Angin malam menampar lembut. Kerlipan
entah bintang atau satelit di langit kelam, menambah voltase mataku untuk tetap
terjaga. Deru kendaraan bermotor sesekali tertangkap telinga. Hawa dingin
menusuk sampai ke kerangka tubuh. Tapi, bukan aku yang menggigil. Melainkan
hatiku.
Aku masih terduduk di kursi balkon
kamarku. Menikmati tiap belaian sang angin sambil satu-dua kali memejamkan
mata. Kulirik jam yang berada dalam kamar. Sudah jam 11 malam? Berarti kurang lebih 2 jam sudah aku disini.
Termenung dalam rangkulan sepi. Terbunuh oleh memori. Tenggelam bersama
kenangan.
Air bening membanjiri pipiku yang
mulai terasa memanas. Dadaku sesak terhimpit hal yang masih sulit aku terima
hingga detik ini. Kembali, ‘kenapa’ lengkap dengan tanda tanya besar menggelintar
dalam benak.
Kenapa kamu berlalu, kenapa kamu
pergi, kenapa kamu tinggalkan aku sendiri? Ketika aku jatuh begitu dalam di
lautan kasih dan cintamu. Larut atas limpahan sayangmu. Terlena dengan tawaran
kejutan romantis serta guyuran perhatianmu. Aku merasa buliran air dari kantung
mata semakin tumpah ruah.
Dasar bodoh, kamu begitu bodoh!
Harusnya dulu kau tak perlu lakukan hal itu. Yang harusnya menjadi sebuah
kejutan manis, malah menjadi guncangan bengis berbumbu amat pahit. Mengoyak
hatiku tanpa ampun sejak pertama kabarnya sampai di daun telinga.
---
“Nanti
malam kamu ada di rumah?”
“Sepertinya.
Ada apa?”
“Tunggu aku jam 5 ya.”
“Oke.
Ada apa sih, tumben?”
“Tunggu aja. Jangan lupa siapkan makanan yang
banyak ya! Bye, Vinna.”
Sambungan
diputus dari seberang sana, menyisakan rasa penasaran untukku. Aku lihat jam
yang melingkar di tangan kananku; jam 1 siang. Apa yang akan dilakukan Odi sore
ini? Tumben dia menelpon dan bilang akan ke rumah. Tanpa sadar aku
senyum-senyum sendiri. Hal kecil ini membuatku melayang sampai hilang akal.
Sebenarnya, kau dan
Odi itu apa? Ah. Kalimat tanya itu terus
berseliweran di otakku. Harus kuakui kebenarannya juga. Aku, dan Odi, itu apa?
Aku
tak terlalu pandai urusan hati dan apapun berbau cinta. Bahkan milikku sendiri.
Dan sekarang, rasa bingung menyerbu dan membabibuta menyerangku. Yang jelas,
ada getaran menyenangkan saat bercengkrama dengannya. Ada rasa hangat saat
kutatap kedua bola matanya. Hatiku menagih sosoknya saat jarak membentang dan
memisahkan. Aku menyayanginya, mungkin?
Aku
dan dia. Banyak waktu yang telah dihabiskan bersama. Memecah hening dengan
renyahnya tawa. Mengusir sepi, membagi suka dan duka, sambil menebar senyum
manis tak henti. Atau sekedar bersanding tanpa sepatah kata.
Dia;
Segudang kejutan. Punya romantis. Penuh ide untuk mengisi hariku dengan gelak
tawa. Tak pernah habis rasa perhatian. Dan sangat sempurna untuk seorang yang
dikatakan menyayangiku.
Lengkung
senyum itu selalu membuatku terhantui rindu. Tampaknya memang benar, aku
menyayanginya. Lalu, apa Odi juga menyayangiku? Rasanya janggal bila tidak.
Namun apa boleh buat, sampai detik ini tak pernah terucap dari bibirnya kalau
dia punya rasa yang sama denganku. Entahlah, aku hanya takut dia diambil orang.
Ya sudahlah! Toh dia juga bukan milikku? Bukan kekasihku? Tapi,... Ah! Terlalu
banyak tapi.
