Aku
sama sekali tak menyalahkan lintasan waktu yang tak terlihat, namun, haruskah
secepat ini. Kukira baru kemarin, lihatlah, nyatanya sudah tiga bulan dua
minggu aku di sini. Aku menyeruput sisa-sisa kopi di cangkirku. Kuambil
kertas-kertas serta buku sketsaku kemudian kumasukkan dalam ransel. Buru-buru
aku menyambar telepon genggamku dan berangkat setelah kupastikan kamarku
terkunci.
Pagi ini.
Tak
seperti biasaya, aku harus menunggu di luar ruangan karena aku tak lagi
memiliki dispensasi waktu untuk masuk kelas. Aku tak berhenti mengutuk mataku
yang tak mau menutup sampai jam tiga pagi tadi malam. Entahlah, tiba-tiba aku
memikirkan hal-hal yang menurutku ini gila. Aku memandang ke dalam ruangan
melalui jendela, kulihat ia menulis sesuatu di bukunya. Ah, sial, lagi-lagi aku
tersenyum-senyum sendiri. Detik selanjutnya ia menoleh ke arahku! Aku berbalik
dan kuputuskan untuk pergi dari situ. Mungkin satu cangkir kopi lagi baik untuk
pagi ini.
Menuju ke dua bulan sebelum ini.
Gadis
ini.
Aku
berhenti menggambar di buku sketsaku ketika seorang gadis berlari-lari menuju
ruangan dengan napas tak beraturan. Kurasa ia sangat tergesa-gesa hingga tali
sepatunya tak sempat diikat. Wajahnya tampak berkeringat, rambutnya sedikit
berantakan mungkin terhempas angin saat ia berlari, entahlah, aku kehabisan ide
bagaimana gadis ini bisa tak tepat waktu di hari pertama ini. Aku
memerhatikannya, maksudku, mungkin seluruh penghuni ruangan ini juga
memerhatikannya. Aku tak tahu berapa detik kukira aku menatapnya sangat lekat;
ia menarik. Kemudian, ia menatapku. Aku segera melanjutkan gambarku–yang
sebenarnya aku tak tahu akan menggambar apa.
“Hai,” tiba-tiba terdengar suara lembut. Dan gadis ini,
sudah duduk di sampingku.
Beberapa minggu setelahnya.
Gadis ini dan aku.
Sejak
hari itu, buku sketsaku penuh dengan wajah dan senyum berserinya. Entahlah, aku
tahu sesuatu tengah terjadi. Mataku menerus mencari-cari gadis ini, dengan
rambut panjangnya yang dimainkan angin, atau tawa lepasnya yang gurih, aku
selalu ingin memandanginya. Seringkali tatapan kami beradu, namun, ia selalu
melepaskannya dan mencari arah lain. Entahlah, ia mungkin tak tahu aku ingin
lebih lama menatapnya. Ah, tunggu dulu, kurasa aku jatuh cinta?
“ASKA.”
Ya,
kurasa aku belum menyadarinya, sampai aku melihat ukiran namaku tertulis besar
di bukunya. Aku menerka-nerka namaku yang tak tertulis lengkap. Atau ia lebih
suka menyebutku Aska dibanding Askandar.
“Kau
bodoh? Tentu maksudnya Askandar dan Karin,” kata temanku.
Entahlah,
aku tak memikirkan hal ini sampai sejauh itu. Tapi, kurasa benar juga. Bukankah
sekarang terlalu naif untukku bila aku tak mengakui, aku jatuh cinta pada gadis
ini. Pada Karin.
Hari-hari belakangan.
Aku
memerhatikannya tiap pagi. Aku menunggunya ketika kelas telah selesai hanya
untuk berjalan di sampingnya. Aku menggodanya bila ada kesempatan. Ah,
menyenangkan mendengarnya bicara meski kadang ia menceritakan hal-hal yang aku
tak mengerti. Gadis ini mampu menatapku dalam-dalam, bahkan menembus relung
jiwaku yang kubiarkan berkabut tanpa penghuni.
Namun,
ada yang berbeda.
Sesuatu
terjadi dan aku–atau Karin–tak memahami batas-batas fana yang dengan sengaja
ada di antara kami. Kesalahan ada padaku; atau Karin. Yang pasti, kebekuan
menjalar di detik-detik keberadaan kami. Gadis ini, tak seperti sebelumnya. Senyumnya
lebih jarang melengkung di bibirnya yang mungil. Mukanya sering tampak lesu
dengan kantung mata menghitam. Meskipun begitu, gadis ini tetap sama; menyejukkan
untuk kupandangi.
Satu
hal lagi yang berbeda darinya.
Gadis
ini, ia lebih sering menatap bayanganku. Iya, bayanganku. Entahlah, aku tak
memahami jalan pikirannya. Untuk apa ia melekatkan matanya pada bayanganku
sedangkan aku ingin kembali menatap dalam-dalam matanya? Aku sama sekali tak
mengerti.
Hari ini.
“Askandar.”
Aku
menoleh. Ah, ternyata Karin. “Ada apa?”
“Kamu
melupakan sesuatu,” Karin memberikan sebuah buku yang dibawanya. “Ini.”
Buku
sketsaku.
“Ah,
iya, kurasa tertinggal di kelas terakhir. Terima kasih, Karin.”
“Tak
masalah. Aku duluan,” Karin berjalan pergi.
Aku
memerhatikan langkahnya yang pelan. Bayangannya. Mengingatkanku akan kebiasaan
barunya; menatap bayanganku. Sungguh, inilah yang membuatku telat pagi ini. Gadis
ini dan segala hal-hal manis tentangnya. Juga, caranya menatapku lewat
bayanganku. Apa itu sebuah cara baru untuk mencintai seseorang, melalui
bayangannya? Entahlah, bahkan aku menerka terlalu jauh dengan mengatakan dia
mencintaiku juga. Ha, apa, juga?! Jadi, aku mencintainya?
Astaga!
Ada
sesuatu yang lebih penting yang tak kusadari. Bagaimana aku bisa lupa, di dalam
buku sketsa yang baru saja kutinggalkan dengan bodoh di kelas dan dibawa Karin
untuk dikembalikan, banyak goresan tentang gadis ini. Bagaimana aku bisa lupa!
“Hey!
Karin!” aku berteriak memanggilnya.
Ia
menoleh, tapi tak menghentikan langkahnya.
“Kamu
melihat bagian dalam buku sketsaku?”
Senyumnya
melebar. Bahkan dari kejauhan, aku dapat melihat pipinya merona. Manis. Kurasa,
inilah gadis ini ketika aku melihatnya pertama kali.
“Sedikit,”
katanya.
0 komentar:
Posting Komentar