“Kapan pulang?” tanyaku.
Dia hanya tersenyum.
Aku mengerdikan bahu, lalu kembali ke
duniaku.
Dé javu. Rasanya, aku
pernah mengalami hal ini. Memang pernah. Hanya saja, dulu waktu mengemasnya
secara sempurna dengan rasa berbeda; menyenangkan.
Aku meringis pahit dalam hati. Ada
perasaan yang selama ini tertidur, dan sekarang ingin melonjak keluar. Tentang
tanya yang mungkin punya makna tapi tak pernah punya jawaban. Sederhana.
Tentang aku yang terlalu naif melukai diriku sendiri, dengan bertahan bersama
cinta yang telah kadaluarsa dan memikul rindu sendirian.
“Aku mau pulang,”
Kini mataku hampir berlinang. Bukan
lagi karena aku kedinginan, tapi hujan seakan membasahi lagi kepingan luka-luka
lama yang belum mengering seutuhnya. Bahkan perihnya masih terasa sama.
“Iya. Sabar ya, belum reda,”
“Hujan kayak gini pasti lama,”
Bibirnya kembali hanya menyimpul
senyum. Ah, aku benci garis yang melengkung manis itu. Entahlah, punya daya
magis yang mampu melumpuhkan bara amarahku yang telah sampai di ujung lidah.
Akhirnya aku cuma menarik napas pasrah.
“Dingin?”
Aku mengangguk lemah.
Dia melepas jaket coklat yang membalut
hangat tubuhnya, kemudian melingkarkannya ke tubuhku. Lengannya terdiam
merengkuh aku yang menggigil. Aku memejamkan mata menikmati hangatnya yang
merasuk telak bahkan sampai ke sekujur tulang.
Pipiku menghangat. Dua aliran air
bening mengalir dari kedua mataku tanpa aba-aba. Aku menyandarkan kepalaku di
bahunya.
Dia menoleh. “Kenapa?”
Dia lantas menyentuh lembut pipiku dan
menyeka butir-butir air mata yang terus mengalir.
Kenapa? Iya, kenapa. Terlalu banyak
‘kenapa’ yang ingin aku tahu untaian jawabannya. Kenapa ada aku dan kamu yang
berpisah ketika cinta masih meletup-letup indah?
“Kenapa…” kataku.
“Ya?”
“Kenapa aku yang ditinggal?”
Dia terdiam lama. Aku masih menatapnya
lurus-lurus.
Dia menarik napas panjang. Helaan
napasnya terdengar berat. “Semua ini, mudah buatmu?”
Aku menggeleng.
“Mungkin menurutmu aku jahat.
Menurutku, waktu yang jahat,”
Aku menunduk dalam-dalam. Matanya
menyiratkan luka, aku tak mampu menatapnya lagi. Jadi, bukan hanya aku yang
terluka?
Waktuku dan waktumu. Waktu kita memang
tak pernah melekat cocok. Apa kisah aku dan kamu tak diciptakan dengan akhir
yang manis? Atau waktu dan takdir menyimpannya untuk kejutan istimewa di masa
nanti?
“Jadi, siapa yang kamu pilih; aku? Dia?”
Nyatanya kamu terang-terang
memilihnya. Menyisakan bayanganmu untuk tinggal bersamaku. Sepi perlahan
mendekat dan ikut hadir dalam hariku yang mulai kelam menghitam. Kesepian?
Tidak. Aku kehilangan.
Dia menutup mulutnya rapat-rapat. Diam
seribu bahasa. Bahkan suara titik air yang menetes terdengar lebih jelas.
Rengkuhannya tambah erat, tapi bibirnya makin mengatup kuat.
Tak adakah jawaban untuk pertanyaan
ini?
Ah, sudahlah. Rinduku memuncak dan ini
jawaban yang sepadan. Langit, mari aku temani tangismu.
0 komentar:
Posting Komentar