Aku
berdesah. Dengan semua kekisruhan pikiran serta kejelasan perasaan. Kemudian
kutinggalkan dunia nyata, lalu berjalan perlahan ke dunia mimpi. Aku terlelap,
didekap gelisah juga sekeping bahagia yang berbaur jadi satu.
---
“Hey,
jadi nggak?”
Dengan
cepat kutekan tombol send. Aku
menunggu beberapa saat.
“Odi,
lagi dimana? Katanya tadi sore mau ke rumah.”
Lagi,
kutekan tombol send. Pesan kedua
terkirim. Dan tak kunjung ada balasan.
Sabar
telah kucurahkan maksimal. Kali ini, aku telepon sederet nomor itu. Kembali aku
harus menunggu. Dan, tak diangkat! Akhirnya aku lempar handphone –dan diriku– ke tempat tidur. Kau menyebalkan Odi!
Pukul
8 malam, telah lewat 3 jam dari waktu yang dijanjikan Odi. Kemana sih dia?
Entahlah, dibalik perasan kesalku, tercipta khawatir juga. Selama ini dia belum
pernah membatalkan janji. Jika memang harus, Odi pasti minta izin resmi dariku.
Aku
menenggelamkan diriku dalam selimut tebal. Memaki hatiku yang kalang kabut atas
ketidakhadiran Odi sore ini. Juga menyesali tindakannya yang ingkar janji.
Detik itu juga, semuanya tercurah jadi tangis. Tangis pertamaku karenanya.
---
“Odi!
Kemana saja kamu?!”
Odi
hanya tersenyum.
“Kamu
tak tahu aku menunggumu?! Menyebalkan!”
Odi
hanya tersenyum lagi. Kemudian dia berjalan mendekat ke arahku, “Maaf ya.”
“Maaf
bila aku membuatmu menunggu. Maaf bila aku membuatmu kesal. Maafkan semua
kesalahanku ya, Vinna. Aku cuma mau bilang,...”
Odi memelukku erat, “,... aku mencintaimu. Aku
sangat mencintaimu.”
“Jaga
dirimu baik-baik, Vinna.”
“Odi?
Odi...?! Odi kamu mau kemana?”
Suara
langkah Odi terdengar jelas. Dia berjalan jauh, jauh, dan semakin jauh dariku.
Lalu semuanya gelap. Aku kebingungan mencari setitik cahaya. Oksigen nampaknya
menipis, paru-paruku terasa sakit. Tidak ada kehangatan, dinginnya merobek
permukaan kulit. Dan Odi tak jua menolongku.
Nafasku
terengah. Aku bangkit dan mengatur ritmenya. Ternyata tadi itu mimpi.
Syukurlah. Mimpi itu meninggalkan rasa sesak dalam dadaku.
Terdengar
ketukan di pintu kamarku, “Vinna, bangun. Sarapan, sayang.”
Untunglah
ini hari minggu, aku bisa sedikit santai. Setelah Mama berucap itu, aku segera
beranjak ke kamar mandi. Sekalian membasuh hati dan pikiranku supaya tenang.
“Kamu
mimpi apa sih?” Tanya Mama begitu aku duduk di kursi meja makan.
“Kenapa,
Ma?”
“Pokoknya
kamu sampe teriak-teriak ‘mau kemana?’ terus.” Mama tertawa.
Aku
hanya mencibir Mama yang terus meledekku. Kuambil sepiring nasi goreng yang
telah Mama siapkan, dan melahapnya tanpa sisa.
Handphone
yang kutaruh di meja makan berdering. Nomor siapa ini? Tak dikenal. Langsung
aku tekan tombol answer.
“Hallo?”
“Benar ini Vinna?”
Perasaanku
saja, atau memang orang yang berada disana terdengar parau?
“Iya.
Maaf, ini siapa?”
“Saya Ibunya Odi, nak Vinna.”
“Oh.
Iya, tante. Ada apa?”
“Odi,...”
Kali
ini terdengar jelas dari suaranya, orang yang menelponku –Ibu Odi– menangis!
Beliau tengah mengatur dinamika napasnya mungkin. Tapi, apa alasannya menangis?
