Kalimat yang memekakkan telinga saling
berloncatan. Bahkan piring dan gelas kaca ikut berterbangan. Cacian, tuduhan,
bahkan hujatan. Entah apa yang tersirat dalam otak mereka.
Aku
menutup telingaku. Tak mengizinkan satu kata pun melintas. Mata juga
kupejamkan. Menahan air yang hendak meluncur.
“Kau
mementingkan dirimu sendiri. Egois!!!”
“Terus
saja bilang begitu. Sadar, kaulah yang egois!!!”
Kutekan
makin kencang telingaku.
“Aku
egois? Lalu kau apa? Urusi saja jalangmu itu!!! Wanita penggoda penghancur!”
Plak...
Tamparan
keras sepertinya baru saja mendarat. Aku menunduk makin dalam dan mengunci
mataku kuat. Walau tak terlalu kuat menahan aliran air bening yang turun
seketika.
“Jaga
ucapanmu!!! Aku muak denganmu!”
Bantingan
keras berasal dari pintu terdengar. Nampaknya ada yang angkat kaki dari situ.
Sedetik kemudian, senandung tangis yang memenuhi ruangan. Tangis yang
terkandung unsur lelah, juga luka dan kecewa. Aku ikut menangis –dalam diam.
Hidangan
mengunggah selera tersedia dihadapanku. Tapi aku sama sekali malas bahkan untuk
menyentuhnya. Aku bahkan berharap tak disini.
“Apa
yang kau lakukan dengan foto di saku baju kerjaku?”
“Fotomu
bersama jalang itu?!”
Gebrakan
meja mengagetkan.
“Sudah
berapa kali aku bilang?! Jaga ucapanmu!!!”
Ah!
Bukankah ini saatnya makan? Ada apa dengan mereka ini. Siapa lagi? Tentu saja
kedua orang tuaku.
Apa
mereka tak pernah menganggap keberadaanku? Mungkin aku disangka boneka tak
bernyawa. Tidak melihat, mendengar, dan merasa. Ini rumah, atau penjara?
Sepertinya penjara pun tampak lebih nyaman.
“Aku
sudah tidak tahan lagi. Kalau itu maumu, baik aku akan bersama dia!”
“Silahkan!
Aku mau cerai!”
Kalimat
itu takkan pernah terbuang dari ingatanku walau untuk seumur hidup. Kumpulan
kosakata terburuk sepanjang yang pernah terdengar olehku. Dan, awal dari
kelamnya masa remaja yang mestinya indah.
Mereka
yang diapit oleh keluarga yang damai dan suasana rumah nyaman; izinkan aku iri
pada mereka. Andai aku punya kesempatan untuk memilih posisi hidup yang aku
inginkan.
Tak
pernah terbayang orang tuaku akan berpisah. Aku hampir maklum dengan ‘kicauan’
mereka setiap hari, juga terbiasa. Bahkan lebih baik. Selanjutnya, aku akan memilih
–atau dipilih– tinggal bersama Bunda, atau ikut Ayah. Bukan pilihan mudah,
sangat bukan pilihan mudah.
Aku
merasa diabaikan, dicampakkan, bukan pilihan, dan tak diinginkan. Pernah
terbesit dalam otakku, mengapa Ayah tak memilihku dan pergi dari rumah? Tapi
kalau aku ikut, Bunda sama siapa? Kemudian aku melakukan yang aku bisa;
menangis.
I
watched you die, I heard you cry
Every night in your sleep
I was so young, you should have known better than to lean on me
You never thought of anyone else
You just saw your pain
Every night in your sleep
I was so young, you should have known better than to lean on me
You never thought of anyone else
You just saw your pain
Setiap
malam bisikan tangis Bunda memenuhi kamarnya. Aku masih terlalu kecil untuk
memahami perih dan pahitnya perpisahan. Kubiarkan telingaku mendengar, tanpa
berusaha menghibur atau sekedar bertanya. Rasanya, percuma.
Hidupku,
berubah, sejak saat itu. Aku tak pernah dibasuh kehangatan keluarga lagi.
