua orang yang terlihat sangat bahagia itu? Dengan tawa dan air muka canda yang amat kental, juga aura warna-warni di sekelilingnya. Benarkah? Ternyata benar. Aku lupa. Bukankah aku sedang menjelajah di ruang kenangan yang tadi pintunya baru saja terbuka? Tak heran ada sesuatu seperti yang tadi kulihat.
          Andai aku punya rekaman, atau minimal reka ulang semua kejadian manis yang lalu. Sudahlah, lagipula aku tahu itu tak ada artinya lagi.
          Oh iya. Dimana ya aku meletakkannya? Ini? Ternyata bukan. Ini tumpukan kepingan yang nanti akan aku buang. Wow, semakin banyak. Aku akan segera menyingkirkan ini dari hatiku. Kalau dibiarkan, mungkin gedung tertinggi ibu kota kalah besar dan tinggi dengan ini. Ini apa ya? Labelnya menyebutkan, ini... ‘rindu’.
          Aku mulai muak, rasa jenuh pun mulai melandaku. Kusimpan dimana lembaran catatan kelakuan burukmu, kumpulan kata-kata tajam darimu, serta cetak tatapan sarat rasa ingin agar aku enyah saja. Mengapa tak aku temukan? Dimana aku menaruh seluruh kebencianku padamu? Tak mungkin tak ada, pasti aku letakkan di suatu tempat di sudut hatiku ini.
          Aku benci mengakui ini, terlalu banyak lembar ‘sayang’. Muak! Ya, aku muak! Aku butuh rasa benci, setidaknya untukmu. Pertanyaanmu,... pertanyaanmu telak membuatku tak berdaya!
          Lalu, apa aku membencimu? Mengapa pertanyaan sederhana seperti ini tak dapat kutemukan jawabannya? Padahal, tak perlu menggunakan rumus persamaan bidang miring dan logaritma serta fungsi turunan untuk menjawabnya.
          Aku membencimu, aku membencimu, aku membencimu...
          Aku teriakkan kencang dan semakin kencang dalam hatiku. Aku harap otakku sejalan untuk kali ini, setidaknya dalam urusan tentangmu.
---
          “Hallo?”
          Ia menghadapkan wajahnya dan melambai-lambaikan tangannya tepat di depan mukaku. Apa aku baru saja melamun? Sepertinya.
          “Iya?” Jawabku singkat.
          “Jadi, apa kau membenciku?”
          Deg! Lagi-lagi perasaan ini, yang tadi membawaku jauh ke tempat yang entah apa itu.
          “...”
          “Kamu ini kenapa sih? Jadi, bagaimana? Kau membenciku?”
          Dasar! Menurutmu ini pertanyaan yang pantas dijawab ya? Setidaknya aku tak punya pemikiran yang sama denganmu. Bisa-bisanya aku begitu sulit untuk membenci orang sepertimu.
          “Hm... Ya! Aku membencimu. Bisa dibilang, sangat!”
          Woa, lantang sekali. Ternyata pembohong pemula sepertiku bisa berkata yang lain dari hatiku dengan lancar. Seperti tak pernah ada pertimbangan sebelumnya.
          “Lalu bagaimana denganmu? Apa kau membenciku?”
          “Haruskah aku jawab? Bukankah kamu sudah tahu jawabannya?”
          Aku mengerutkan keningku. Kalau aku tahu jawabannya, aku tak akan bertanya. Menyebalkan!
          “Aku serius.” Kataku, datar.
          “Apa wajahku tak tersirat tampang serius kali ini?” Dia menunjuk wajahnya sendiri.
          Perlahan, dalam hitungan detik, wajahnya sudah mendekat ke telingaku. Kemudian, berbisik.
          “Aku tak berbohong kali ini. Aku... membencimu!”
          Detik selanjutnya, kecupan singkat mendarat di pipi kananku. Hah? Dia... menciumku?!
          Dia berbalik dan mulai berjalan menjauh. Tapi, aku merasakan ada senyum sinis menghiasi bibirnya.
          Aku masih terdiam membeku. Mulutku diam tak berkata, tapi aku tahu ada perdebatan hebat yang sedang terjadi dalam hati dan otakku kala ini. Masih berusaha mencerna kejadian tadi, terutama kalimat singkatnya tadi.
          Dia membenciku? Lalu, apa arti... ah, aku malas mengucapkannya. Jadi, dia membenciku atau tidak? Dasar manusia super duper payah! Menyebalkan! Yang lebih menyebalkan lagi, mengapa aku tak bisa untuk membencinya? Kalau bisa, maka selesailah sudah masalahku.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Aq suka kata-katanya...
Hampir sama dgn kisah hidupku

Posting Komentar