Dunia ini panggung drama dari segala
macam sandiwara. Berperan sebagai diri sendiri dengan kostum serta dialog
seadanya seakan pilihan sulit. Banyak yang menuntut dan memilih kesempurnaan,
seakan lupa bahwa tak ada satupun yang sempurna di dunia ini.
Helaan napas dalam kusamarkan. Padahal,
ada hal yang menyakitkan dalam hembusannya. Entahlah, aku merasa sedikit
sensitif belakangan ini.
Inilah
aku. Bagaimana ya aku mendeskripsikan diriku sendiri? Yang pasti, aku suka
dunia musik dan tulis menulis. Aku tak menyebut diriku pintar, tapi aku selalu
punya perspektif sendiri tentang apapun. Termasuk bagaimana jalan pikiran
seseorang, yang baru aku sadari ternyata isi pikiran seseorang kadang tak sama
dengan milik kita.
‘Jangan jadi apa yang mereka inginkan hanya
karena mereka akan menyukaimu. Jadilah dirimu sendiri, maka kamu akan tahu
siapa yang menyukaimu karena kamu.’
Sepertinya
kalimat mutiara ini jarang sekali terealisasi ya di masa sekarang. Tak perlu
memandang jauh hingga ke seberang lautan. Coba lihat dirimu. Sudahkah kamu
menjadi kutipan tersebut? Naif bila memungkirinya. Aku pun tak menampikkan hal
ini. Kadang aku pun masih merasa masih menjadi apa yang orang inginkan, bukan
apa yang aku inginkan.
Aku
masih bersikap seperti apa yang mereka ingin aku bersikap.
Aku
masih menunjukkan seperti apa yang mereka ingin lihat.
Aku
masih bersuara seperti apa yang mereka ingin dengar.
---
Hingga
kini aku masih tidak menyangka, bagaimana susunan dua-tiga kata dapat merobek
hati dan menghancurkan tembok percaya diri. Siapa yang mengenalku? Mereka pasti
tahu aku suka lelucon dan susah untuk serius. Tapi, dalam beberapa hal, mengapa
aku begitu sensitif? Aku baru tersadar ternyata ada bagian dari diriku yang tak
suka dijadikan bahan lawakan. Hanya aku atau semua juga memiliki bagian ‘rawan’
pada hatinya yang bila tersentuh akan hancur?
Tak
ada... ah, jangan. Belum ada –ini lebih baik– yang bisa dibanggakan dariku. Pandai
dalam mata pelajaran? Satu-satunya yang kubisa hanya English dan itu pun belum
sempurna. Indahnya rupaku? Aku tak punya paras yang cantik, rambut yang
bersinar, tubuh yang indah, dan aku tak menarik. Satu yang aku syukuri, aku
masih bisa tersenyum atas kekuranganku. Setidaknya senyumku pernah mengalihkan
dunia seseorang.
Everyone perfect in their
own way. Kenyataannya, semua orang merasa dirinya sempurna
dibandingkan dengan yang lain. Mungkin itu yang menyebabkan mereka bisa dengan
mudah mencaci dan meremehkan seseorang. Mereka berucap tanpa pikir panjang, dan
akhirnya terbentuk luka pada hati lawan bicaranya.
Adakah
orang pernah merenungkan kalimat yang mereka lontarkan menyakiti atau tidak? Lagi-lagi,
jalan pikiran seseorang tak selalu seperti yang aku pikirkan.
Aku
bukan seorang fashionista. Wajar bila
aku tak seperti mereka yang modis. Yang menurutku bagus, akan kukenakan. Yang menurutku
nyaman, akan kugunakan. Tak peduli bagaimana bentuknya, asal simple dan nyaman tak jadi masalah. Ini bagian
dari cara menjadi diriku sendiri.
