Bukankah ini manis, Sayang? Bibirmu
memutih, matamu mulai sayu. Baju biru bergaris tipismu–juga seluruh
tubuhmu–basah kuyup. Senyum itu bahkan masih tersimpul indah di sana, di garis
mulut dan dua mata bulat memendar cahaya. Aku meragu, sampai jemarimu
melekatkan jarak-jarak di antara jemariku. Sangat erat. Hangat.
“Aku tak peduli berapa juta titik
hujan lagi yang menghujamku, asalkan kamu kering,” katamu. Setengguk kalimat
itu ikut menguap bersama genangan-genangan tetesan hujan yang menetes di tanah
kering? Kau yang tahu.
---
“Kau
membuat mata panda lagi,”
“Salahmu, bukan?”
“Kenapa aku?”
Bibirku mengerucut.
“Ini sepenuhnya salahmu. Kamu yang buat aku terus
terjaga, aku tahu, karena mimpi bahkan kalah indah dengan duniaku; yang
dipenuhi kamu,”
“Hey!”
Aku mengguncang-guncang lengannya. Ah, entah
bagaimana sayap-sayap kasap mata membuat tubuhku seringan kapas untuk
melayang-layang di udara.
Mendadak, aku teringat percakapan semalam. Suara
lembut dari ujung sana terdengar tak biasa. Ada belati dalam tiap katanya yang
mampu mengiris, aku tak tahu darimana kaudapat bicara semacam itu.
“Aku mau
bicara,”
“Ya?”
“Apa yang
terjadi denganmu seandainya aku pergi?”
“Mati,”
Tawanya menggema. Aku diam. Sungguh, aku bahkan
tak bisa membayangkan aku di sini sendirian tanpamu, dan tak dapat menemukan
titik lucu dari jawabanku.
“Kamu
berlebihan. Dan… itu terdengar menyeramkan,”
Kautahu? Kamu satu-satunya yang menyeramkan
sekarang.
“Kamu pernah
menyangka kalau aku tak pernah mencintaimu?”
“Tunggu dulu. Aku benar-benar tidak mengerti apa
yang coba kamu bicarakan,” kataku.
“Jawab saja,”
Meski tak terlihat, aku tahu kamu tersenyum dari
ujung sana. Entahlah, jantungku mulai berdetak-detak menyeramkan. Iya, ini
firasat buruk.
“Tidak sedetik pun,”
“Lalu,
bagaimana seandainya selama ini kita hanya jalani kisah yang sia-sia?”
“Ini benar-benar tidak lucu, Sayang,”
“Dan aku
memang sedang tak melucu,”
Apa dia sungguh serius dengan pertanyaannya? Kamu
tak tahu betapa bulu-bulu romaku bergidik ketika kau tanya itu. Aku terdiam
lama. Sangat lama.
“Kamu masih
di sana?”
Suaranya memecah keheningan beberapa detik yang
kuciptakan. Aku mengangguk, ah, ya, tentu saja itu tak terlihat olehnya.
“Maaf.
Sudahlah, lupakan saja yang tadi. Sana cepat tidur, kamu tak mau terlambat
bangun kan. Selamat malam, mimpi indah, Sayang,”
Telepon terputus sebelum aku sempat membalas.
Tetapi, pertanyaanmu tadi masih berputar-putar di kepalaku. Menakutkan, lebih
dari cerita-cerita seram yang sering kamu ceritakan di malam-malam jum’at. Apa
yang menghantam kepalamu–atau hatimu–hari ini, Sayang?
“Ada apa?”
Suaranya mengejutkanku.
“Eh?” aku perlu menanyakannya tentang semalam,
hanya saja aku tak tahu kemana perginya semua dayaku, “Tidak ada apa-apa,”
kataku akhirnya.
“Baiklah. Oh iya, aku bawa roti isi, ayo makan
sama-sama,”
“Darimana kamu tahu aku lapar?”
“Karena kamu selalu lapar,” katanya sambil
tertawa.
Tangannya mengacak-acak lembut rambutku. Bibirku
kembali mengerucut.
Ini hari-hari yang biasanya terjadi. Begitu manis.
Ada begitu banyak perubahan besar di balik hal-hal yang biasa terjadi, aku
sadar. Entahlah, aku tak bisa menemukan di mana letak perubahan itu. Aku tak
tahu apakah permen manis ini akan tetap manis, atau habis termakan detik-detik
yang berlalu. Yang pasti, permen manis ini sangat berarti. Kamu sangat berarti.
Lalu, bagaimana aku bisa menganggap ini kisah yang
sia-sia?