Salah siapa? Salahmu,
atau salahku?
--
Aku mencari-cari lagi
apa yang telah aku simpan beberapa tahun yang lalu. Aku masih ingat benar, di
mana sisa-sisa guratan itu masih di sana, karena, aku tak pernah benar-benar
membuangnya. Senja di minggu sore, bungkus-bungkus coklat kosong, setengah
gelas susu coklat dingin, serta lukisan di selembar kertas dengan sebuah hati
berwarna merah muda dan setangkai mawar yang baru saja kubakar, ialah saksinya.
Benar, kan, aku masih ingat.
Tapi, pun bagian
terpentingnya lah yang tak aku ingat.
Rasanya.
Lukanya.
Sakitnya...
Sungguh, aku tak
ingat. Bahkan aku masih ingat hangat genggamannya agar aku menetap waktu itu,
suara serak penuh rasa bersalahnya, caranya melindungiku agar tak kedinginan, ah,
tetap, aku tak ingat perih itu. Semua kembali terputar, tapi, aku baik-baik
saja.
Jika, dan hanya jika,
goresan baru ini memang terlalu dalam...
Bukan sekali-dua,
mungkin, setiap kali. Kukira sering terperosok membuatku tahan luka, ternyata,
aku (dan hatiku) masih sama. Aku masih sama, masih si pembunuh sepi untuk mereka
yang jenuh, masih penyembuh luka-luka mereka, masih aku yang tak peduli lagi
bahagiaku sendiri agar simpul manis di bibir mereka kembali rekah. Aku masih
seseorang yang jungkir balik memikirkan perasaan mereka agar kembali utuh,
namun lupa menjaga milikku sendiri hingga semakin rapuh.
Jangan tanya padaku
mengapa pada akhirnya kita mampu saling mengucap salam. Bertanya, ah tidak, aku
ingat, kita mencoba menebak apa sebutan kita masing-masing. Percayalah, tak
pernah ada kebetulan. Setidaknya, itu yang kupercayai karena selalu akan ada
alasan yang bertemu nanti di titik takdir mengapa semua terjadi, seperti satu-dua
gambar hidup yang kita saksikan bersama yang adegan satu dan lain punya alasan
dan bersinergi sampai konklusi di akhir cerita. Hanya aku kah yang
mengingatnya?
Mengapa aku begitu
baik padamu, begitu, tanyamu waktu itu. Masih mau tahu jawabannya?
Sederhana. Aku memang
begitu. Mungkin itu memang kecerobohanku yang paling parah, atau bisa jadi
satu-satunya kelebihan yang kupunya; aku terlalu baik. Mendahulukan bahagia
yang lain dibanding lukaku sendiri, aku selalu jadi orang yang seperti itu.
Jawaban lain,
...aku ingin.
Iya, aku ingin.
Karena aku ingin
tetap begitu. Aku ingin menjagamu bukan hanya tentang jauhkan ragamu dari lelah
dan sakit, melainkan juga rasa tenang dan aman yang kau dapati tiap aku di
dekatmu hingga melekat di relungmu.
Karena aku ingin
tetap begitu. Aku ingin lebih lama bersandar, bukan hanya di pundakmu,
melainkan juga menyandarkan hatiku yang (kurasa) menemukan kembali tempat
ternyamannya dalam sosokmu.
Karena aku ingin
tetap begitu. Aku ingin menerus menatap wajahmu yang selalu kelelahan, hingga
tawa renyahmu menyergap pendengaranku, terutama bila penyebabnya adalah aku. Aku
ingin menjadi alasan senyum-senyum di bibirmu tampak.
Karena aku ingin
tetap begitu. Kau tahu, menyayangimu seperti aku yang memang kaubutuh.
Mungkin hal yang
kaucari tak kau dapati dari aku. Sesuatu yang kauingin tak pernah ada dari hadirku.
Aku sangat pahami. Seseorang
yang tak terlalu mandiri sepertiku, mana bisa bersamamu. Seseorang yang
memaksamu untuk juga mengerti tak hanya dirimu sendiri tapi juga aku, mana bisa
menemanimu. Seseorang yang bahkan tak mampu menjaga hatinya sendiri, mana bisa
menjaga hatimu. Menawan tidak, pandai pun tak terlalu. Tentu saja aku bukan
pengampu dirimu untuk jadi lebih baik lagi.
Tidak, bukan itu. Kautahu,
ketakutanku yang mungkin memang fakta dari semua ini; kamu tak membutuhkanku
lagi karena kamu tak lagi merasa sepi.
Aku tak mau
menjelaskan bagaimana perihnya. Bila kamu pernah jatuh dan terluka, lalu, asam
jeruk nipis menetes di sana. Ah, tidak, rasanya lebih dari itu.
Kukira aku memang
belum, namun, aku mencoba, bukan? Menemanimu. Selalu hadir bila kau ingin. Pun itu
semua memang tak pernah berarti untukmu. Bisakah sedikit saja kaujelaskan
perasaanmu padaku yang tak mampu memaknai atau bahkan salah memaknai semua ini,
Sayang. Aku lelah menerka.
Takdir kurasa
memintaku sekali lagi melalui kembali hari-hari perih, bila kau mau tahu, ini
yang paling perih sepanjang aku masih bernapas di dunia ini. Tertawalah,
belebihan, begitu katamu. Mari, maukah kamu menjadi aku? Tidak, aku pun tak mau
apa yang kurasakan kautahui juga rasanya. Sesederhana itu, caraku tetap
menjagamu, selain di dalam tiap doa yang kurapal, juga di tiap syukur yang
kuucap karena mengenalmu–lalu aku kembali menerka apakah kau juga begitu–,
menyayangimu di garis demi garis jarak yang mulai terbentuk.
Bila tak mungkin lagi
kamu ada di hidup sosok yang akan terus memperbaiki dirinya ini, ada satu yang
bolehkah kau izinkan untuk kulakukan?
Aku ingin memelukmu
sangat erat. Untuk yang terakhir. Biar kupastikan lukamu telah kembali utuh.
--
Lalu, salah siapa? Dan
benarkah ada yang salah?
Tentu saja, sudah
jelas, bukan.
Salahku.
Namun, kumohon,
jangan pernah salahkan takdir, atau aku, dan pertemuanmu denganku.
Semoga bahagia dan
tetap seperti itu, Sayang.
0 komentar:
Posting Komentar