“Hei,”
“Oh?
Hai,”
Kemudian
aku pergi tanpa meninggalkan sepatah kata lagi.
Ia
masih sama. Wajahnya, suaranya, senyumnya, bahkan siratan lelahnya masih
terukir seperti dulu, hanya saja rambutnya sedikit dipangkas dan caranya
berpakaian terlihat lebih rapi. Sulit dipercaya, tapi aku masih saja ingat
tentangnya hingga hal-hal kecil. Aneh. Tentu saja. Bukankah aku telah
memutuskan untuk menyimpan kisah-kisah lama dan menata lembar baru? Ya, memang,
hanya saja melupakan semua itu tak semudah berkata baik-baik saja walau hatimu
di dalam pecah berantakan.
Aku
cuma melenggang dari sana. Tak tahu kaumelakukan apa. Tak peduli keadaanmu
bagaimana. Dan sama sekali tak kumengerti, itu masih melintaskan sedikit perih.
Bumi seakan menambah gravitasinya yang membuat tiap langkahku menjadi begitu
berat. Angin terus-terusan menampar wajahku yang mau tak mau memerintahku untuk
menoleh ke belakang; menolehmu. Namun, aku hanya berjalan lebih cepat dan memasang simpul di bibirku
sebisanya.
Seseorang dapat pergi dari hidupmu, secepat kilat,
seperti angin yang berhembus, semudah hujan yang turun dari langit, tapi tidak
dengan kenangannya. Ia tetap tinggal bersamamu. Ia menemanimu di mana pun,
memelukmu tanpa kautahu, dan membawa kembali luka di dalamnya. Ia ada di tempat
kau pergi, ada di tiap melodi yang kaudengar, ada di drama yang kausaksikan,
bahkan ada di langit-langit kamarmu dan terputar sendiri. Menyedihkan, bukan?
Aku tahu kamu menerka cara melupakannya. Dan, aku tahu jawabannya: kamu takkan
pernah bisa melupakannya dan yang perlu kaulakukan hanyalah membuat kenangan
baru.
Iya, semua itu kembali berputar-putar di kepalaku.
Kurasa, ini pernah terjadi sebelumnya. Namun, kala itu bukan aku yang berjalan
menjauh; melainkan kamu.
Aku menoleh ke belakang, sekali, dan kemudian aku janji
akan pergi. Aku menghela napas. Apa yang kuharapkan, kamu memerhatikan
langkahku? Aku tertawa, miris, menertawakan nasib sendiri. Ketika aku justru
ingin melihat senyum terakhirnya, ah, tentu, pada siapa lagi selain pada
wanitanya yang baru ia memberikannya.
Dan (sekali lagi) aku pergi, berjanji tak berhenti dan
tak menoleh.
---
“Hei,”
“Oh? Hai,”
Apa aku baru mengalami fatamorgana? Siang ini memang amat
panas dan terik. Aku baru saja menghabiskan jus jeruk keduaku ketika mataku
menangkap sosoknya.
Ia
berlalu begitu saja meninggalkan senyum yang bahkan terlihat lebih manis
dibanding dulu. Wajahnya tak lagi dibingkai kesedihan, ia… sangat cantik. Rambutnya
dibiarkan panjang terurai, ya, masih berantakan seperti dulu. Ah, seperti aku
peduli saja tentang hal seperti itu, karena bahkan aku tetap mengenang renyah tawanya,
sampai detik ini. Bisakah aku menyangkal, kalau aku tak merindunya?
Andai
ia mampu menerawang jauh ke dalam pikiranku; aku, yang terlalu bodoh dan tak
mampu mengatakan isi hatiku sendiri. Aku yang terlalu bodoh melewatkanmu,
membiarkanmu berjejak pergi, tanpa tahu jawaban semua tanyamu saat itu. Andai
kamu tak naif, jika bukan akulah yang membutuhkan maaf; tapi kamu. Ah, maaf,
aku membuatmu seperti peminta-minta. Aku tahu kamu terus mengucap maaf kala
itu, hanya untuk aku tetap di sisimu, menjagamu, benar kan?
Sungguh, aku tak bisa, meski pun aku sangat mau. Kamu pun
tak mengetahui di tempat aku berada aku mati-matian menelan rasaku. Aku lebih
banyak gagal, namun, mengingat semua demi kebaikanmu, aku tak pernah menyerah,
kau tahu? Mungkin klasik, kauharusnya melihat dirimu, kaupantas untuk seseorang
yang lebih baik, jauh lebih baik daripada aku. Apalah aku, seorang yang hanya
mampu menghunus luka tajam tepat di ulumu. Ah, bahkan aku sempat membuatmu
menyembunyikan simpul manis di bibirmu.
Salahkah bila aku sadar akan diriku sendiri? Kurasa,
tidak. Dan aku tahu kamu mungkin nanti akan mengerti.
Mendengar suaramu lagi. Melihat senyum itu lagi. Aku dapat
bernapas lega, kukira kamu mungkin telah menemui seseorang yang mampu membuatmu
merasa hidup bukanlah hal yang sia-sia. Maaf, bila aku tak menghentikanmu untuk
pergi, aku (kembali) melewatkanmu. Dan, kautahu, apa yang kuharapkan, kamu
berbalik atau menoleh untuk menatapku? Aku cuma tersenyum sinis.
Lagipula, aku tak mungkin melakukan kesalahan yang sama
pada orang lain. Aku punya lembaran baru untuk hidupku sekarang, bukan lagi
kertas-kertas usang yang hanya bisa kuratapi.
Kemudian, aku menatapnya dan mengukir senyum. Tanpa ia
tahu, juga tanpa kautahu, aku diam-diam kembali mengenangmu.
0 komentar:
Posting Komentar