Aku
ikut terdiam. Hingga beberapa detik terlewat, baru mulai ia melanjutkan
kalimatnya.
“...,
Odi sudah pergi untuk selamanya.”
“Maksudnya?”
Aku belum bisa mencerna perkataannya barusan.
“Odi sudah nggak ada, Vinna. Odi meninggal
dunia.”
Handphone
terlepas dari genggamanku dan terjun bebas ke lantai. Tulangku lenyap dari
tubuh. Aku terdorong oleh pukulan telak pada seluruh ragaku sampai ke tembok.
Dan, tergelongsor lemah tak berdaya.
Ini
main-main kan? Atau aku salah dengar? Tidak mungkin! Ini tidak mungkin!
Tulang
rusukku mungkin menciut, dadaku terasa sangat sesak. Meteor besar mendarat
tepat di hatiku. Tangisku pecah. Menggema bersama berton-ton rasa tak percaya.
Aku abaikan berondongan tanya dari Mama. Aku tak tahu apa yang kutatap, semua
mengabur.
Rasanya
baru kemarin kamu akan bertatap muka denganku. Mengapa begitu mengagetkan? Kamu
telah tiada, benarkah itu? Inikah kejutan yang kemarin kamu siapkan? Semua
terus berotasi di otakku seraya banjir air dari mataku semakin deras.
Inikah
arti mimpinya? Kamu pergi untuk selamanya?
---
Terimakasih untuk
selama ini, untuk segalanya.
Terimakasih untuk
canda tawamu.
Terimakasih untuk
senyum manismu.
Kamu membuat hidupku
berbeda,
Lebih mempunyai
warna,
Lebih memiliki arti,
Dan lebih banyak
kebahagiaan.
Jaga dengan baik
boneka pemberianku ini ya.
Anggap saja ini aku,
Jangan sampai dia
hilang,
Jangan sampai dia
rusak,
Anggap saja ini hati
dan perasaanku.
Aku sangat
mencintaimu, Vinna.
Maaf membuatmu
menunggu aku mengatakan itu.
Karena aku, juga
menunggu saat rasa yang kamu miliki sebesar milikku.
-Odi-
Nb: hari ini resmi
tanggal jadian kita ya :p
Aliran
air bening dari bendungan mata tak bisa lagi kutahan. Bahkan sampai sesegukan.
Aku memeluk rapat tanpa celah panda bermata hitam ini. Kembali, sepucuk surat
terakhirmu terhujani perasaanku. Bergabung dengan gumpalan jutaan rindu dan
cinta yang tak tersampaikan.
Miris
aku membayangkannya. Harusnya kamu masih disini. Harusnya hal tragis itu tak
menimpamu, karena aku.
Darah
yang berceceran di jalan kala itu, aku tak membutuhkannya. Aku tak mengharapkannya!
Satu buket mawar dan sekotak coklat yang habis tergilas. Ingin kuteriakkan, aku
tak butuh semua itu sama sekali kalau tahu berujung begini. Cukup kamu disini.
Waktu terasa semakin
berlalu, tinggalkan cerita tentang kita.
Secara
misterius DVD player menyala, dan
mengalunkan sebuah lagu yang tak asing di indra pendengarku; Peterpan – Semua
tentang kita.
Aku
sering dengar, tapi tak pernah sedalam ini maknanya. Lalu, mengapa lagunya
terputar sendiri?
Akan tiada lagi kini
tawamu, tuk hapuskan semua sepi di hati.
Melodinya
mengalun indah, liriknya masuk langsung ke aliran darah. Aku terpejam, memutar
balik hari bahagiaku bersama Odi. Entahlah, aku mungkin gila. Aku merasa Odi
ada disini. Tapi dalam alam yang berbeda.
Ada
cerita tentang aku dan dia, dan kita bersama saat dulu kala
Ada cerita tentang masa yang indah, saat kita berduka saat kita tertawa
Teringat di saat kita tertawa bersama,
Ada cerita tentang masa yang indah, saat kita berduka saat kita tertawa
Teringat di saat kita tertawa bersama,
Ceritakan
semua tentang kita...
Inspired by: Peterpan - Semua Tentang Kita
0 komentar:
Posting Komentar