Pernah sudah kucoba tuk
melupakanmu,
Namun, aku tak mampu, Kekasihku…
Apa
lagi yang bisa lakukan. Ketika kamu yang tiba-tiba memaksa ingin pergi, kamu
hilang ingatan, bagaimana bisa setelah selama ini aku bertahan dan kesakitan,
kamu terus bicara semua ini tak berarti. Sama sekali. Dan mudahnya kaubilang
semua akan lebih menyenangkan, kalau aku lebih baik meninggalkan segalanya di
masa lalu. Kamu, memaksaku, melupakanmu? Semenjak hari itu, tugas yang kamu
berikan itu, selalu aku lakukan. Hanya, aku tak mampu, Sayang.
Telah kucoba tuk jalani semua,
Rasa cintaku yang tulus untukmu…
Lalu,
sedang apa kita selama ini? Apa kau tak pernah melihat binar-binar ketulusan di
mataku. Aku ingat, pagi itu, saat kamu
berdiri tepat di depan pohon mahoni depan rumahku. Membawa sekotak bekal dengan
bubur ayam tanpa kacang di dalamnya. Iya, saat malam sambungan telepon kita
terputus, tepat waktu aku bilang rasanya aku akan pingsan dengan perutku yang
seperti ditusuk-tusuk jarum karena kelaparan. Maaf, aku tak bisa berhenti
memikirkan ini; sungguhkah kautulus pagi itu.
Jauh sudah kujalani arti hidup
ini,
Yang kuharap dapat buatku berdiri,
Biarkanlah kujalani semua,
Tanpa dirimu di sisiku lagi…
Andaipun
masih mungkin aku memelukmu, aku yakin hatimu tak di sana. Menguap ke mana
seluruh rasamu, Sayang. Aku tak mau berburuk sangka padamu, tapi, kurasa
perasaanku semakin menguar tak jelas. Sejak aku memutuskan untuk sibuk dengan
urusanku sendiri, demi masa depanku nanti, aku tahu saat itu kamu berbeda. Tidak,
bukan itu, tapi ketika kamu mengenal lagi cinta pertamamu. Ah… sayang sekali,
aku terlalu paham, tapi memang benar, matamu lebih benderang dari sebelumnya
waktu itu. Maaf, aku ingkari janjku; untuk tak pernah menangis. Kukira ini
pengecualian, karena kamulah penyebabnya.
Kutahu aku sungguh mencintaimu,
Tak mampu redupkan luka di hatiku…
Seseorang
yang melukai mana tahu rasanya terluka. Kamu tidak tahu! Tolong, dapatkah aku
bernapas sebentar. Kamu menerus berkata, “lupakan aku, itu lebih baik untukmu.” Malam
bagaikan mimpi buruk untukku, saat luka-luka yang kubalut seadanya malah makin
meradang. Aku terlalu banyak berandai. Andai kamu bisa diam dan mengerti, andai
kamu mau merasakan aku berdiri sendirian di sini, andai aku dapat pula membuat
luka di hatimu. Kamu beruntung, aku tak mungkin melakukannya, aku terlalu
mencintaimu, Pembuat Luka.
Sudah kucoba untuk melupakanmu,
Meski ku masih ingin mencintaimu,
Ini
bulan kelima setelah kamu melenggang pergi. Sungguh, tiap doaku selalu terselip
harapan agar kamu mau kembali. Rasanya, aku masih ragu apa kaupantas menetap di
otakku. Setelah selama ini… kurasa tidak. Namun, bila hatiku yang kutanya, ia
masih kecanduan rindumu, Sayang. Aku tahu aku harus (atau segera?) merapikan
kembali hidupku yang tak beraturan, menyapu kembali mana yang harus kulupakan. Tentangmu,
semua pantas kuingat. Setidaknya, itu yang kuinginkan. Sampai akhirnya
kenyataan menamparku; aku terlalu bodoh.
Biarkan kucoba untuk melupakanmu,
Walau ku tak mampu…
Jadi,
ya, baiklah, Sayang. Sebelum aku benar-benar tak ingin mengingatmu lagi, aku
ingin katakan, meski kamu begitu kejam, aku tahu kamu hanya tersesat dan salah
arah. Aku tahu, kamu tak pernah ingin menyakitiku, kan? Selamat berbahagia, dan
di sini, aku coba melupakan segala tentangmu, walau mungkin aku sama sekali tak
mampu.
This is
completely a fiction. Inspired by Judika – Ku Tak Mampu.
0 komentar:
Posting Komentar