Ternyata,
selama ini aku melukai diriku sendiri... Maksudnya?
*
Rabu
malam kemarin aku pergi ke dokter gigi. Gigi ketigaku dari depan terkikis, dan
aku takut jika aku biarkan semakin lama akan semakin berlubang. Dan yang paling
parah, aku takut jika gigiku patah.
Singkat
cerita, aku tiba di kursi pasien dan dokter baik hati yang hari ini praktek menyuruhku
untuk menceritakan masalahku. Entah setiap dokter seperti ini atau tidak, aku
merasa dokter ini sangat ramah dan baik hati. Seusai aku menceritakan
masalahku, aku pun diminta untuk duduk di kursi pemeriksaan. Kalian pasti tahu kan
kursi yang harus terdapat di ruang dokter gigi? Kursi yang bisa dinaik-turunkan
dan terdapat lampu serta alat-alat yang menunjang pekerjaan sang dokter.
Dokter
memeriksa gigiku. Katanya, gigiku mempunyai warna yang bagus. Maksudnya, tidak
terdapat pewarnaan apapun pada gigiku. Kalian mengerti? Aku tidak. Yang kutangkap
dari perkataannya, warna gigiku bagus. Selebihnya aku tak terlalu paham.
Kemudian
ia mengutak-atik perkakasnya untuk “mengoperasi” gigiku yang terkikis.
“Ini
ditambal atau diapakan, dok?” Tanyaku.
“Iya.
Tapi tadi waktu diketuk-ketuk terasa nyeri, ya?”
“Iya,
dok. Tapi nggak terlalu sih.”
“Kalau
begitu harus kontrol seminggu atau dua minggu sekali. Soalnya, ada kemungkinan
giginya sudah patah.”
Aku
kira dengan sedikit tambalan kecil untuk menutupi kikisnya semua akan berakhir.
Ternyata tak sesederhana itu. Lebih kurang 1 jam aku duduk di kursi pemeriksaan
itu, akhirnya selesai. Aku kembali duduk di kursi pasien.
“Jadi,
itu kenapa ya bisa terkikis gitu, dok?”
“Itu
terkikis karena kamu sendiri. Pertama, kamu salah cara saat sikat gigi. Terlalu
kencang kamu menyikatnya. Lihat, biar saya tunjukkan cara yang benar.”
Dokter
mengambil sebuah contoh mulut lengkap dengan gigi yang tersusun rapi.
“Pasti
kamu menyikatnya seperti ini ya?”
Ia
menyikatkan sikat kecil pada susunan gigi-gigi itu dengah arah horizontal sambil ditekan dan sedikit
brutal.
“Iya
hehehe.” Jawabku lengkap dengan cengiran.
“Harusnya
seperti ini...” Ia menunjukkan cara menyikat gigi yang benar, dan dengan cara
yang lembut pastinya.
Dokter
menyingkirkan sejenak mulut besar itu lalu kembali menjelaskan.
“Kesalahan
kamu yang kedua, ada pada pemilihan sikat gigi. Besok diganti ya sikat giginya
dengan bulu yang agak lembut. Agak lembut ya, bukan lembut.” Ia menekankan
intonasi pada kata agak dan lembut.
Aku
hanya tersenyum dan mengangguk.
“Jadi,
ini semua gara-gara salah cara sikat gigi, dok?”
“Iya,
diubah ya caranya. Kalau nggak, ya nanti semua giginya seperti tadi. Karena ini
penyebabnya kamu sendiri, dengan kata lain bukan karena bakteri, harus kontrol seminggu
atau dua minggu sekali ya. Jika ada pembengkakan langsung kesini lagi ya. Itu
kemungkinan giginya sudah patah. Kalau memang seperti itu, nanti penanganannya
berbeda. Harus di ahli saraf.” Jelasnya.
Ahli
saraf? Mendengar kata saraf saja aku sudah ngilu.
Entahlah, aku punya perspektif tersendiri tentang saraf. Dan itu cukup
membuatku ngeri.
Jadi,
gigiku terkikis karena aku sendiri? Jadi, selama ini akau melukai diriku
sendiri? Menurutku cukup sederhana kesalahanku ini, tapi efeknya sangat fatal.
“Ini
resepnya. Nanti obat ini diminum saat sudah terjadi pembengkakan atau terasa
sakit. Kalau tidak terasa sakit tidak perlu diminum. Ingat ya, seminggu lagi
kontrol kesini.” Jelas dokter ramah ini.
“Iya,
dok. Terimakasih ya.” Kataku tersenyum sembari menyalaminya.
“Sama-sama,
sayang.”
Meski
sebagian wajahnya tertutup masker, aku bisa merasakan ia tengah tersenyum.
*
When simple thing
turned into complicated thing...
Sesampainya
di rumah aku berpikir tentang hal ini. Sesuatu yang harusnya sederhana seperti
ini, mengapa menjadi begitu rumit? Ya, aku tahu ini semua memang salahku
sendiri. Aku tak menyangka kesalahan kecilku akan beralih menjadi sukar seperti
ini.
Sejenak
aku berpikir, apa ini juga terjadi pada hatiku? Maksudku, sama halnya seperti
gigiku yang terkikis, ternyata hanya dengan ditambal saja tak cukup bila ia
telah patah. Spesialis berbeda yang dapat menanganinya apabila memang
kenyataannya telah patah.
Serpihan-serpihan
hatiku yang hilang... apa ia sungguh tak bisa “ditambal” layaknya gigiku yang
terkikis? Mungkin karena memang hatiku telah “patah” terlalu parah. Jikalau
memang demikian, apa hatiku memang membutuhkan “spesialis berbeda” agar kembali
seperti semula?
Mungkin
benar, kalau aku selama ini selalu menyatukan pecahan hatiku yang hilang dengan
kepingan “yang lama”. Hatiku sudah terlalu melekat dengan “spesialis lamaku”.
Tetapi,
apa yang dokter gigiku katakan ada benarnya juga; kalau memang seperti itu, nanti penanganannya berbeda.
Cara
sederhanaku menyembuhkan hatiku sepertinya memang salah. Nampaknya, ia memang
memerlukan penanganan yang berbeda. Lalu, haruskah aku mencari “spesialis
berbeda” itu? Aku rasa iya. Dan, aku takkan mencarinya. Aku hanya akan menunggunya.