Ya,
sama seperti yang ada di otakku. Semua tak sependapat denganku. ‘Penampilan itu
segalanya’, bahkan beberapa punya pemikiran ini. Aneh dan kuno. Seperti terbiasa
aku diberi komentar yang semacam ini. Baru aku sadari, aku punya sisi sensitif
yang menurutku tidak etis bila dijadikan bahan candaan; fashion.
---
Aku
tidak cantik dan menawan. Bisa kita lihat kan di jaman sekarang ini, fisik
seperti segalanya. Tanpa mereka sadar, wajah rupawan tak menjadi jaminan
hatinya pun rupawan.
Aku
benci menerima kenyataan bahwa sebagian orang mengaku ‘cinta’ pada mereka yang
punya tampang. Maksudku, lihat saja orang-orang tampan/cantik banyak dicintai
pengaggumnya. Dan, terkadang itu membuat mereka besar kepala dan lupa daratan.
Iri?
Sedikit. Ingin menjadi mereka? Kadang. Percaya diri berkurang? Ya.
Tapi
itu tak membuatku mengurungkan niatku untuk menjadi diri sendiri. Konsisten dan
menjaga komitmenku untuk tetap menjadi diriku yang sederhana.
Mereka
harusnya sadar, ketulusan yang dibutuhkan dalam cinta. Bukan cantik yang
membuat cinta, tapi cinta yang membuat cantik.
Bicara
cinta, tak jauh dengan urusan jodoh. Semua manusia sudah punya pasangan
hidupnya masing-masing. Hanya tinggal menemukan dan ditemukan. Butuh proses
kan?
Banyak
orang yang sudah bertemu jodohnya, ada juga yang masih dalam pencarian, dan
sisanya sudah lelah mencari dan hanya akan menunggu sebab mereka tak khawatir
tidak ‘kebagian’ jodoh. Dan aku manusia yang terakhir itu.
Pikirkan
dulu masa depan, lalu sukses, maka tanpa dicari pasti mereka yang merupakan
jodohmu akan menemuimu. Hidup terus berjalan. Tentu tidak ada yang mau hidupnya
jalan di tempat kan?
Mengapa
masih banyak orang yang –katanya– tampan/cantik meremehkan orang? Hanya karena
kalian sekarang punya pasangan, dan aku tidak, bukan berarti aku boleh
diremehkan. Mereka yang seperti itu hanya tak tahu jalan yang telah aku lewati.
Beratnya melawan dan membuang sebuah rasa yang tak bisa ditampikkan. Lagipula,
Tuhan sudah mengatur pasangan setiap manusia.
Mereka
yang belum pernah merasakan sakitnya luka hati, tak paham bagaimana
memperlakukan orang yang selalu ditemani luka hati. Dalam hal percintaan,
mereka yang belum punya pasangan sensitif dengan kata ‘tidak laku’.
Harusnya
kalimat kasar itu dilembutkan dan menggantinya dengan ‘belum bertemu orang yang
tepat’. Apa salahnya dengan ‘belum bertemu orang yang tepat’? Apa menunggu
cinta dan kasih sayang yang tulus tanpa kepura-puraan adalah hal yang abnormal? Mereka yang menjawab iya hanya
belum pernah tahu rasanya luka.
Sampai
kemudian aku menyadari point lain yang
merupakan sisi sensitif yang merapuhkan hatiku; love and mate, cinta dan jodoh.
---
Dasar
dunia, penuh dengan drama. Mengaku sempurna di atas keterbatasan orang lain. Mencaci
atas dasar ‘aku lebih baik darimu’.
Lagi-lagi
hembusan napasku terasa berat. Menyakitkan membayangkan kerasnya sepak terjang
dunia di luar sana. Tapi itu takkan merobohkan benteng komitmenku untuk menjadi
diri sendiri, meski pilar rasa percaya diriku mulai terkikis.
1 komentar:
wawww... realita khidupan sngat tergmbar dalam artikel ini,, bgtu menginspirasi diriku .. thankss
Posting Komentar