Aku tak mampu bedakan mana yang awal dan akhir. Aku
memutuskan yang paling menyentuh lukaku adalah ‘akhir’, namun, pun aku tak
mampu mengelak ‘awal’ mengambil porsi sama dalam membuat luka. Sama perih,
sama-sama akan sulit tuk diobati, memberikan cerita sendiri-sendiri dari sudut
pandang tiap pelaku di dalamnya.
Aku diam di satu
waktu. Tanpa kusadari, aku mendekat pada ujung-ujung duri, di sana, aku melihat
keindahan yang memanggilku untuk terus mendekat, namun, aku hanya belum
mengetahui ada luka yang juga menungguku. Satu sosok sempurna. Dengan segala
yang dimilikinya. Aku hanya terkadang lupa, adakah yang pernah tahu apa yang
ada dalam hati seseorang?
Aku menyikapi
seadanya. Tentang waktu yang memberiku kesempatan lagi menjelajahi makna
sesungguhnya dari cinta. Ah, aku sudah lama berhenti mengurusi hal ini, karena
semakin lama aku tahu satu-satunya yang diberikan cinta, apalagi kian nanti ia
pergi, adalah luka yang menemaniku sendiri. Satu-satunya ketakutan terbesarku
adalah aku takut menerima kenyataan andai aku kembali dijadikan tempat
persinggahan, tempat peristirahatan hati-hati yang kelelahan, lalu, apa? Pada akhirnya,
aku kembali berdua dengan bayanganku sendiri. Selesai.
Siapa sangka aku
terjerat sekarang? Dalam kisah
lama seseorang yang butuh penyegaran pada hatinya yang sesak. Ia memunggungi pemanis
hidupnya, mengaku tak mampu lagi untuk sedetik lagi mengulang bunyi tawanya,
mengaku luka hatinya lebih parah dari siapa pun di dunia, ah, hanya orang bodoh
yang percaya itu nyata. Dan aku, satu-satunya orang bodoh itu.
Bayangmu yang semu sempat memerhatikanku dan
memberikan aku sedikit harapan kelabu. Aku sudah lama tenggelam dalam kelam,
dalam sakitnya luka pemberian angin-angin yang hanya melewatiku sekejap, ah,
mungkin takkan ada seorang pun yang mengerti. Kata-kataku yang terlalu sulit
atau memang kisahku hanya aku yang mampu memahaminya sendiri. Mungkin Tuhan
menyimpan satu untukku di kemudian hari. Yang pasti, kau telah memilikinya
sekarang. Milikmu paling berharga dan paling indah yang tak mungkin semudah itu
kaulepas. Meski, kadang hati kecilku, ah, bukan, mungkin lebih tepat egoku,
menginginkan juga pelukmu.
Aku sangat paham saat-saat untuk mengalah. Iya,
mengalah. Aku tak pernah mengartikan ‘mengalah’ adalah kekalahan telak, kurasa
lebih tepatnya ialah membiarkan seseorang menang demi bahagianya yang nanti
suatu saat akan datang hari di mana ia sadar siapa yang sebenarnya kalah. Hanya
saja, hatimu tak mampu semudah itu mengalah, terlebih lagi, ketika satu-satunya
kekuatanmu yang tersisa hanyalah luka. Entahlah, menyenangkan ketika semua
berbahagia.
Meski membuatku satu-satunya yang terlupakan.
Inspired by: Voiceless
and Soulastic – Bukan Dirimu
0 komentar:
Posting Komentar