Ketika
udara dingin tak lagi mencekat kulit amat erat, melebihi rindu yang menerus
lekat, aku melekapkan tubuhku sendiri. Merintih perih teriakkan namamu dalam
hati. Seakan dalam tiga kali panggilan, kamu mendadak berada di sisiku. Menyeka
tiap butir air yang mengalir lurus dari mataku, atau biarkan dadamu kubuat
untuk meredam tangisku yang merebah. Ya, aku tahu. Ini mustahil.
Aku
menghela napas dalam, kemudian berjalan, kembali ke meja belajarku. Aku ambil
pulpen bertinta magenta kesayanganku, dan mulai menulis lagi. Sungguh, haruskah
aku lakukan ini? Apa berharga... untukmu?
Selesai. Kalimat terakhir telah kutulis. Aku baca kembali
dan...
“Bodoh!”
Aku mengepal brutal selembar kertas itu, lalu melempar
asal ke tempat sampah di sudut kamarku. Entahlah, aku tak tahu ini sudah ke
berapa kali.
Sebagian orang, memilih menjauhi duri setelah tergarit
tajamnya. Tapi, aku terdiam di tempatku. Menikmati sakitnya dengan penuh rasa,
sampai aku sadar, aku berdarah. Bahkan aku tetap diam, saat aku tahu kamu yang
sebarkan duri itu.
Menangis? Aku rasa air mataku tak lagi tersisa. Bagaimana
aku bisa bertahan jadi tumbuhan liar, ketika aku bisa jadi mawar segar untuk
yang lain. Dayaku tertahan, tak sanggup langkahkan kakiku demi menjauhi
bayangmu. Aku terus menyangkal, kalau yang mengikatku terjebak rasamu, adalah
takdir.
Ah! Aku mengacak-acak rambutku, lalu kembali duduk di
tepian tempat tidurku. Memandang lagi tetesan air dari langit yang masih betah
membasahi bumi.
“Kamu... apa kamu juga merindu, sepertiku? Seperti aku,
yang selalu riang menyambut datangmu, di alam mimpi.”
Ya, aku tahu. Pasti tidak. Aku menghela napas dalam, merebahkan
tubuhku ke kasur, lalu menenggelamkan kepalaku di sana. Sama sekali tak berniat
meneruskan tulisanku, untukmu. Yang berisi penuh rindu, yang kubiarkan
menggantung terhempas resonansi hujan yang menggema di luar. Semoga, sampai ke
tempatmu ya, Sayang. Iya, semoga.
1 komentar:
singkat, tapi mengesankan :) aku suka
Posting Komentar