Aku tak berani menyalahkan cinta yang
datang salah waktu. Begitu tak tahu diri, ia datang tanpa permisi. Menjajah
tiap-tiap aliran darah hingga berdesir makin cepat. Aku bersyukur, setidaknya
aku tahu ternyata rasaku belum mati. Aku masih bisa merasakan debaran
menyenangkan dalam jantungku. Aku tahu, duniaku tak lagi sepenuhnya dipenuhi
masa lalu. Ketika aku cuma meringis miris sendirian menatap dua insan yang
sempat mengoyak-oyak hatiku itu. Merasa hatiku mati fungsi untuk menjamu–yang
katanya–cinta. Ternyata belum, aku tahu saat daun terakhir di penghujung tahun
jatuh, tatapan sosok di ujung sana diam-diam menuju ke arahku. Yang kusadari
hampir empat windu kemudian; dia memesonaku.
Bulatan warna merah di kalenderku terlihat tak lagi berjarak jauh dari hari
ini. Sekuatku mengerjap, tak ada yang berubah sama sekali. Entah definisi apa
yang tepat, bagiku, hari di mana tak lagi mungkin aku menatapmu dari balik
pilar-pilar gedung sekolah akan tiba. Memandang dari kejauhan wajahmu yang
kadang terlihat sendu, membayangkan betapa aku akan sangat rindu saat itu
(hampir) menyita air mataku. Tunggu dulu, bagaimana mungkin aku menangisi yang
bukan milikku?
Ada saatnya air mata mengatakan yang sebenarnya; petunjuk betapa berartinya
seseorang bagimu. Semurni tumbuhnya rasa perlahan-lahan tanpa kautahu. Tadinya,
aku kira ini perasaan kecil yang singgah sementara. Bukan lagi tentang pesonamu
yang keterlaluan, aku hanya sangat ingin duduk temanimu saat kau sendirian di
sana waktu itu, mendengar lagu yang sama dengan yang kaudengar. Berlama-lama
menatapmu, mendengar merdumu, menyimak apa yang ingin kaukatakan tentang
harimu. Aku hanya ingin.
Mereka cantik luar biasa. Jangan sandingkan dengan aku yang lusuh. Saat itu,
saat aku melihatmu jalan berdampingan dengannya, aku tahu hatiku mendadak
memanas. Ada tangis yang ingin memaksa keluar. Tapi aku diam. Apa aku layak
mencemburuimu yang nyatanya tak kumiliki? Lalu, perih apa ini kalau bukan…
cemburu? Betapa aku jauh berbeda dengan gadis-gadis yang dulu kaucintai. Mereka
terlihat sempurna dari sisi manapun. Memikatmu dengan begitu mudah dari kesan
pertama.
Senyumku mengembang sendiri kala aku mengingat bagaimana tatapan matamu dan
mataku terkunci satu detik. Aku terus berlalu, tanpa berani menoleh lagi. Atau
untuk tersenyum tipis. Aku tak pernah benar-benar menyadari ini bukan lagi
kadar mengagumi. Aku jatuh cinta. Iya, aku jatuh cinta. Setidaknya sekarang aku
bisa kauandalkan dibanding gadis-gadis itu; aku mencintaimu di saat mereka tak
lagi melakukannya. Teman setiaku bernama luka, menerus mengajariku arti
kehilangan dan kesepian. Haruskah aku ucapkan terimakasih atas pesonamu yang
membiarkanku mencoba manisnya rasa ini lagi?
Aku tahu, hal ini akan jadi sia-sia. Aku takkan pernah mampu menautkan
jemariku di jemarimu, memberimu senyuman termanis yang aku bisa, bahkan
mengucapkan selamat tinggal sebelum sapaan selamat pagi sederhana. Jatuh cinta
hal manis, tapi tidak kalau bukan di waktu yang tepat. Sebentar lagi aku mau
menggapai mimpi-mimpiku, dan bukan di kota ini. Semoga kamu tidak keberatan
kalau aku menjadikanmu sebagian dari mimpiku. Yang tak pernah tergapai.
Entahlah, aku bisa rasakan mencintaimu takkan pernah membuang waktuku. Karena
kamu membuat kesan manis di detik-detik terakhir masa sekolahku, dengan
membiarkan aku merasakan–yang kuyakin–cinta lagi.
Selamat hati, kamu
dikunjungi cinta lagi. Selamat berjibaku dengan waktu yang akan
mengembangkannya sampai besar.
-teruntuk kamu
yang bahkan tak mampu kusentuh bayangannya, aku akan sangat merindukanmu-