Ini
hanya satu-dua kata yang tak perlu kau renungkan. Maksudku, ya, kata-kata yang
dibuat untuk diabaikan. Jemariku sendiri tak tahu akan ke mana, atau, mungkin
akan jadi kalimat-kalimat pilu yang butuh kaupeluk. Bisa jadi, gemuruh sendu
dari sang perekanya, di bawah gerimis tipis beraroma sedap tanah basah. Entahlah,
setelah hari-hari, minggu-minggu, bulan-bulan, mungkin tak terkatakan lagi kapan
terakhir aku jatuh dalam ribaan seseorang yang melarikan diri. Dari apa? Mungkin mencari tempat bernaung yang lebih
teduh. Mungkin.
Sisa-sisa harapan itu tak lagi kugenggam. Aku juga telah
mengubur seluruh lukaku. Lalu, apalagi? Spasi tiap jemariku masih kubiarkan tak
terisi. Aku biarkan waktuku terbunuh untuk meredam apa-yang-harus-kulupakan
ketika ia memaksa hadir dalam otakku. Aku menangisi bulan purnama ketika kurasa
ia muncul terlalu cepat. Berbicara tentang itu, apa sinar dua bola matamu masih
seterang purnama?
Salam.
Hidupmu
lebih penting daripada tiap kata dalam paragraf ini. Maaf, tapi aku tak berniat
kembali masuk dalam hidupmu.
0 komentar:
Posting Komentar