Pertanyaan
macam apa ini? Tiga kata, tapi cukup untuk menembus dadaku ke sisi lain. Ya,
apa aku membencinya? Biar aku pikirkan dan cari baik-baik.
---
Semudah mengatakan cinta, semudah itu
pula untuk mengatakan benci. Cinta tak berarti apapun, bila hanya terlontar
melalui kata-kata dan janji tanpa tindakan untuk membuktikan. Apa itu berlaku
untuk benci? Ya, setidaknya begitu menurutku.
Punya alat untuk mengukur suatu kadar
benci seseorang? Boleh aku pinjam? Karena hati dan pikiranku mulai tak sejalan.
Bahkan, definisi benci melebur menjadi satu kesatuan dengan cinta di dalam
otakku.
Tindakan dan perlakuanmu padaku, serta
kata-kata yang kau tuju untukku, semakin lama semakin membuatku muak. Haruskah sesakit
itu? Goresan baru bernama luka mulai kau buat dalam hatiku. Sadarkah kamu?
Pintu lain di hatiku dengan lemari
penuh berkas-berkas kenangan tersimpan rapi. Tak pernah tersentuh sampai
akhirnya pertanyaanmu memutar kunci yang masih terpasang di gagang pintunya,
perlahan menguak kembali seluruh kenangan.
Siapa itu? Itu... aku dan kamu? Dua
orang yang terlihat sangat bahagia itu? Dengan tawa dan air muka canda yang
amat kental, juga aura warna-warni di sekelilingnya. Benarkah? Ternyata benar. Aku
lupa. Bukankah aku sedang menjelajah di ruang kenangan yang tadi pintunya baru
saja terbuka? Tak heran ada sesuatu seperti yang tadi kulihat.
Andai aku punya rekaman, atau minimal
reka ulang semua kejadian manis yang lalu. Sudahlah, lagipula aku tahu itu tak
ada artinya lagi.
Oh iya. Dimana ya aku meletakkannya?
Ini? Ternyata bukan. Ini tumpukan kepingan yang nanti akan aku buang. Wow,
semakin banyak. Aku akan segera menyingkirkan ini dari hatiku. Kalau dibiarkan,
mungkin gedung tertinggi ibu kota kalah besar dan tinggi dengan ini. Ini apa
ya? Labelnya menyebutkan, ini... ‘rindu’.
Aku mulai muak, rasa jenuh pun mulai
melandaku. Kusimpan dimana lembaran catatan kelakuan burukmu, kumpulan
kata-kata tajam darimu, serta cetak tatapan sarat rasa ingin agar aku enyah
saja. Mengapa tak aku temukan? Dimana aku menaruh seluruh kebencianku padamu? Tak
mungkin tak ada, pasti aku letakkan di suatu tempat di sudut hatiku ini.
Aku benci mengakui ini, terlalu banyak
lembar ‘sayang’. Muak! Ya, aku muak! Aku butuh rasa benci, setidaknya untukmu. Pertanyaanmu,...
pertanyaanmu telak membuatku tak berdaya!
Lalu, apa aku membencimu? Mengapa pertanyaan
sederhana seperti ini tak dapat kutemukan jawabannya? Padahal, tak perlu
menggunakan rumus persamaan bidang miring dan logaritma serta fungsi turunan
untuk menjawabnya.
Aku membencimu, aku membencimu, aku
membencimu...
Aku teriakkan kencang dan semakin
kencang dalam hatiku. Aku harap otakku sejalan untuk kali ini, setidaknya dalam
urusan tentangmu.
---
“Hallo?”
Ia menghadapkan wajahnya dan
melambai-lambaikan tangannya tepat di depan mukaku. Apa aku baru saja melamun?
Sepertinya.
“Iya?” Jawabku singkat.
“Jadi, apa kau membenciku?”
Deg!
Lagi-lagi perasaan ini, yang tadi membawaku jauh ke tempat yang entah apa itu.
“...”
“Kamu ini kenapa sih? Jadi, bagaimana?
Kau membenciku?”
Dasar! Menurutmu ini pertanyaan yang
pantas dijawab ya? Setidaknya aku tak punya pemikiran yang sama denganmu.
Bisa-bisanya aku begitu sulit untuk membenci orang sepertimu.
“Hm... Ya! Aku membencimu. Bisa dibilang,
sangat!”
Woa, lantang sekali. Ternyata pembohong
pemula sepertiku bisa berkata yang lain dari hatiku dengan lancar. Seperti tak
pernah ada pertimbangan sebelumnya.
“Lalu bagaimana denganmu? Apa kau membenciku?”
“Haruskah aku jawab? Bukankah kamu
sudah tahu jawabannya?”
Aku mengerutkan keningku. Kalau aku
tahu jawabannya, aku tak akan bertanya. Menyebalkan!
“Aku serius.” Kataku, datar.
“Apa wajahku tak tersirat tampang
serius kali ini?” Dia menunjuk wajahnya sendiri.
Perlahan, dalam hitungan detik,
wajahnya sudah mendekat ke telingaku. Kemudian, berbisik.
“Aku tak berbohong kali ini. Aku...
membencimu!”
Detik selanjutnya, kecupan singkat
mendarat di pipi kananku. Hah? Dia... menciumku?!
Dia berbalik dan mulai berjalan
menjauh. Tapi, aku merasakan ada senyum sinis menghiasi bibirnya.
Aku masih terdiam membeku. Mulutku diam
tak berkata, tapi aku tahu ada perdebatan hebat yang sedang terjadi dalam hati
dan otakku kala ini. Masih berusaha mencerna kejadian tadi, terutama kalimat
singkatnya tadi.
Dia membenciku? Lalu, apa arti... ah,
aku malas mengucapkannya. Jadi, dia membenciku atau tidak? Dasar manusia super
duper payah! Menyebalkan! Yang lebih menyebalkan lagi, mengapa aku tak bisa
untuk membencinya? Kalau bisa, maka selesailah sudah masalahku.
1 komentar:
Aq suka kata-katanya...
Hampir sama dgn kisah hidupku
Posting Komentar