Gurauan? Bagaimana
itu bisa disebut gurauan jika melukai seseorang. Menurutmu lucu? Kutebak kamu
lupa di mana menaruh hatimu.
Entah angin apa yang menusuk-nusuk tubuhnya. Hari
ini dingin. Dia berpakaian tebal. Salju menerus turun di kota kejayaan Ratu
Elizabeth ini. Tulangnya meronta kedinginan, kulitnya menggigil. Bibir tipisnya
digigit sendiri hingga memutih. Tapi, pipinya panas dilewati aliran air yang
melaju dari bulat matanya.
Setidaknya salju lebih sejuk dari
hujan. Dia begitu benci hujan yang mengalirkan dengar resonansi titik-titik
kenangan di tiap tetesnya. Meski menghapus debu dari mukanya, tapi tidak luka
hatinya.
Terlalu takut: dia terlalu takut.
Banyak. Takut hujan, takut kehilangan, takut candaan.
“Dia? Wanita penggoda itu,”
Orang-orang di bawah pohon rindang itu
tertawa. Tampak puas. Dia tertunduk dan melangkahkan kaki-kaki lemasnya.
“Hati-hati. Jaga pujaan hati kalian
masing-masing, nanti diambil wanita itu,”
Suara tawa orang-orang itu kembali
membahana di sudut sana. Dia mengencangkan volum musik yang didengarnya dan
terus membaca komiknya.
Visualisasi tawa-tawa itu tak
mengering. Belati yang menjelma jadi lelucon itu menembus tepat hingga merobek
aliran nadinya.
Mereka yang tak mau dengar bagaimana
kejadian yang sebenarnya, yang justru mampu merauk sisa-sisa tawa mereka sampai
haru, tak pernah tahu perasaannya. Sisinya tak pernah dicerna. Dia melulu salah
–atau disalahkan?– oleh mereka.
Manusia mana yang hatinya tak pernah
terluka? Bahkan dia, terlalu terluka. Senyumnya membungkus seluruh teriakkan
lirih dari palung-palung tak berhingga yang perlahan meruntuh. Sejauh dia
berlari, bayang-bayang itu masih saja mengejar. Menetes bersama hujan. Melayang
bersama angin. Menghitam bersama malam.
Dia hidup di mana, raga dan jiwanya di
mana? Entahlah.
Tolong
bersahabat, Salju. Aku mohon.
0 komentar:
Posting Komentar