Bahkan lupa rasa kasih dan sayang. Bentuk perhatian sederhana dari kedua orang
tua pun, lenyap sama sekali. Ah, merananya hidupku.
---
I will not make the
same mistakes that you did
I will not let myself
cause my heart so much misery
Déjà vu.
Aku
terperangah. Kata tak lagi terlontar. Aku membisu didekap hal fana. Entahlah,
sepertinya aku kenal saat ini. Tak asing lagi bagi jiwa rapuhku.
Terlihat
anak perempuan manis di sudut pintu saat aku menoleh. Matanya nampak basah,
hidungnya memerah, dan napasnya terseguk. Guling kecil yang dibawanya tampak
terjerat erat dalam pelukan. Lagi-lagi, bukan bagian yang tersisih dari
ingatanku.
Di
depanku, teriakan tak lagi terdengar. Hanya gerak dagu juga tatapan yang
berapi. Mengapa di saat seperti ini, terpancar jelas pada dua bola mata itu
cinta yang begitu dalam?
And
now I cry, in the middle of the night
Over the same damn thing
Over the same damn thing
Nyawaku seperti baru
kembali. Dari perjalanan waktu. Akhirnya, aku sudah sadar keadaan.
Tiap
doaku, aku berharap waktu berlalu. Hingga aku temukan lagi secercah kebahagiaan,
yang pernah hilang. Cukup kesengsaraan untuk selama ini, aku hanya ingin pergi.
Menemukan lembaran baru.
Perjuangan Bunda, membuatku menjadi
wanita yang tegar dan kuat. Sampai aku merasakan berada di posisinya. Sekarang aku
sangat mengerti perasaannya, terutama bagian terpedih. Entahlah, kini alasanku
menitihkan air mata, sama seperti Bunda. Mengapa ada pertengkaran di tengah
pengakuan saling cinta?
Ia masih terus memaki, memuntahkan
kata tak enak bagi hati. Tapi aku, cuma mengulas senyum tulus. Biarlah ia puas,
hingga tak perlu lagi memendam. Beberapa saat berlalu, mulutnya berhenti
menguntai kata. Tergurat air muka heran di wajahnya. Tatapannya pun tak sepanas
tadi.
“Aku mencintaimu. Maafkan aku ya.”
Kupeluk erat tubuhnya. Ia tersentak,
lalu detik selanjutnya membalas pelukanku. Aku bisa merasakan ia tengah
tersenyum.
Gadis manis itu menghampiri kami. Aku juga
menenggelamkan kesayanganku yang berharga itu dalam pelukan hangat.
“Maafkan Mama, sayang.”
Aku berbisik di telinga mungil, dan
terasa mulai memanas kedua pipiku.
Betapa bodohnya aku. Menyia-nyiakan
tawaran kebahagiaan yang selama ini aku cari. Bertumpu pada masa suram,
membutakan hal indah di depan mata. Bahagia itu tak murah ya. Aku harus
merasakan hatiku dicambuk dulu baru bisa mendapatkannya.
Terimakasih, Bunda. Perihnya perpisahanmu
mengajariku banyak arti kehidupan; bagaimana cara menjadi tegar dan bertahan. Aku
takkan melupakan pelajaran berharga ini. Hanya karena aku pernah sakit hingga
tak bisa bangkit, aku bukan seorang egois yang tega membiarkan orang yang
kucinta merasa juga.
Keluarga
itu, segalanya.
Because
of you
I never stray too far from the sidewalk
Because of you
I learned to play on the safe side
So I don't get hurt
I never stray too far from the sidewalk
Because of you
I learned to play on the safe side
So I don't get hurt
Because
of you
I find it hard to trust
Not only me, but everyone around me
Because of you
I tried my hardest just to forget everything
Because of you
I don't know how to let anyone else in
Because of you
I'm ashamed of my life because it's empty
Because of you
I am afraid
I find it hard to trust
Not only me, but everyone around me
Because of you
I tried my hardest just to forget everything
Because of you
I don't know how to let anyone else in
Because of you
I'm ashamed of my life because it's empty
Because of you
I am afraid
Inspired by: Kelly Clarkson - Because of You
0 komentar:
Posting Komentar